webnovel

QOLLBII QOLLBUKA

"Saya akan menangkapmu dan melucuti semua pakaianmu!" Keputusan Khawla Asyifa keluar dari dunia terlarang, membuatnya berlari dari kejaran Albert---mantan kekasih---yang tengah menagih hak satu malam dengannya. Lari tanpa memperdulikan jarak membuatnya memasuki sebuah tempat asing yang beratasnamakan pesantren, hingga dipertemukan dengan seorang Gus yang berhasil menyelamatkannya malam itu. Abizar Arfan Al-Faizan, dengan penuh keikhlasan hati, dia turut membantu Syifa menyelesaikan permasalahannya dengan Albert. Perkenalannya dengan Syifa yang cukup lama, membuatnya memantapkan hati, hingga menjadikan perempuan itu sebagai seorang istri. Namun siapa sangka, pernikahan itu hanya berlangsung tiga bulan lamanya. Gus Arfan dikabarkan meninggal karena kecelakaan dengan meninggalkan surat wasiat yang menyatakan ; bahwa Syifa harus menikah dengan lelaki yang sudah dia pilihkan. Syifa enggan untuk menjalankan wasiat itu. Namun, mengingat segala kebaikan suaminya serta Kiai Faizan---sang mertua---membuat Syifa mau tidak mau harus menjalankan wasiat suaminya. Syifa memutuskan untuk memantapkan hati dengan niatan berbakti kepada mertua dan juga sang suami. Perjalanan hidup Syifa tidak mulus begitu saja. Pernikahan barunya yang tanpa berlandaskan cinta, membuat Syifa kerap berpikiran untuk berpisah. Terlebih lagi ketika Syifa mendapati ada rahasia besar suami barunya yang sudah lama disembunyikan dalam rumah tangga mereka.

Radeka_Frishilla · 都市
レビュー数が足りません
19 Chs

Sambutan yang diterima Syifa

Syifa sangat mengenal seorang Albert itu seperti apa dan bagaimana. Lelaki itu tidak akan main-main dengan segala ancaman yang telah dia lontarkan. Perihal Cyntia yang menjadi sasaran Albert, memang pada dasarnya lelaki itu juga tahu, hanya Cyntia teman atau sahabat dekatnya Syifa. Jadi, dia akan menjadikan sasaran Cyntia untuk mempermudah mendapatkan Syifa lagi.

Syifa mengembuskan napasnya seraya kembali membalikkan badan dan masuk ke dalam ruangan Kiai Faizan.

Sejenak, Syifa menatap ke arah Gus Arfan dan juga Kiai Faizan secara bergantian.

"Maaf, saya pikir, saya akan pergi saja dari tempat ini." Syifa spontan berujar.

"Kenapa begitu, Asyifa? Bagaimana kalau misal di luar sana kamu kembali bertemu lelaki tadi?" Gus Arfan menghela napas, sejenak. "Saya tahu, agama tidak mengajarkan untuk berburuk sangka, tetapi tidak ada salahnya kita berjaga-jaga."

"Justru saya pergi dari sini untuk menemui dia."

Pernyataan yang baru saja terlontar dari mulut Syifa sontak membuat Kiai Faizan dan Gus Arfan sejenak saling pandang, hingga akhirnya, mereka kembali mendengarkan penjelasan yang keluar dari mulut Syifa.

"Dia mengancam akan menghabisi sahabat saya kalau semisal saya tidak menemuinya."

"Tapi, bukankah itu sama saja kamu menyerahkan diri kamu ketika memasuki kandang binatang buas?" Gus Arfan kembali menyahuti disusul dengan teguran dari Kiai Faizan yang menepuk pundaknya. Perlahan, Gus Arfan menunduk. "Maafkan saya. Saya hanya panik saja."

Syifa mengulum senyum seraya mengangguk.

"Khawla Asyifa. Melihat hari sudah sangat gelap, alangkah baiknya untuk sementara ini kamu tinggal di asrama putri. Perihal temanmu, apakah dia sudah mengabarimu tentang keberadaan dia sekarang ini?"

Syifa mengangguk. "Sudah, Kiai. Dia sedang menghindar dan pergi ke luar kota. Katanya akan mengabari saya lagi nantinya," terang Syifa.

Ting!

Bunyi notifikasi pesan dari ponsel Syifa kembali membuat Syifa bergegas membuka ponselnya. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga melengkung membentuk senyuman. Mendapati nama 'Cyntia' yang tengah mengirimkannya notifikasi pesan.

"Sahabat saya mengirim pesan." Syifa memberitahu. Jari jempol gadis itu dengan cekatan membuka notifikasi tersebut.

[Saya sudah sampai tujuan, Syifa. Saat ini saya sedang mencari apartemen baru untuk sementara.]

[Kamu tenang saja. Kamu jangan menemui lelaki tidak waras itu. Tetap berada di tempat amanmu saat ini.]

Sejenak, Syifa menatap ke arah Kiai Faizan dan juga Gus Arfan secara bergantian. Setelahnya, kedua jari jempol Syifa kompak bekerja sama mengetikkan balasan untuk Cyntia.

"Sahabat saya sudah sampai di tempat tujuan," ucap Syifa dengan senyuman bahagia.

Terdengar ucapan hamdalah bersamaan dari mulut Kiai Faizan dan juga Gus Arfan.

"Sementara waktu, saya akan tinggal di sini. Apakah boleh, Kiai?" tanya Syifa seraya menatap penuh tanya ke arah Kiai Faizan. Sedang, Kiai yang mendapat pertanyaan itu langsung tersenyum dan mengangguk. "Tentu boleh. Anggap pesantren ini sebagai rumah kamu sendiri. Ya, begini, memang. Sederhana."

Syifa hanya mengangguk saja.

"Baiklah, saya dan Arfan akan mengantarkanmu ke asrama putri." Kembali lagi Kiai Faizan bersuara. "Mari, Syifa."

Ke sekian kalinya Syifa mengangguk, kemudian mengekor Kiai Faizan dan juga Gus Arfan dari belakang.

Saat berhenti tepat depan gerbang asrama putri, pandangan Syifa leluasa beredar mengamati pemandangan yang ada di sekitar. Terlebih lagi ke arah sebuah tempat bangunan sederhana yang katanya asrama ini. Syifa terdiam sejenak, menurutnya tidak masalah untuk sementara waktu tinggal di bangunan ini, daripada dia harus menemui Albert---lelaki yang sudah kehilangan akal sehatnya itu.

"Eh, assalamu'alaikum, Kiai."

Lamunan Syifa sontak terbuyar mendengar suara salam dari seorang perempuan yang baru saja keluar dari pintu asrama. Syifa meperhatikan gerak-gerik perempuan tersebut yang perlahan membuka pintu gerbang, kemudian mencium punggung tangan Kiai Faizan dengan begitu takzim. Setelahnya, dia menangkupkan kedua tangannya tatkala dia berhadapan dengan Gus Arfan.

Syifa mengernyit. Dia tidak mengerti kenapa perempuan itu tidak turut mencium punggung tangan Gus Arfan seperti halnya tadi yang dilakukan kepada Kiai Faizan. Namun, Syifa memilih untuk terdiam saja. Dia tidak mau banyak bertanya sekarang ini.

"Waaalaikumusaalaam warahmatullahi wabarakaatuh." Gus Arfan dan Kiai Faizan menyahuti kompak, tetapi tidak dengan Syifa yang hanya menggerakkan mulutnya spontan saja.

"Afwan, saya mengganggu waktunya Ning Khanza."

"Laa ba'sa, Kiai. Ada yang bisa Khanza bantu?" tanya perempuan yang dipanggil Kiai Faizan dengan panggilan 'Ning Khanza' itu.

Banyak sekali pertanyaan yang tersemat di benak Syifa. Selain tadi tangkupan tangan perempuan itu yang ketika berhadapan dengan Gus Arfan, kali ini juga Kiai yang memanggil perempuan itu dengan embel-embel panggilan 'Ning'.

"Ini. Ada Syifa untuk sementara waktu mau tinggal di asrama ini. Tolong kamu temani dan bantu dia selama dia berada di pesantren, ya, Ning?"

Ning Khanza bahkan baru menyadari kalau Kiai Faizan dan Gus Arfan tidak datang berdua di sini, melainkan ada perempuan lain. Kedua sudut bibir perempuan itu spontan tertarik membentuk senyuman sempurna. "Masyaa Allah. Cantik sekali--eh, baik, Kiai. Khanza akan temani dan bantu ... Mbak Syifa namanya?"

Syifa mengangguk.

"Baik kalau begitu. Kami pamit dulu, terima kasih, ya, Ning," ucap Kiai Faizan.

Ning Khanza mengangguk. Seperti halnya tadi, dia melakukan hal yang sama pada saat menyambut kedatangan Kiai Faizan dan juga Gus Arfan.

Setelah Gus Arfan dan juga Kiai Faizan menjauh dari jangkauan, Ning Khanza langsung mengajak Syifa menuju ke asrama yang pintunya masih terbuka.

Alih-alih untuk bersuara, justru saat ini Syifa merasa canggung seketika.

Saat di dalam asrama, tidak seperti dugaan Syifa yang menduga kalau pasti santriwati sudah tidur terlelap, melainkan malah masih fokus membaca dan juga murajaah Al-Qur'an, ada juga yang sibuk bercengkerama, sekaligus bercerita. Meski sebagian lagi terlihat sudah ada yang terlelap dalam mimpinya.

"Maaf. Sebenarnya ini seharusnya sudah selesai kegiatannya. Tetapi karena terlanjur semangat jadi begini." Ning Khanza berusaha mencairkan suasana.

Syifa hanya tersenyum canggung. Dia saat ini menjadi sorotan mata para santriwati yang melihatnya dengan menunjukkan berbagai macam ekspresi. Suasana yang tadi lumayan terdengar bacaan-bacaan Al-Qur'an kini mendadak hening seketika. Tidak jarang mereka mengamati penampilan Syifa dari atas sampai bawah.

"Santri baru, Ning?"

Suara dari salah seorang nyaris membuat banyak pasang mata kompak menoleh ke arah sumber suara.

"Pasti santri istimewa. Ke sini saja diantar Kiai sama Gus." Santriwati yang bisa ditaksir umurnya seusia Syifa itu sejenak menahan ucapannya. "Tapi, kok, penampilannya kayak mau ke diskotek saja." Singkat, tetapi menohok.

Syifa bahkan tidak sempat menduga kalau sambutan salah dari mereka akan seperti ini. Meski memang dia akui hal itu tidak salah, karena pasalnya, penampilan Syifa berbeda dengan mereka. Namun, untungnya kedua pundak Syifa masih sedikit tertutupi dengan sabuk yang tadi diberikan Gus Arfan ketika berada di halaman pesantren.

"Mbak Sindi jaga mulutnya, ya!" Salah seorang santriwati itu menimpali ketidakterimaan. "Rasulullah mengajarkan kita untuk tidak melihat orang berdasarkan dari penampilannya saja, Mbak!" sambungnya.

Santriwati yang dipanggil dengan nama 'Sindi' itu melotot dan langsung bangkit dari duduknya. "Eh, Nada, kamu jangan sok ngajarin saya, ya! Saya itu senior kamu!"

Nada juga turut bangkit dari posisi duduknya. "Justru karena Mbak senior saya, saya akan mengingatkan Mbak ketika Mbak salah. Masa iya, senior yang katanya menjadi contoh malah memberikan contoh buruk seperti ini. Menilai orang berdasarkan penampilannya saja." Nada menyahuti dan mendapat sahutan persetujuan dari sebagian santriwati yang lainnya. Namun, tidak sedikit yang memilih untuk diam.

"Sakana!" Kali ini Ning Khanza mulai mengeluarkan suara. Riuh gaduh yang sempat terjadi di asrama kini mendadak hening seketika. Mereka menunduk tanpa sepatah kata.

"Apakah kalian sudah merasa paling benar hingga pantas menilai seseorang seperti itu?"

Hening. Mereka masih tidak ada yang berani bersuara.

"Yang pantas menilai kita hanyalah Allah SWT. Ingat itu! Kita sebagai hambanya tidak ada wewenang untuk itu! Bahkan kalau saja kita ada hak untuk menilai, tetapi ingat dan perlu digaris bawahi, kalau sesungguhnya Allah yang Maha Mengetahui! Kita bisa saja menilai seseorang dengan nilai A, tapi siapa tahu Allah malah menilai seseorang tersebut dengan nilai B."

Ning Khanza terdiam sejenak. Mengamati sekitar asrama yang di mana penghuninya terdiam tanpa sepatah kata. Bahkan, tidak jarang didapati sebagian santriwati yang tadi tertidur pun terbangun dan turut bangkit mengubah posisinya menjadi duduk.

"Afwan. Maafkan saya. Saya hanya tidak mau kita sesama manusia saling memandang sebelah mata. Maafkan saya. Silahkan kalian akhiri murajaahnya dan istirahat. Sudah malam."