webnovel

Rain Sound

biar kutanyakan pada mu. apa kau percaya cinta pertama akan terjalin saat kamu hanya memendamnya disudut hatimu tanpa pernah mengungkapkannya, tanpa sekalipun memperlihatkan langsung padanya? kebanyakan orang akan berkata tidak mungkin. ya sangat tidak mungkin. namun suara hujan malam itu seakan menjadi pertanda bagi chika, jawaban yang seharusnya tidak mungkin entah mengapa berubah menjadi mungkin. tapi apa yang terjadi? bagaimana mungkin perasaan yang tulus ini terjalin dalam hubungan yang tak jelas. haruskah chika bahagia atau merasa sedih? ini tentang kisahku dan cinta pertamaku

Kirei0713 · 若者
レビュー数が足りません
14 Chs

Teman

"halo? kamu dengar gak aku bicara?" chika mengangguk menanggapi pertanyaan arka, meski ia tau arka tak akan melihat responnya tanpa berbicara, tapi chika malu untuk menanggapi ucapan arka yang terlalu terang-terangan.

Chika beranjak dari sofa menuju kamar, melirik sekilas kearah ketiga temannya yang menatapnya penuh selidik. "aku kekamar dulu" chika hanya berbisik cepat pada teman-temannya tanpa berlama-lama.

"ku pikir kamu hanya pendiam saat bertemu langsung, ternyata kalau di telpon juga begitu ya" chika mendengar deretan kata yang meluncur dari bibir arka sambil terus berjalan menuju jendela kamarnya. Tempat terbaik penuh ketenangan. kamar yang sunyi dan melalui jendela ia pula dapat melihat pemandangan luar rumah, pot bunga yang tersusun rapi di halaman samping rumah terasa sejuk dalam pandangan mata, serta orang yang sesekali terlihat berjalan.

"itu pertanyaan atau pernyataan?"

"hemm... menurut mu?" chika menggarung ujung alisnya dalam kebingungan. Bagaimana mungkin ia akan tau perkataan arka tadi, ucapannya terasa seperti menyatakan kalau aku pendiam, tapi juga terasa seperti pertanyaan baginya.

"ahahah... kamu kenapa serius banget sih sama kata-kataku barusan? oke... karna aku gak begitu tau kamu kecuali saat di sekolah, jadi anggaplah tadi aku lagi nanya, jadi jawabannya?" tawa arka terdengar memenuhi gendang telinga nya, sedikit demi sedikit perasaannya berbunga hanya dengan mendengar tawa arka. ia bahkan bisa membayangkan seperti apa wajah arka saat ini ketika sedang tertawa lepas seperti tadi.

"ya, aku memang pendiam sih... gak cuman disekolah, dirumah juga begitu apa lagi kalau di telpon begini, bahkan teman-teman ku waktu awal kenal aku mikirnya aku judes, soalnya kalau gak diajak ngobrol atau gak punya keperluan aku gak bakal bicara sih" chika menopang dagunya pada telapak tangan. sebelah tangannya menggenggam erat ponsel, sedangkan pandangannya lurus menatap pot bunga yang berjejer rapi.

"oh ya? tapi itu gak masalah sih, sifat orang kan beda-beda, lagi pula itu juga salah satu alasan aku tertarik sama kamu"

"wah... parah, akhir-akhir ini aku baru tau kalau kamu orang yang ternyata cukup blak-blakan ya" chika menyunggingkan senyum sebelah bibir, merasa geli dan terhibur secara bersamaan saat mendapati ucapan arka diluar perkiraannya.

"loh.. aku cuma bicara apa adanya kok, tenang aja gak ada yang dilebih-lebihkan sama sekali" kedua ujung bibir chika terangkat membentuk sebuah senyum kecil, masih dalam posisi duduk yang sama dari sebelumnya.

Lama waktu berlalu tanpa keduanya sadari, saling melempar pertanyaan tentang rencana kuliah, membuat janji untuk masuk ke universitas yang sama, berjanji untuk saling menunggu dengan sabar. diselingi kalimat-kalimat arka yang terkesan gombalan bahkan hingga cerita tentang kehidupan sehari-hari dan tentang keluarga arka dan juga keluarga chika.

"chika, sudah dulu ya? aku maunya sih lanjut ngobrol, tapi aku baru ingat kalau ada janji sama teman siang ini. jadi nanti deh kita lanjut lagi"

"oke deh, aku juga mau siap-siap masak nih buat makan siang, sudah dulu ya Assalamu'alaikum" chika baru saja ingin menjauhkan ponsel dari telingan nya, namun gerakannya terhenti saat mendengar arka menyebut namanya.

"chika... nanti lain kali kalau ku ajak jalan lagi, gimana? mau gak?"

"boleh, nanti kabarin aja" chika mencoba meraba perasaannya. jantungnya tak lagi menggebu seperti sebelumnya, walau senyum tak lepas dari wajahnya, namun hatinya seakan lebih bisa di kendalikan, berbeda dengan saat pertama arka menghubunginya dan saat mereka berjalan bersama. sekarang terasa biasa saja untuk chika. mungkin hatinya tau untuk tidak terlalu berharap pada hubungan yang bahkan tak lebih dari sekedar teman.

chika melangkahkan kaki keluar kamar dilihat nya ada ana dan dina yang duduk di sofa sambil menonton drama korea dengan layar besar serta projektor dan laptop yang terletak diatas meja. chika hanya berlalu menuju dapur. dilihatnya ani berdiri didepan kulkas, sebelah tangannya menggenggam keresek berisi buah dan sebelahnya lagi dipenuhi dengan puding berukuran sedang.

chika berjalan menghampiri ani yang kini telah menatapnya dengan senyum kecil diwajah ani. "ohh jadi nginap disini biar bisa ngerampok isi kulkas ku ya?" chika berusaha mengambil puding dalam genggaman ani, namun kalah cepat karena ani sudah berlari menuju ruang tengah. "aniiii... dasar cewek gila ya" geram chika sembari berlari mengejar ani menuju ruang tengah.

"buat dimakan sama-sama kok, gak aku sendiri, ya kan din, na?" keduanya serempak mengangguk tanpa menatap chika yang sudah berdiri di belakang mereka. ingin rasanya chika menumpahkan semua koleksi sumpah serapah dalam pikirannya pada teman-temannya yang tak pernah tau malu ini. sayangnya chika terlalu lelah dan hanya berjalan kearah sofa dan ikut menonton.

"Apa kalau cuma makan buah sama ngemil gini kalian bisa kenyang? Gak mau makan siang gitu? Nasi... nasi" chika memakan buah yang ada diatas meja, sambil pandangannya menyapu kearah ketiga temannya yang tak menggubris ucapan chika.

"Kita makan diluar aja yuk, sekalian cari angin" putus ana tanpa memalingkan wajah sedikitpun. Ani dan dina hanya mengangguk tanda setuju.

"Aku gak mau" ia menyilangkan tangan diatas dada menatap tajam pada teman-temannya yang kini memandang chika dengan heran.

"Aku yang traktir, kan aku yang ngajak makan diluar, kalau urusan wajah, tenang aja matamu udah gak bengkak lagi" ana menatap chika penuh pengertian. "Ayo siap-siap" ana berdiri dan berjalan menuju kamar. Ani berlari mengejar ana sembari bersenandung dengan gembira.

"Chika, kamu ngapain kok diam aja? Siap-siap sana biar aku aja yang beresin disini" chika menatap tangan dina yang tengah berada di pundaknya, ia mengerutkan kening saat dilihatnya dina yang mulai membolak balikan telapak tangannya diatas pundak chika, dina tertawa lepas mendapati chika yang buru-buru menepis tangan dina.

"Dinaaa! Kotor!" Chika menjentik keras kening dina, membuat dina mengaduh dan memegang keningnya masih dengan tawa yang belum juga mereda. "lagian hobi banget sih ngelamun. Siap-siap sana"

"Ahhh... kenapa teman ku gak ada yang warasnya sih?" Jerit chika melangkah menuju kamar, langkahnya semakin cepat seiring detak jantungnya yang memburu.

Mereka memasuki restoran yang berada di salah satu mall, Aroma makanan memenuhi ruangan membuat chika tak sabar untuk menyantap makanan. "Kalian mau pesan apa?" Ana masih berdiri menggeser menu kearah ketiganya. Mereka bergantian menyebut pesanan, setelah selesai ana dan ani berjalan untuk memesan makan.

"Ini" ana dan ani meletakan makanan dengan perlahan dan hati-hati. Tanpa menunggu lama chika berdo'a dan melahap makanannya. Baru satu gigitan ia terbatuk-batuk merasakan tenggorokannya memanas, wajahnya merah padam karena kepedasan.

"Kamu kenapa?" Ana bertanya dengan wajah yang diselimuti kepanikan, sama halnya dengan kedua temannya yang segera berhenti melahap makanan. "Kamu pesan yang level berapa? Tenggorokanku..." belum juga chika selesai berbicara, setetes air mata jatuh ke pipinya.

"Level 2 kok... Astagfirullah, ketukar sama punyaku deh kayaknya, punyaku level 4" ana bergegas menukar piring chika dengan miliknya. Ia lalu berdiri menuntun chika menuju toilet. Rasa bersalahnya semakin dalam karena ia mengetahui chika yang memiliki toleransi rendah terhadap pedas.

"Maaf... maaf aku gak sengaja" ana terus mengucap maaf sepanjang jalan menuju toilet. Chika hanya mengangguk dan membilas wajahnya sembari memperhatikan matanya yang memerah. Ia menatap ana melalu cermin besar depan toilet, saat merasakan genggaman ana semakin kuat dipundaknya, chika berbalik dan mengikuti arah pandangan ana yang tertuju ke luar pintu toilet. Matanya melebar menatap tak percaya sosok yang berdiri tegap disana sembari menggenggam mesra perempuan didekatnya yang kini berjalan memasuki toilet dan meninggalkan pria itu sendiri diambang pintu.