webnovel

QOLLBII QOLLBUKA

"Saya akan menangkapmu dan melucuti semua pakaianmu!" Keputusan Khawla Asyifa keluar dari dunia terlarang, membuatnya berlari dari kejaran Albert---mantan kekasih---yang tengah menagih hak satu malam dengannya. Lari tanpa memperdulikan jarak membuatnya memasuki sebuah tempat asing yang beratasnamakan pesantren, hingga dipertemukan dengan seorang Gus yang berhasil menyelamatkannya malam itu. Abizar Arfan Al-Faizan, dengan penuh keikhlasan hati, dia turut membantu Syifa menyelesaikan permasalahannya dengan Albert. Perkenalannya dengan Syifa yang cukup lama, membuatnya memantapkan hati, hingga menjadikan perempuan itu sebagai seorang istri. Namun siapa sangka, pernikahan itu hanya berlangsung tiga bulan lamanya. Gus Arfan dikabarkan meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan surat wasiat yang menyatakan ; bahwa Syifa harus menikah dengan lelaki yang sudah dia pilihkan. Syifa enggan untuk menjalankan wasiat itu. Namun, mengingat segala kebaikan suaminya serta Kiai Faizan---sang mertua---membuat Syifa mau tidak mau harus menjalankan wasiat suaminya. Syifa memutuskan untuk memantapkan hati dengan niatan berbakti kepada mertua dan juga sang suami. Perjalanan hidup Syifa tidak mulus begitu saja. Pernikahan barunya yang tanpa berlandaskan cinta, membuat Syifa kerap berpikiran untuk berpisah. Terlebih lagi ketika Syifa mendapati ada rahasia besar suami barunya yang sudah lama disembunyikan dalam rumah tangga mereka.

Radeka_Frishilla · 都市
レビュー数が足りません
19 Chs

Tidak Pantas Berada di Sini

"Di depan gerbang pesantren ada keributan!"

Suara panik dari salah satu santriwati nyaris membuat satu asrama heboh seketika. Pagi-pagi seperti ini suasana asrama mendadak rusuh dengan saling sahut menyahuti pertanyaan kepada santriwati yang tadi menyampaikan berita.

Begitu sama halnya dengan Syifa. Perempuan itu turut mendekat ke arah kerumunan yang ada di tengah-tengah asrama.

"Ada apa, Roh? Yang bener gitu kalau nyampein berita!" Nada berujar dengan kesal ke arah Syaroh. Sedang Syaroh, santriwati itu sejenak menerima mineral yang diulurkan temannya. Dia terlebih dahulu meneguk beberapa tegukan. Setelahnya, Syaroh mengusap bekas air yang barangkali masih menempel di sela-sela kedua sudut bibirnya.

"Tadi, kan, saya lagi mau buang sampah di luar. Eh, tidak sengaja lihat di depan gerbang pesantren ada suara para santriwan yang heboh di sana."

"Terus-terus?" sahut santriwati lainnya.

"Yang saya lihat, ada segerombolan lelaki asing yang sedang menghajar Gus Arfan."

"Terus gimana keadaan Gus Arfan?" tanya Ning Khanza ikut panik.

Syaroh menggeleng. "Saya tidak tahu, Ning. Tadi pas saya nanya-nanya salah seorang dari santriwan yang lewat, katanya Gus babak belur."

"Tapi sekarang di depan gerbang pesantren masih ramai?" Kali ini Sindi yang mengeluarkan pertanyaan.

"Masih, Mbak."

Setelah mendengar sahutan dari Syaroh, seolah tengah melakukan demo masal, bergegas, para santriwati keluar menuju ke tempat tujuan. Syifa pun sama dengan mereka yang turut berlari keluar dari asrama. Namun, langkah perempuan itu perlahan memelan, kedua matanya fokus ke arah seseorang yang ada di depan gerbang sana.

"Albert?" Syifa bermonolog seorang diri.

Terlihat dari kejauhan, Albert memang tidak datang seorang diri. Di belakang lelaki itu ada dua anak buahnya yang sudah terpapar di tanah. Di sana juga terlihat jelas para santriwan berusaha meleraikan perkelaihan yang tengah dilakukan Albert dan juga Gus Arfan. Bahkan, tidak jarang mereka turut terkena sasaran.

"Ayo, Mbak, ke sana!" Syaroh menyenggol pundak Syifa hingga membuat perempuan itu spontan menoleh ke arahnya.

Syifa mengangguk. Mempersilakan Syaroh bergegas terlebih dahulu meninggalkan dirinya.

"Sialan. Lelaki itu benar-benar kehilangan akal sehat," geram Syifa.

Meski langkahnya terasa berat, tetapi bagaimana pun juga Syifa tetap memaksakan diri untuk melangkah pelan. Tatapannya tidak teralih ke mana saja, dia fokus menatap ke arah Albert yang tengah mengatur napas seraya menatap tajam ke arah Gus Arfan. Wajah lelaki itu terlihat memerah. Rupanya tidak hanya Gus Arfan yang babak belur, melainkan Albert pun sama. Kedua sudut bibir dan juga bawah hidung lelaki itu bahkan mengeluarkan sedikit darah.

"Astagfurullah, apakah begini cara menyelesaikan sebuah permasalahan?"

Kiai Faizan yang baru hadir pun menatap murka ke arah Gus Arfan dan juga lelaki yang tidak dikenalnya ini secara bergantian. Setelahnya, dia beralih menatap kedua anak buah Albert yang perlahan bangkit dengan menahan nyeri di tubuhnya. Para santriwan yang menyadari kedatangan Kiai Faizan spontan menunduk dan memberikan jalan untuk sang Kiai itu.

"Afwan, Abah." Gus Arfan berucap, lirih, seraya menunduk. Sejenak, Gus Arfan mengusap kedua sudut bibirnya yang keluar darah seraya mundur beberapa langkah, mempersilakan sang Abah menghadap ke arah Albert.

"Kalian? Siapa kalian? Ada keperluan apa kalian ke mari?"

Banyak pasang mata kali ini tertuju kepada Albert dan kedua anak buahnya. Namun, tidak dengan Syifa yang menunduk seraya meremas kedua tangannya. Rasanya dia ingin pergi saat ini, daripada harus mendapati Albert dan kedua anak buahnya yang akan mengungkapkan kalau tujuan mereka ke sini adalah Syifa.

Albert menyeringai. "Perkenalkan Kiai, saya Albert." Albert berujar dengan senyuman percaya diri. "Saya ke sini untuk ...."

Albert sengaja menggantungkan ucapan. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, lebih tepatnya ke arah kerumunan santriwati. Sesaat, dia menyipit, tatkala melihat seorang santriwati yang begitu menunduk dengan pakaian yang sedikit berbeda dari santriwati lainnya. Dia mengenakan kemeja, celana, serta pashmina berwarna navy yang menutupi kepala.

"Wah, cantik sekali kamu, Syifa. Tapi ... lebih cantik kalau pakaian kamu tidak tertutup seperti itu."

Deg!

Raga Syifa seolah mati rasa saat Albert terang-terangan menyebut dirinya. Syifa memejam sejenak kemudian menormalkan posisinya. Mati-matian Syifa menahan berbagai rasa yang ada di dalam hati. Terlebih lagi saat ini Syifa tengah menjadi pusat perhatian santriwan dan juga santriwati, bahkan, Kiai Faizan juga turut menatap ke arahnya.

'Sialan.' Syifa mengumpati serta merutuki Albert dalam diam. Perlahan, dia mengginggit bibir bawahnya.

"Saya ke sini untuk menemui Syifa. Tapi lelaki ini malah menyerang saya," ucap Albert seraya melirik ke arah Gus Arfan.

"Hei! Kamu jangan asal bicara, ya! Gus Arfan tidak menyerangmu kalau saja kamu tidak menyuruh kedua anak buahmu memulainya saat itu!" Bagas---salah seorang santriwan yang semalam mendapati Syifa di halaman pesantren, ketika dia hendak laporan kepada Gus Arfan---itu meluruskan alibi yang baru saja dilontarkan Albert.

Lain halnya dengan Kiai Faizan, ketika mendengar keterangan yang baru saja dilontarkan Albert pun langsung memahami. Beliau teringat penjelasan putranya semalam, ketika memintakan izin untuk Syifa yang sementara waktu akan tinggal di pesantren Al-Huda.

"Ada urusan apa anda menemui santriwati saya?" tanya Kiai Faizan kembali menatap ke arah Albert.

Albert mengembuskan napas. "Saya sedang ada keperluan dengannya, Kiai." Albert berujar dengan santai. "Kemarilah, Syifa." sambungnya.

Syifa membelalak dan menggeleng tegas. Dia mundur beberapa langkah dan semakin menyembunyikan diri di balik para santriwati lainnya.

Sedang Kiai Faizan tersenyum dan memejam sejenak. "Silahkan selesaikan keperluan di sini."

Albert membelalak. "Tidak bisa, Kiai! Ini keperluan pribadi. Tidak mungkin saya menyelesaikan keperluan dengan Syifa di tempat ... umum seperti ini!"

"Lantas mau menyelesaikan ke mana?"

"Keluar."

Kiai Faizan beristigfar, pelan. Tangan kanan yang ada lilitan tasbih Kiai itu tergerak menuju ke arah gerbang yang terbuka. "Baik, kalau begitu silahkan keluar. Maaf, saya tidak memberikan izin para santri saya keluar, sedang saat ini seharusnya jam mereka melakukan kegiatan pesantren."

Rahang Albert mulai mengeras ketika mendapat jawaban dari Kiai Faizan. Kedua mata lelaki itu memanas, menatap tajam ke arah Kiai Faizan, Gus Arfan, serta para santriwan secara bergantian. Dia juga beralih menatap tajam ke arah santriwati yang kini langsung menunduk, takut.

"Kalian belum tahu siapa saya? Kalau saya mau, saya bisa saja membeli pesantren ini, bahkan seluruh penghuninya saya beli! Atau bahkan ... saya bisa saja menghancurkan pesantren yang kalian tepati ini!" Albert berujar sembari merapikan sejenak pakaiannya.

"Ayo, pergi," ucap Albert sembari mengode kedua anak buahnya dengan pergerakan kedua tangan. Dia membalikkan tubuh menuju mobilnya berada, sedang anak buahnya berlari kecil menyusul dirinya.

Sepersekian detik, mobil itu mulai melaju dengan kecepatan tinggi di atas rata-rata.

Kesekian kalinya Kiai Faizan dibuat istigfar atas perlakuan Albert. Beliau kemudian membuyarkan area kerumuan para santri, serta menyuruh Gus Arfan agar bergegas menuju ruangan pribadi Kiai Faizan.

"Gus Arfan!" panggil Syifa dan berlari menghampiri posisi Gus Arfan yang sudah perlahan menjauh darinya.

Gus Arfan membalikkan tubuh.

"Maafkan saya. Gara-gara saya, kamu terluka."

Sejenak, Gus Arfan mengernyit. Namun, setelahnya, lelaki itu kemudian tersenyum seraya menggeleng. "Laa, Syifa. Bukan salah kamu. Sekarang lebih baik kamu balik ke asrama. Seperti apa yang tadi dikatakan Abah. Para santri segera kembali menuju asrama."

Syifa bergeming sejenak, sedetik kemudian, dia mengangguk, pelan. Syifa menurut dan melangkah berat untuk kembali menuju asrama.

Di dalam asrama, Syifa langsung duduk di kasur dengan deru napas yang tidak beraturan. Dia sudah mendapati terang-terangan kalau Albert benar-benar memenuhi ucapannya. Lelaki itu benar-benar menemui Syifa. Bahkan parahnya, dia juga melukai Gus Arfan.

"Hei, santriwati baru!"

Syifa mendongak ke arah seorang yang saat ini berdiri di depannya. Seingat Syifa, dia adalah namanya Sindi. Santriwati semalam yang mengkritik perihal penampilan Syifa.

"Berbicara dengan saya?" Syifa memastikan. Sedang, Sindi berdecih kemudian menyuruh Syifa bangkit dari posisi duduknya.

"Lantas siapa lagi kalau bukan kamu? Hanya kamu santriwati baru di sini!" Suara lantang itu bahkan mampu membuat banyak pasang mata santriwati yang ada di dalam asrama teralih ke arah posisi mereka.

"Saya jadi penasaran. Kamu itu sebenarnya siapa, sih? Kenapa lelaki yang tadi menghajar Gus terlihat akrab sekali sama kamu, sedang kamu juga terlihat seolah menghindar?" Sindi kembali mengeluarkan suara dan menatap Syifa dengan penuh selidik.

Syifa hanya bergeming.

"Seharusnya kamu itu nyadar dan malu! Kamu tidak pantas berada di pesantren ini!" Sindi sejenak menahan ucapannya. Dia menatap sekitar, lebih tepatnya mencari keberadaan Ning Khanza. Saat didapati Ning Khanza belum berada di dalam asrama, Sindi kembali menatap tajam ke arah Syifa.

"Sejak kehadiran kamu di sini ... kamu tau? Kenyamanan pesantren Al-Huda mendadak terancam! Apalagi kamu berada satu asrama sama kita! Kita di sini yang niat menuntut ilmu juga kenyamanannya terganggu semenjak adanya kamu!"