webnovel

Rain Sound

biar kutanyakan pada mu. apa kau percaya cinta pertama akan terjalin saat kamu hanya memendamnya disudut hatimu tanpa pernah mengungkapkannya, tanpa sekalipun memperlihatkan langsung padanya? kebanyakan orang akan berkata tidak mungkin. ya sangat tidak mungkin. namun suara hujan malam itu seakan menjadi pertanda bagi chika, jawaban yang seharusnya tidak mungkin entah mengapa berubah menjadi mungkin. tapi apa yang terjadi? bagaimana mungkin perasaan yang tulus ini terjalin dalam hubungan yang tak jelas. haruskah chika bahagia atau merasa sedih? ini tentang kisahku dan cinta pertamaku

Kirei0713 · 若者
レビュー数が足りません
14 Chs

Rencana

"Ani kenapa sih? Kok jarang keluar kamar?" Chika melangkah menuju meja makan yang telah dipenuhi masakan ana. Chika masih menatap ana, raut wajah nya menampakan kekhawatiran sebab Sudah beberapa hari ini ia jarang melihat ani keluar dari kamar dan hanya mengurung diri disana.

"Dia baru putus"

"Apa?" Chika memandang tak percaya kearah ana, kedua matanya membesar seiring keterkejutan yang ia rasakan. Sedangkan ana seakan tak perduli pada respon chika. Ana berlalu menjauh menghampiri dina yang berada diruang tengah.

      Chika tak habis pikir pada sikap ana, bagaimana bisa ia bersikap sesantai itu saat tau saudaranya sendiri sedang patah hati? Chika menggelengkan kepala mengusir prasangka buruknya tetang kemungkinan ana yang memaksa ani lagi.

     "Kamu ngapain? Udahlah gak usah mikirin ani, bentar lagi juga baik-baik aja" chika tersentak saat ia merasa tepukan pelan ana dibahunya. Ana dan dina duduk melahap makanan yang ada di depan mereka. Tak mau mengganggu waktu makan chika pun ikut menghabiskan makanan yang ada di hadapannya.

"Na?" Chika mengalihkan pandangan pada dina, meski dina bukan menyebut nama chika, ia tetap mengamati keduanya, menanti arah pembicaraan mereka.

"Hem?"

"Dari tadi ani dikamar aja, dia udah makan?"

"Gak lapar katanya" ana hanya menjawab seadanya, tanpa menatap lawan bicaranya. Pandangannya hanya terfokus kearah televisi. Mendengar respon ana, dina kembali memainkan ponsel, sembari berbaring disofa panjang samping ana.

"Ey,, kok gitu? Entar dia malah sakit, seenggaknya kan harus tetap makan" chika mengernyitkan alis tak suka pada sikap ani. Ia tak paham pada orang-orang yang sedang putus cinta ataupun sakit hati. Kenapa ani harus menyiksa diri hanya karna putus dari arvin? Padahal ada banyak pria diluar sana yang jauh lebih baik. "Bukannya dia berlebihan?" Gerutunya tanpa sadar.

"Udahlah, lagian kan dia bukan anak kecil, entar kalau lapar juga bakal makan tuh anak. Emang berlebihan sih... tapi kan kamu belum ngerasain, entar kalau ngerasain juga belum tentu bisa biasa aj" cengir ana diakhir kalimatnya, diiringi kekehan dina yang masih tertuju pada ponsel digenggamannya.

"Masa segitunya sih?"

Bukannya menjawab ana hanya mengangkat bahu sekali, sebelah alisnya terangkat dengan bibir yang terkatup rapat.

"Ngomong-ngomong... kamu sendiri gimana sama arka? Aman aja?" Dina memecah keheningan ditengah suara televisi yang mengisi ruangan.

"Kayak nya makin lengket ya?" Sambung ana tak mau ketinggalan.

Mendengar pertanyaan dari kedua temannya sekilas sebelah bibirnya terangkat membentuk senyum miring.

"Wahh pertanyaan apaan tuh? Aman ya aman lah seperti teman pada umumnya, gak lengket ah perasaan"

"Heiihh,, pinter banget ngelesnya, padahal tiap malam... telponan sampai kedengaran ke kamar sebelah" mendengar penuturan ana, chika merasa lidahnya kelu untuk berucap, wajahnya mulai panas, terlalu malu untuk merespon.

"Apaan sih, pakai sayang-sayang segala. Geli tau. Cih Padahal kami yang dengar tiap malam juga..." dina tak melanjutkan ucapannya. Tapi dari gerakannya tangannya yang melingkar memeluk erat bahu-bahunya sembari bergiding, chika sudah tau kata apa yang dina simpan dipikirannya.

Chika menyentuh kedua pipinya yang kini panas dan kemungkinan sudah merah padam karena menahan malu atas ejekan dina dan ana sedari tadi. "Lagian aku juga gak ngerti dia itu kenapa sih begitu, padahal udah dibilangin jangan berlebihan" chika memgambil bantal kecil yang terjepit dibelakang tubuhnya dan menutupi wajah dengan bantal.

"Aku tak punya bunga, aku tak punya harta yang kupunya hanyalah hati yang setiaaa tulus pada"

"Muuuu" chika melihat dina dan ana bergantian dan mulai melayangkan bantal diganggamannya ke wajah ana yang menyambung lagu dari dina dengan mata terpejam. Kedua kembali tertawa keras mengabaikan chika yang mengacak rambut frustasi.

"Ting tong, ohh ada pesan masuk tuh, arka?" Ana menatap chika. Chika melirik layar ponselnya dan mengangguk menatap kedua bola mata ana. Ana sendiri hanya tersenyum kecil menanggapi respon chika yang terlihat antusias.

"Tumben, gak masuk kamar?" Dina tersenyum menggoda chika, yang di goda hanya mengerucutkan bibir melirik dina sekilas.

"Ya kan, biasanya langsung kabur kekamar" chika tak merespon, ia menyala ponselnya dan membaca pesan bertuliskan nama arka.

Arka : siang~ sibuk?

Chika : siang juga, gak nih, why?

Arka : gak papa sih, 3 hari lagi kan kita udah mulai sekolah lagi kan ya?

Chika : ohh iya ihh, gak kerasaa, udah ganti semester aja

Arka : nah sebelum masuk sekolah, kalau kita jalan-jalan lagi gimana? Yahh, siapa tau ntar udah mulai sekolah kita jadi sibuk belajar

Chika : jalan? Kemana?

Arka : kemanapun yang kamu mau

Chika tersenyum-senyum membaca pesn dari arka, entah mengapa perasaannya seakan tergelitik hanya membaca balasan pesan darinya.

"Orang-orang saat merasakan jatuh cinta, akan mudah berbunga-bunga dan senyum sendiri tanpa sebab, bukan kah begitu?" Senyuman diwajah chika memudar mendengar kata-kata yang keluar dari bibir ana. Sama halnya dengan dina, Ia mengangkat kepala memandang ana yang masih fokus menonton seakan acuh pada sekitar.

"Kamu lagi ngomongin aku?" Dina mendongakan kepala menatap ana bingung

"Hah? Apa nya?" Ana balik bertanya, tak mengerti arah pertanyaan dina.

"Barusan kamu ngomongin cinta itu loh, itu buat aku atau siapa?"

"Oh itu? Aku ngikutin kalimat drama" ana mengerutkan dahi menatap dina dan chika bergantian, sambil ngacungkan jari telunjuk kearah dina dan chika.

"Wahh manusia-manusia sensitif ini" dina dan chika kembali fokus pada ponsel sedangkan ana kembali menikmati drama televisi.

Arka : jadi kamu mau kemana?

Arka : ?

Chika : hemm... Aku jarang jalan sih, jadi gak tau tempat yang bagus dimana. Kalau aku cari dulu gimana? Besok ku kabarin.

Arka : besok pagi ya... biar siangnya bisa langsung jalan

Chika : okey

Arka : oh ya entar malam aku gak bisa hubungin kamu, gpp ya?sampai ketemu besok

Chika : ya gak papa lah, sampai besok~

Chika meletakan ponsel diatas meja dan ikut menonton drama korea. Ia menyipitkan mata memperjelas pandangan mencoba membaca terjemahan yang terpampang dilayar televisi.

"Aku tidak bisa menanggungnya lagi, sejujurnya hatiku terluka, aku tidak mau menganggapmu sebagai teman, aku melakukannya hanya karena kamu meminta, bisakah kita akhiri sandiwara ini?" Ana berujar mengikuti kalimat yang tertulis di layar televisi, pandangannya tertuju jelas kearah chika, ia tersenyum lebar diakhir kalimatnya saat mendapati chika yang menatapnya dengan mata menyipit kesal.

'Ini drama kenapa nyelekit banget sih kata-katanya' gumam chika dalam hati

"Gak usah di tiru juga kali kata-kata di tv, tersindir nih gue" dina kembali melemparkan serangan pada ana, ia duduk dan menatap ana dengan sebal

"Gue gue apaan.. gapa jadi kamu yang kesinggung, kamu sama om-om itu kan udah mau melangkah ke jodoh bukan teman lagi"

"Hahaha.. om-om? Dosen yaa, umurnya blm sampai 30an belum bisa disebut om-om kali, dari pada kalian? Yang satu jomblo.. eh yang satu malah cuman temen hahahaha"

JLEB. Chika dan ana terdiam tak bisa merespon ucapan dina. Ada benarnya pikir mereka.