"Saya--"
"Gus Arfan!"
Panggilan dari seseorang, kompak membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Salah seorang santriwan yang juga berpakaian sama dengan lelaki asing tadi sejenak mengernyit menatap Syifa, kemudian kembali menatap ke arah sang lawan bicara.
"Sudah lewat sepuluh menit, Gus. Apakah latihannya diselesaikan?" tanya seorang santriwan itu.
'Oh, jadi namanya Gus Arfan.' Syifa bermonolog dalam hati, sesekali dia memperhatikan kedua lelaki yang tengah bercengkerama di hadapannya ini. Mereka sedang berbicara persoalan waktu selesainya latihan silat.
"Lakukan pendinginan terlebih dahulu, setelah itu langsung istirahat atau balik ke asrama." Abizar Arfan Al-Faizan, atau kerap dikenal dengan sebutan Gus Arfan itu menyahutinya.
Sedang, santriwan itu mengangguk dengan takzim. Dia tidak banyak bertanya perihal adanya perempuan asing yang ada di halaman pesantren. Bergegas, santriwan itu kembali menghimbau kepada yang lainnya sesuai dengan arahan yang tadi telah diberikan Gus Arfan.
"Namamu Gus Arfan?"
Kembali, Gus Arfan menatap ke arah Syifa. Terlihat dari pergerakan mulutnya kalau dia tengah menahan tawa.
Gus Arfan menggeleng. "Nama saya Arfan, Nona," sahutnya.
"Lantas, kata 'Gus' ...." Syifa sejenak menjeda ucapannya. Dia terlihat sedang berpikir sesuatu. "Ah, iya. Apakah kamu putra seorang Kiai?" tebak Syifa. Pasalnya, yang pernah dia ketahui dari situs internet yang tidak sengaja dilihatnya itu sering mendapati, kalau putra-putra Kiai disebut dengan sebutan 'Gus', sedang putri-putrinya, disebut dengan panggilan 'Ning'.
"Baik, siapa pun kamu. Saya sangat berterima kasih dan berutang budi sama kamu." Syifa kembali bersuara ketika dia sama sekali tidak mendapat sahutan dari lelaki yang sedang diajak bicara ini.
"Nona ini berlebihan. Bukankah kita sebagai manusia sudah seharusnya saling tolong menolong dalam hal kebaikan? Jadi hal itu sudah lumrah."
Syifa manggut-manggut.
"Kalau boleh tahu, apa yang membuat Nona hingga sampai di sini?" Gus Arfan mulai bertanya.
Syifa terdiam sejenak. "S-saya ... saya kabur dari lelaki tadi. Saya hanya ingin menyelamatkan diri," jawab Syifa.
Kali ini Gus Arfan yang manggut-manggut. Dia tidak lagi banyak bertanya persoalan itu.
"Baik, saya permisi." Tanpa menunggu lama lagi, Syifa kemudian berpamitan dan langsung membalikkan tubuh.
"Sudah malam. Apakah Nona yakin di luar sana aman?"
Mendengar pertanyaan itu, nyaris membuat Syifa kembali menghadap ke arah Gus Arfan. Dia kembali teringat perihal ancaman yang tadi dilontarkan Albert. Syifa menggeleng.
"Sebaiknya Nona ikut saya ke ruangan Abah Faizan, untuk meminta izin agar sementara waktu Nona bisa tinggal di pesantren ini."
Syifa tidak menyahutinya. Dia memperhatikan pergerakan Gus Arfan melepas sabuk yang tadi melilit di pinggangnya, kemudian membuka lipatan sabuk berbahan kain itu. Rupanya sabuk itu berukuran lumayan lebar dan panjang. Perlahan, Gus Arfan menyodorkan sabuk itu ke arah Syifa, membuat perempuan yang ada di hadapannya ini menatapnya dengan tatapan tanya. Dia tidak mengerti.
"Buat apa?"
"Setidaknya bisa menutupi kedua pundak Nona yang terbuka."
Kedua pipi Syifa memanas. Dia melihat ke arah pundak kanan dan kirinya yang memang polosan, tidak tertutupi apa pun di sana.
"Tapi itu terserah Nona. Saya hanya memberikan ini agar nanti Nona tetap merasa nyaman, karena tidak menjadi pusat perhatian ketika kita melewati sebagian para santriwan yang sedang beristirahat di sana."
Syifa terdiam. Benar juga apa yang baru saja dikatakan Gus Arfan.
Perlahan, kedua tangan Syifa terulur seraya menerima sabuk yang tersodor di hadapannya. Dengan penuh keraguan, Syifa langsung mengenakannya hingga lumayan kedua pundaknya tertutupi, tidak seperti tadi.
"Baik, Nona. Mari kita ke ruangan Abah sekarang."
"Sebentar. Jangan panggil saya Nona. Nama saya Khawla Asyifa."
Gus Arfan mengangguk. Mereka berdua kemudian melangkah agak berjauhan menuju ke ruangan Kiai Faizan---Abah Gus Arfan.
Dalam setiap langkah, hanya kecangguan yang Syifa rasakan. Namun, perempuan itu sibuk merasakan serta mengamati lingkungan sekitar.
Saat melewati beberapa santriwan yang sedang beristirahat, di antara mereka hanya menatap Syifa seraya menganggukkan kepala dengan sopan saja. Sambutan itu nyaris terasa berbeda ketika Syifa berada di lingkungan luar sana, yang di mana Syifa seolah hidangan yang siap untuk disantap.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, keduanya berhenti tepat di sebuah ruangan yang terlihat pintunya hanya terbuka sedikit.
Terlihat Gus Arfan tengah mengetuk pintu diiringi dengan ucapan salam. Setelah mendapat sahutan perintah masuk dari dalam, Gus Arfan langsung melepas sandal terlebih dahulu dan membuka pintu kemudian masuk ke dalam ruangan itu.
"Mari, Nona--eh, maksud saya Asyifa," ucap Gus Arfan.
Syifa terdiam. Dia terlebih dahulu menatap ke arah lantai yang bertuliskan dua kata, 'Tempat Suci'. Syifa mengangkat sebelah alisnya, rupanya tidak hanya di sini, di jarak yang lumayan jauh darinya---di lantai masjid---juga terdapat tulisan besar dengan dua kata yang sama.
Apakah seorang perempuan kotor seperti Syifa tidak diperbolehkan menginjak di tempat yang katanya suci ini?
"Asyifa, kenapa masih di sana?" tanya Gus Arfan, setelah berbicara dengan Kiai Faizan, dia memutuskan kembali menghampiri Syifa ketika melihat Syifa yang masih saja berdiri di tempat. Bahkan, perempuan itu terlihat tengah menunduk.
"Apakah perempuan kotor seperti saya tidak boleh menginjak tempat suci ini?"
Gus Arfan mengernyit. Dia mengikuti arah pandang Syifa yang masih menunduk ke bawah. Rupanya perempuan itu tengah membaca tulisan yang ada di lantai ini.
"Astagfirullah, kamu salah faham, Asyifa. Lantai ini bertuliskan 'tempat suci' itu artinya lantai ini berusaha dijaga dari najis."
"Maksudnya?" Syifa masih tidak mengerti. Toh, sejauh ini tempat yang Syifa datangi juga sangat bersih, tetapi tidak ada tulisan 'tempat suci' seperti ini.
"Maksudnya ... untuk menjaga kesuciannya ; kita ketika menginjaknya tidak dengan memakai sandal atau semacamnya. Kita diharuskan untuk melepasnya terlebih dahulu. Kan, tidak lucu kalau misalnya sandal yang kita pakai untuk menginjak lantai ini ternyata habis terkena kotoran, jadi itu sama artinya dengan lantai yang awalnya suci bisa-bisa terkena najis karena terkena kotoran itu tadi."
"Tapi apartemen yang sering saya datangi lantainya juga bersih. Bebas menggunakan sandal ketika masuk atau tidak, karena alas kaki yang dikenakan pasti bersih. Tapi tidak ada tulisan seperti ini."
Gus Arfan tersenyum. "Asyifa. Bersih tidak menjamin bahwa hal itu suci, begitu juga sebaliknya, kotor tidak menjamin hal itu najis. Tulisan seperti ini memang untuk menjaga kesuciannya saja. Tidak ada hal lain."
Ke sekian kalinya kedua pipi Syifa memanas. Dia malu setelah mendengar penjelasan yang baru saja dilontarkan Gus Arfan.
"Sudah, mari kita masuk. Abah sudah menunggu, ingin kenal sama kamu."
Syifa mengangguk dan mulai mengekor Gus Arfan dari belakang.
Saat sudah sampai di dalam ruangan, seseorang dengan pakaian panjang serba putih, diiringi dengan sorban di kepala tersenyum ramah menyambut kedatangan Syifa. Syifa bisa menebak kalau beliau adalah seorang Kiai.
"Mari, silahkan duduk," ucap Kiai Faizan seraya menggerakkan tangannya, mempersilakan Syifa duduk dengan begitu ramah.
Syifa mengangguk. Rasanya kedua mulutnya seolah terbungkam ketika berhadapan dengan Kiai Faizan.
"Baik, namamu siapa?" tanya Kiai Faizan.
Syifa memberanikan diri untuk mendongak. Raut wajah Kiai Faizan terlihat begitu tenang dan menyejukkan. Apalagi senyuman ramah dan bersahabat, tatapannya juga sama sekali tidak memandang Syifa dengan tatapan hina, padahal Syifa bukan perempuan baik-baik yang pantas untuk berada di tempat seperti ini.
"Khawla Asyifa, Kiai."
Drt ... drt ... drt ....
Ponsel Syifa yang bergetar di dalam tasnya sontak membuat Syifa spontan mengambil. Di layar utama sana memunculkan nama 'Cyntia' yang sedang mengirimkan panggilan suara.
"S--saya permisi mau menerima telepon dulu."
Tanpa menunggu sahutan dari Gus Arfan ataupun Kiai Faizan, Syifa langsung bergegas keluar mengangkat panggilan.
Bersamaan dengan panggilan yang terhubung, di sana terdengar suara Cyntia sedang panik.
"Ada apa, Cyntia?" tanya Syifa.
'Kamu di mana, Syifa? Kamu tau? Albert sudah gila saat ini. Dia nekat menunggumu di dalam apartemenmu. Bahkan, dia mengancam saya kalau saja kamu tidak menemuinya, maka dia akan menghabisi saya!'
Deg!
Degup jantung Syifa kembali saling bersahutan. Cyntia---teman dan juga sahabatnya itu pasti sudah sangat mengerti bagaimana hubungan Syifa dengan Albert.
"Benar-benar tidak waras! Saya sekarang ada di ... ah! Itu tidak penting saya di mana. Saat ini yang saya permasalahkan adalah keberadaan kamu, Cyntia. Jangan sampai lelaki kehilangan akal sehat itu benar-benar menepati ancamannya!"
Terdengar umpatan di seberang sana.
'Oh, shit! Ini saya sudah berangkat ke luar kota, sebentar lagi mau sampai di tempat tujuan. Nanti saya kabari lagi. Saat ini saya sedang fokus perjalanan. Saya meneleponmu hanya memastikan keadaanmu saja.'
"Okay. Saya tunggu kabar baiknya."
Sesaat kemudian, sambungan telepon terputus. Syifa sejenak menggigit ujung telunjuknya. Dia turut khawatir perihal keadaan sahabatnya itu.
Apakah Syifa harus menemui Albert saja, agar Cyntia tidak turut terancam?