webnovel

Rain Sound

biar kutanyakan pada mu. apa kau percaya cinta pertama akan terjalin saat kamu hanya memendamnya disudut hatimu tanpa pernah mengungkapkannya, tanpa sekalipun memperlihatkan langsung padanya? kebanyakan orang akan berkata tidak mungkin. ya sangat tidak mungkin. namun suara hujan malam itu seakan menjadi pertanda bagi chika, jawaban yang seharusnya tidak mungkin entah mengapa berubah menjadi mungkin. tapi apa yang terjadi? bagaimana mungkin perasaan yang tulus ini terjalin dalam hubungan yang tak jelas. haruskah chika bahagia atau merasa sedih? ini tentang kisahku dan cinta pertamaku

Kirei0713 · 若者
レビュー数が足りません
14 Chs

Rumit

Tanpa berlama lama chika keluar saat arka keluar dan setengah berlari memutari mobilnya membukakan pintu untuk chika. Berjalan beriringan mencari tempat duduk yang masih kosong, banyak remaja yang duduk berpasangan dan ada juga yang berkumpul dengan teman temannya. Angin berhembus membawa kesejukan, membuat ujung jilbab chika bergerak pelan tertiup angin.

       Mereka duduk saling berhadapan, dilihatnya arka yang menggulung lengan kemejanya hingga kesiku, memperlihatkan otot-otot lengannya membuat chika menahan nafas sejenak. Disekolah arka selalu menggunakan seragam panjang yang menutup lengan, tak pernah sekalipun chika melihat arka yang menggunakan baju lengan pendek, walau ia sudah bisa menduga fisik arka yang jauh terlihat lebih unggul dari teman-temannya yang lain. Namun hatinya tetap berdesir menangkap pemandangan langka dari pria dihadapannya.

       "Aku tau kok kamu suka banget sama aku, tapi kalau diliatin terus begitu aku juga bisa malu. Kamu mau pesan apa, biar aku pesanin" arka tersenyum, tangannya berpangku diatas meja sembari menopang dagu, matanya tak lepas menatap chika yang mulai salah tingkah dibuatnya. "Jus mangga aja" jawab chika dengan suara pelan pandangannya beredar menatap kearah sungai dibelakangnya dan berhenti pada masjid yang tampak kecil dari kejauhan.

      "Makan?" Arka masih duduk tenang di depannya, menatap chika yang membelakanginya. "No" chika menjawab dengan cepat dan tanpa jeda. Tak sedikitpun berpaling atau melirik kearah arka. Ia terlalu malu untuk menatap langsung kedua bola mata lembut yang menggodanya sedari tadi.

       "Cemilan? Jagung bakar mungkin" masih bertahan dengan suara selembut kapas meluncur dari bibir arka, ada nada menggoda dari ucapan yang di lontarkannya, dengan geram chika berbalik dan menatap wajah arka, terlihat ia sedang menahan tawa diujung bibirnya chika mengendus keras sembari melipat tangan diatas meja "gak perlu arka, kalau kamu mau kamu aja"

       "Aku gak perlu apa-apa, ada kamu juga udah cukup" balas arka, tawa kecil keluar dari bibirnya dengan langkah pelan ia berjalan menuju salah satu stan minuman. Chika menghembuskan nafas menatap kepergian arka, sebelah tangannya terangkat merasakan pipinya yang masih kia memanas "bisa-bisanya yang keluar dari mulutnya, semua gombalan" chika bergidik diakhir kata, manik matanya masih lekat menatap punggung arka.

         Arka berbalik dengan membawa nampan berisi pesanan. Berjalan santai menghampiri chika yang asik mengotak atik ponsel ditangannya, pandangannya melembut mendapati senyum terukir dari wajah polos chika. Hatinya terasa tenang tiap kali menatap wajah itu, wajah anggun, senyum cerah dan mata teduhnya.

        Arka duduk bersila didepan chika, membasahi tenggorokannya dengan es jeruk, aroma jagung bakar mengisi indra penciumannya, ia menggenggam jagung bakar dan menyodorkan kehadapan chika, perlahan kepala chika terangkat menatap jagung yang ada di genggaman arka. "Makan dulu" arka tersenyum sembari menggerak gerakkan pelan jagung yang berada di tangannya. seulas senyum terbit diwajah chika, membuat matanya sedikit menyipit, ia meletakkan ponsel dan mengambil jagung yang ada ditangan arka

        "Kamu pengen banget makan jagung ya?" Chika meminum jus yang terletak dihadapannya, merasakan kesegaran jus mangga yang membasahi tenggorokan, sebelah tangannya masih setia menggenggam jagung, menatap wajah arka menunggu jawaban. Arka sendiri mengambil jagung dan mulai memakannya.

       "Iya.. banget, kalau disini tuh jagung bakar udah kayak jadi makanan wajib tau" suara antusias terdengar dari arka, wajahnya berbinar dengan senyum lebar menampilkan deretan gigi rapi. Chika mulai melahap jagung menikmati jagung bersama hembusan angin yang menyegarkan, matanya menatap lurus kearah jalan raya yang di penuhi kendaraan berlalu lalang.

        "Chika" panggil arka tanpa ekspresi, raut wajahnya terlihat serius dari sebelumnya. Chika meletakkan sisa jagung keatas piring bersamaan dengan jagung jagung yang sudah habis dilahap arka sedari tadi. Padahal arka tadinya membawa 4 jagung bakar dan chika sendiri baru memakan setengah jagung, bukan karena arka yang melahap jagung hanya untuk dirinya sendiri, melainkan chika yang memang tidak terlalu menyukai jagung bakar hingga memakan satu jagung saja menghabiskan waktu lama baginya.

        "Ya, kenapa?" Matahari mulai tenggelam dari peredaran, menunjukkan pergantian waktu yang terasa kentara. Arka membuka dan menutup mulutnya beberapa kali, pandangan matanya tak lagi menatap kearah chika, sedikit tertunduk menatap meja yang berisikan makanan dan minuman. "Tentang semalam..."

        Chika tak menduga arka akan kembali membahas pembicaraanya semalam, ia sedikit terkejut dan menanti nanti arah kelanjutan kalimat arka, namun sebisa mungkin menjaga ekspresi wajahnya agar terlihat biasa. "Semalam... apa aku keterlaluan?" Kepala arka terangkat dengan mata sendu menampakkan kegelisahan hatinya. "Maksud ku... hahh,, maksud ku aku seenaknya mengungkapkan perasaan ku lalu.. lalu tidak berniat untuk mengikat hubungan dengan lebih serius padahal aku tau kamu punya perasaan yang sama..." arka terdiam, menundukkan kepala seakan kehabisan kata-kata.

        Chika terus memperhatikan arka yang hanya tertunduk kehilangan kata-kata. Lama terdiam chika merasa dadanya semakin nyeri tak menentu, ia memberanikan membuka suara dengan alis yang saling bertautan "lanjutkan... aku bakal dengarin sampai selesai" ada sakit yang ia tahan dalam hatinya, bahkan suara pelan yang keluar dari bibir chika bergetar hebat tiap katanya, seakan menunjuk rasa sakit yang tak mampu ia tahan lagi.

        "Kamu mungkin berpikir aku pengecut, egois dan segala macamnya. Mungkin sekarang kamu sangat marah tapi berusaha menahannya. Tapi aku... aku gak bisa membohongi perasaan ku, aku memang menyukaimu, dan aku memang pengecut karena belum berani menjadikanmu pacarku"

~~~~~¤~~~~¤~~~~~¤~~~~¤~~~~

        "APA?!!" Teriakan ana memekikan gendang telinga chika. Dina dan ani beringsut menjauh melihat ana yang berwajah merah penuh luapan kemarahan. Chika tertunduk tak berani menatap kedua bola mata ana yang membesar seiring membesarnya kemarahan ana. Tadinya chika tak berniat bercerita, namun siapa sangka saat arka mengantarnya pulang, ketiga temannya sudah berdiri didepan pintu rumah chika dan melihat chika yang keluar dari mobil arka disusul oleh arka.

         Ana mengetuk ngetukkan jari telunjuknya ke kepala "apa dia gila? Apa otak nya sudah rusak? Dia bilang suka tapi gak mau pacaran, terus malah ngajak kamu jalan layak nya orang yang pacaran? Kamu j-" ucapan ana terputus saat ani menggenggam kuat tangan ana yang terkepal kelantai. Kepalanya menggeleng kuat dengan raut wajah cemas.

         "Tenang na, kamu jangan marah-marah gitu, ini sudah malam entar ganggu orang" ana terdiam, raut wajahnya masih dipenuhi dengan kemarahan berbeda dengan chika yang tertunduk lemah tak bersuara, hanya menunduk mendengarkan setiap kata yang bernada marah yang keluar dari mulut ana. Ani kembali mundur ke samping dina, saat dirasakannya ana yang mulai melunak.

         "Terus, kamu bilang apa?" Chika memberanikan diri mengangkat kepala, mendengar pertanyaan ana. Ia meremas tangannya dengan frustasi, chika merasa tak suka dengan sikap ana yang terlalu berlebihan terhadap dia dan arka, apa salahnya jika ia dekat dengan arka walau tidak berpacaran. lagipula menjadi teman dekat bukan hal yang buruk, ia merasa arka pria yang baik, meski selama ini tidak pernah dekat tetap saja ia sudah mengenalnya dan bersama dikelas selama 3 tahun.

        "Ya Apa lagi? Karena aku memang gak tau mesti gimana jadi aku tanya, dia mau nya gimana, dan dia jawab seperti sekarang. Awalnya aku gak ngerti tapi mungkin maksudnya berteman dekat seperti sekarang. Dan tentu aja karena aku merasa ini bukan sesuatu yang buruk, aku setuju sama arka" chika kembali tertunduk saat dirasa perubahan wajah ana yang kembali memerah.

          Ana mendengus keras sembari memalingkan wajah kesal sebelah alisnya terangkat dengan telunjuk yang mengacung berputar di samping kepalanya "aaa.. ternyata kamu sama gilanya" ucap ana dengan nada kesal. Dina ternganga mendengar penuturan ana, sedangkan ani melebarkan pandangannya tak percaya "kak itu-".

         "Gila? Aku? Maksud mu aku gila? Gila karna suka sama arka? atau gila karna setuju sama ucapan arka? Kamu tau apa na, kamu tau apa tentang aku?!! Aku selama ini memendam perasaanku dengan sabar dan sekarang aku tau kalau dia juga punya perasaan sama aku, walau gak pacaran kami seengaknya bisa dekat. Kamu itu temanku harusnya kamu senang kalau aku senang, lagian bukannya aku sudah cerita sebelumnya lewat telpon kalau arka ngehubungin aku, dan kamu fine-fine aja" chika menumpakan segala kekesalannya yang tertahan sejak tadi pada ana, ia benar-benar tak tahan harus mendengar perkataan kasar ana.

     ia merasa ana juga harus mendengarkannya, mendengar apa yang ada dipikiran chika, mendangar kekesalannya. Air matanya tumpah membasahi pipi, entah mengapa hati yang semula sesak, semakin sesak saat ia melihat ana berdiri dengan wajah sendu dan pandangan terluka.

"Aku biasa aja karna kupikir kamu lagi shock malam itu, tapi ternyata... waktu arka bahas lagi kamu malah setuju? Kamu pikir berapa tahun kita berteman? Sejak smp, jauh sebelum kamu mengenal arka. Sebelum kamu melihat arka sebelum kamu punya perasaan sama dia. Aku kenal banget sama kamu chika, ini pertama kalinya kan kamu suka sama cowok? Aku tau itu. Kamu itu terlalu polos, kamu... gak bisa menjamin dia beneran suka atau enggak. Aku cuman gak mau kamu dibutakan sama perasaanmu dan nantinya malah sakit sendiri" ana berjalan meninggalkan chika yang masih terduduk, pandangannya tertunduk dengan air mata yang masih terus mengalir, dina dan ani mendekati chika dina mengusap pelan punggungnya dan ani menggenggam kuat tangan chika. Tak ada suara dari ketiganya hanya suara tangis chika yang terdengar pilu dan menyesakkan.