"Masuk!" titah Albert dengan intonasi tinggi kepada Syifa.
Sebenarnya hal ini bukanlah kemauan sekaligus bukan keputusan yang baik untuk Syifa. Namun, mengingat Cyntia yang nyawanya tengah menjadi ancaman, tidak mungkin juga Syifa tega begitu saja terhadap sahabatnya. Tentu, Syifa lebih memilih untuk mengorbankan dirinya sendiri. Bahkan, saat ini perempuan itu sudah berada di mansion lelaki sialan ini.
"Masuk, Syifa! Apakah kamu lupa dengan sahabatmu? Jika kamu tidak menurut, maka tahu sendiri, kan?"
Syifa tertegun dan spontan menatap Albert yang sudah berdiri tegap di depan pintu kamar yang terbuka. "Kamu selalu membawa-bawa Cyntia dalam urusan kita!" bentak Syifa.
Sedang lelaki itu menyeringai. Tanpa merespon kalimat Syifa, dia malah semakin membuka lebar pintu kamarnya. Tangannya bergerak, mempersilakan perempuan itu masuk ke dalam.
Kedua kaki Syifa rasanya berat untuk tergerak, apalagi harus memasuki ruangan itu. Dia masih terdiam, enggan untuk melangkah.
"Apakah kamu lupa dengan kamar ini? Kamar yang sering kita gunakan untuk bersenang-senang. Tidakkah kamu merindukannya, Syifa?" tanya Albert dengan suara yang sudah terdengar begitu serak. Lelaki itu menatap Syifa dengan tatapan sayu, sedang perempuan itu menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia tidak mau mengingat hal itu.
"Rupanya kamu mau dengan cara kasar!" Tak kunjung mendapat respon apa pun dari Syifa, tanpa menunggu lama lagi, Albert langsung mencengkeram erat pergelangan tangan perempuan itu.
Syifa yang terus meronta seraya mencoba melepaskan cengkeraman Albert pun nyaris rasanya sia-sia. Albert terlihat seolah tidak sabar, dia langsung menarik paksa Syifa untuk masuk ke dalam kamar. Bahkan, dia menjatuhkan Syifa hingga membuat perempuan itu tersungkur tepat di dekat ranjang berukuran besar.
Syifa merintih sembari menatap tajam Albert. "Kasar, sialan!" Syifa mengumpat.
"Maaf, Manis. Kamu yang membuat saya bertindak seperti itu, seandainya kamu menurut, maka saya juga pasti akan memperlakukan kamu dengan lembut," sahut Albert.
Tok ... tok ... tok!
Suara ketukan kamar sontak membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya seorang Maid yang kini menatap Albert dengan tatapan takut. Meski begitu, dia sejenak menunduk dengan hormat.
"P--permisi, Tuan. Apakah ada yang perlu saya bantu?" tanya Maid tersebut dengan nada bergetar.
"Apakah saya memanggil dan menyuruhmu ke mari?" tanya Albert dengan intonasi tinggi.
Maid tersebut menggeleng, pelan. "M--maaf, Tuan. S--saya pikir, T--Tuan Albert membutuhkan bantuan." Maid tersebut berujar. Pasalnya, dia berpikir Albert membutuhkan dirinya yang barangkali untuk mengambilkan sesuatu seperti biasanya.
"Tidak ada! Keluarlah! Dan pastikan tidak ada satu pun orang yang mengganggu!" tegas Albert.
Kesekian kalinya Maid itu dibuat gelagapan dengan intonasi suara Albert. Dia kemudian mengangguk dan membalikkan tubuhnya.
"Tunggu!"
Maid tersebut kembali lagi menghadap Albert, dia mendongak, perlahan, kedua matanya menatap iba ke arah Syifa yang tengah tersungkur di dekat ranjang.
"Katakan kepada Jo dan Je, mereka harus berjaga dengan ketat di luar mansion sana, jangan sampai ada penyusup yang mencoba mencari dan mengambil Syifa kembali!"
Seolah Albert mempunyai feeling kalau akan ada yang sedang mencari dan berusaha mengambil Syifa kembali, lelaki itu memerintahkan Jo dan Je---si kembar yang sejak dahulu bekerja di mansion Albert sebagai penjaga. Mereka ditugaskan berjaga dengan ketat di luar mansion sana.
"B--baik, Tuan. S--saya pamit permisi."
Sepeninggal Maid, Albert langsung beranjak menutup pintu dan menguncinya dengan rapat.
Syifa yang melihat itu pun nyaris terbelalak. Perempuan itu langsung bangkit dan mengambil langkah untuk menjauhi Albert. Dia sudah bisa menebak hal selanjutnya yang akan lelaki itu lakukan padanya.
"Kemarilah, Syifa."
Semakin Syifa memundurkan langkahnya, semakin pula Albert menyunggingkan senyum dan terus maju mendekat ke arah Syifa.
"Albert, jangan dekat-dekat!" teriak Syifa.
Namun, Albert seolah tidak mendengar. Dia terus saja maju dan semakin lama semakin mendekat dengan Syifa. Membuat gadis itu sudah tidak lagi mempunyai ruang untuk mengambil langkah. Syifa kalah. Dia tertahan tepat di ujung tembok dekat sebuah lemari.
Albert menyeringai. Saat tangan Syifa berusaha untuk melawan, secepat kilat tangan kanan Albert langsung menahan, sedang tangan kirinya dia gunakan untuk menekan tembok, memberi penghalang agar Syifa tidak bisa lari ke mana-mana.
Syifa yang merasa tidak memiliki kebebasan di bagian kedua tangannya pun kini menatap ke bawah. Dia masih mempunyai kedua kaki yang siap sedia menendang kelemahan lelaki itu. Namun, lagi-lagi sial. Albert terlebih dahulu menahan dengan kedua kakinya.
Bahkan, sebelum Syifa mengeluarkan suara untuk merutuki Albert, lelaki itu sudah terlebih dahulu membungkam mulut Syifa dengan memulai aktivitas lembut di sana.
Syifa menggeleng berulang kali, berharap dengan itu Albert segera menyerah dengan aktivitasnya. Namun, hal itu malah semakin membuat Albert menggila.
Perempuan itu sama sekali tidak menikmati seperti dahulu ketika dia masih berada dalam dunia terlarang. Namun, setelah memutuskan untuk keluar, justru saat ini Syifa merasa sangat tertekan. Syifa merasa harga dirinya sudah dipermainkan. Syifa muak dengan Albert. Namun, dia tidak bisa melakukan perlawanan apa-apa. Tenaga Albert yang begitu besar nyaris membuat Syifa kwalahan.
Syifa masih enggan membuka mulutnya. Dia menutup rapat. Membuat Albert sedikit kesusahan untuk melanjutkannya. Namun, lelaki itu tidak menyerah dan langsung menggingit kecil hingga nyaris sedikit membuat Syifa membuka mulutnya.
Air mata Syifa bergantian keluar menerobos membasahi pipinya. Untuk saat ini, Albert langsung menjeda dan menatap Syifa dengan tatapan sulit diartikan. Sedang gadis itu memejam, mempersilakan air matanya untuk terus keluar.
"Kamu menangis, Syifa?" Albert bertanya. Dia perlahan membebaskan tubuh Syifa. Tangan kirinya yang tadi digunakan untuk menahan tembok pun perlahan dia turunkan.
Syifa perlahan membuka mata. "Saya tidak bisa, Albert. Saya sudah berhenti." Syifa kembali mengingatkan Albert perihal keputusannya.
Terdengar embusan napas dari Albert. Lelaki itu mundur, memberi ruang untuk Syifa.
"Setidaknya untuk saat ini kita bersenang-senang saja, Syifa!"
Syifa menggeleng. "Saya tidak mau semakin menambah dosa, Albert. Berhubungan sebelum menikah itu sangat dilarang agama," sahut Syifa.
Albert bergeming sejenak.
"Saya akan menikahimu! Kalau perlu sekarang juga saya akan memanggilakan penghulu!" Albert tidak main-main dengan ucapannya. Sudah dikatakan sebelumnya kalau Albert sudah sangat jatuh hati dengan Syifa.
Kesekian kalinya Syifa menggeleng.
Albert semakin dibuat murka dengan gelengan kepala Syifa. "Syifa! Bukankah kamu tadi yang mengatakan kalau berhubungan sebelum menikah sangat dilarang agama. Begitu juga katamu yang tidak mau semakin menambah dosa, maka dari itu saya malam ini juga akan menikahimu! Biar kita bisa terus bersenang-senang tanpa ada hal seperti apa yang kamu takutkan."
Berulang kali Syifa menggeleng. "Apakah kamu tahu jika menikah itu bukan hanya karena berlandaskan nafsu?" Syifa bertanya dengan degup jantung yang naik-turun tidak beraturan.
Mendengar hal itu nyaris membuat Albert kembali maju mendekati Syifa. Napasnya menggebu. Dia mencengkeram erat kedua pundak Syifa hingga membuat perempuan itu merintih kesakitan. "Albert, sakit ...."