webnovel

Rahasia Haoran

Emma berusaha menyingkirkan pemikiran itu dari benaknya dan berusaha fokus pada pelajaran yang sedang mereka bahas. Dinh, Alex, David, Eric, dan Haoran tampaknya benar-benar serius mengikuti les hari ini.

Dalam hati Emma merasa bersyukur karena tadinya ia berasumsi bahwa anak-anak bodoh dari kelas F tidak berniat belajar. Apalagi mengingat kelima pemuda itu anak-anak orang kaya. Stereotype orang kaya biasanya adalah mereka malas atau memandang rendah orang lain. Tetapi mereka benar-benar tidak seperti itu, pikir Emma.

Jangan menilai buku dari sampulnya.

"Aku sudah memberikan tes kepada Haoran Untuk mengetahui tingkat kemampuannya dalam pelajaran, tetapi aku belum mengetahui kemampuan kalian. Karena itu, aku sudah menyiapkan untuk kalian masing-masing, tes berbagai mata pelajaran untuk kalian kerjakan, supaya aku bisa mengetahui tingkat pengetahuan kalian. Nanti dari sana aku akan menyiapkan materi pembelajaran yang sesuai." Emma memulai kelasnya dengan membagikan lembaran-lembaran tes kepada murid-murid barunya. "Tes ini tidak perlu kalian kerjakan sekarang. Silakan dibawa pulang dan kembalikan kepadaku pada pertemuan kita berikutnya di hari Jumat."

Keempat pemuda itu saling pandang dan mengangguk. Emma lalu mengulurkan tangannya meminta buku kepada Haoran.

"Baiklah, tadi siang kalian belajar apa? Ada yang mau ditanyakan?" Emma memandangi mereka berlima dengan pandangan penuh perhatian.

"Tadi kami belajar Fisika mulai dari Bab 10," kata Haoran sambil menyerahkan bukunya kepada Emma.

Gadis itu membuka bab 10 dan membaca dengan cepat isinya. Guru Fisika, Pak Chen sudah mengajar mereka sampai Bab 10, sehingga ia cukup familiar dengan materinya.

"Baiklah, ini gampang sekali," kata Emma. "Silakan buka buku kalian dan aku akan menerangkan apa maksudnya."

Pelajaran les pertama antara Emma dan kelima murid barunya berlangsung dengan tenang. Mereka cukup memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh Emma, walaupun beberapa kali Alex dan Dinh bersenda gurau. Pandangan menusuk dari Haoran dan kecamannya membuat mereka segera terdiam dan kembali fokus pada pelajaran.

"Terima kasih atas kerjasama kalian hari ini," kata Emma saat menyudahi pelajarannya setelah dua jam berlalu.

"Ini baru jam 7 malam," kata Haoran. " Makan malam di sini saja, karena ini les pertama. Teman-teman juga memutuskan untuk makan malam bersama, kalau kau bersedia."

Emma melihat pandangan dari para pemuda itu yang mengundangnya untuk ikut makan bersama mereka. Mau tidak mau Emma akhirnya mengangguk. Mereka lalu membereskan buku-buku mereka dan memasukkannya ke dalam tas lalu keluar dari kamar Haoran dan berjalan menuju lantai 1 untuk masuk ke ruang makan.

Di sana rupanya sudah ada dua orang pelayan menyiapkan hidangan makan malam melimpah di meja.

"Jangan ragu-ragu," kata Haoran. "Makan yang banyak."

Seolah di rumah sendiri, keempat pemuda yang lain segera mengambil kursi mereka dan duduk menghadapi makanan. Emma sendiri menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sesuatu.

"Kau sedang mencari apa?" tanya Haoran keheranan.

"Oh, tidak. Aku hanya ingin tahu di mana orang tuamu. Apakah mereka tidak ikut makan bersama kita? Aku belum bertemu mereka."

Teman-teman Haoran saling pandang seolah barusan Emma menanyakan pertanyaan yang tidak perlu.

Haoran hanya mengangkat bahu. "Oh, ayahku tidak tinggal di sini. Ia tinggal bersama istri mudanya."

"Oh.. maaf, aku tidak tahu," kata Emma yang seketika menjadi tidak enak.

"Tidak apa-apa, aku kan tidak pernah bilang," jawab Haoran sambil mengangkat bahu.

"Berarti kau disini hanya tinggal sendirian dengan pembantu di rumah sebesar ini?" tanya Emma keheranan.

Haoran menggangguk. "Benar, itu sebabnya aku sering meminta teman-teman untuk datang ke sini."

Emma tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya memiliki orang tua tetapi tidak tinggal bersama karena ayahnya memilih untuk tinggal dengan istri muda.

"Kau tidak akan bertanya di mana ibuku?" tanya Haoran tiba-tiba.

Emma menggeleng. "Tidak, aku tidak suka ikut campur urusan orang. Aku takut menyinggung perasaanmu kalau aku bertanya tentang ibumu."

"Tidak apa-apa," kata Haoran. "Ibu kandungku tinggal di China. Orang tuaku berpisah lima tahun yang lalu. Sejak itu aku tidak boleh bertemu dengannya."

"Oh, itu kejam sekali," kata Emma.

"Ayah tidak menyayangiku sebab ia tidak mau tinggal denganku. Ia lebih memilih tinggal dengan istri barunya daripada denganku. Tetapi ia juga tidak mengizinkan ibu mengambilku. Dia sungguh adalah laki-laki egois. Dia juga yang menjadi alasan kenapa aku sengaja tinggal kelas selama dua tahun berturut-turut."

"Oh, kau tidak pernah mencoba untuk ke China untuk menemui ibumu?" tanya Emma.

Sebelum Haoran menjawab, teman-temannya sudah mengalihkan perhatian dengan mengetuk-ketukkan sendok mereka ke piring.

"Sudahlah, ayo makan, jangan banyak bicara. Aku sudah kelaparan," kata Dinh buru-buru untuk menengahi kecanggungan yang ada. Ia tahu bahwa Haoran tidak suka membicarakan tentang ayah dan ibunya. Karena itu ia mengalihkan perhatian dengan segera melahap makanan yang terhidang di meja.

Keenam siswa itu lalu makan malam bersama sambil mengobrol tentang apa saja. Emma merasa bahwa apa yang telah diceritakan kepadanya sejauh ini sudah cukup dan kalau ia memaksa bertanya, hal itu sepertinya dapat menimbulkan luka kembali di hati Haoran.

Karena itu ia memusatkan perhatiannya kepada makanan dan menikmati makan malam sambil berbincang-bincang dengan kelima muridnya. Ia tidak menyangka ia akan sangat senang berada di tengah lima siswa dari kelas F.

Mereka semua memiliki kepribadian berbeda-beda tetapi yang jelas keempatnya seolah mengangkat Haoran sebagai pimpinan mereka. Selain karena ia lebih tua, pemuda itu juga memang lebih mendominasi.

David dan dan Dinh sama-sama tinggal di seputar Lotus Garden, sementara Eric dan Alex tinggal di pemukiman lain yang agak jauh dari situ. Eric membawa mobilnya sendiri sementara Alex dijemput oleh supir.

"Baiklah, sudah saatnya untuk pulang. Aku sudah dijemput," kata Alex saat membaca SMS dari sopirnya yang datang menjemput. Ia menoleh ke arah Emma. "Kau ikut pulang denganku saja. Aku bisa mengantarmu ke rumah. Kau tinggal di daerah mana?"

Ketika Emma menyebutkan alamatnya, Alex mengangguk-angguk. "Tidak terlalu jauh dari rumahku. Ikut saja. Nanti kau akan kau antarkan."

"Ah, baiklah terima kasih, tetapi aku tidak mau merepotkan." Emma berusaha menolak tawaran itu.

"Tidak tidak repot sama sekali," kata Alex. Akhirnya Emma pun menerima. Setelah pamit kepada Haoran, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Dinh berjalan kaki ke rumahnya karena sangat dekat. Eric mengantar David karena lewat rumahnya, dan Emma menumpang mobil Alex.

"Aku tadi tidak mau membahas ini di depan Haoran karena aku tidak mau membuatnya tersinggung," kata Alex tiba-tiba saat mereka sudah di tengah perjalanan. Emma menoleh dan memperhatikan apa yang hendak disampaikan pemuda itu. "Kurasa kau perlu tahu kenapa Haoran tidak mencari bertemu ibunya ke China."

"Kenapa?" tanya Emma penasaran.

"Ia diancam oleh ayahnya, kalau sampai ia nekat mencari ibunya ke China, ayahnya akan mengirim Bodyguard untuk menghukum ibunya. Jadi Haoran terpaksa menahan diri untuk melindungi ibunya agar tidak diganggu oleh ayahnya." Alex menjelaskan dengan wajah keruh.

"Kenapa ayahnya sampai berbuat seperti itu? Bukankah dulu mereka pernah saling mencintai? Kenapa bisa sekejam itu kepada mantan istrinya?" tanya Emma keheranan.

Menurutnya pasangan suami istri adalah laki-laki dan perempuan yang sangat saling mencintai. Hubungan cinta antara suami istri seharusnya tidak berubah menjadi benci separah seperti ayah Haoran kepada ibunya.

"Dulu ayahnya tidak begitu, tapi sejak ia menikah dengan istrinya yang sekarang, ayah Haoran benar-benar seperti kerbau dicucuk hidung. Ia hanya mendengarkan perkataan istri mudanya dan sangat sulit untuk mengubah pikirannya. Jadi sekarang yang bisa dilakukan Haoran adalah protes dengan caranya sendiri.. seperti sengaja merusak nilai-nilainya di sekolah."

"Uhm.. kalau memang ia tidak mau bertemu ibunya, kenapa waktu itu dia mau ikut karyawisata ke China? tanya Emma keheranan.

"Justru itu, dia tadinya akan menggunakan karyawisata itu sebagai alasan untuk bisa pergi ke China. Dia berharap di sana dia bisa menghubungi Ibunya untuk bertemu diam-diam. Entah dengan suatu cara apa. Tetapi rasanya dia kemudian berubah pikiran dan menganggap bahwa bagaimanapun dia mencoba, ia tidak akan dapat mengelabui ayahnya. Jadi dia tidak mau mengambil risiko itu." Alex mengangkat bahu.

"Hmm... begitu ya?" Setelah mendengarkan penjelasan Alex, Emma menjadi banyak merenung tentang Haoran di sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya. Ia tidak mengira seorang pemuda yang kelihatan begitu santai dan selalu bersikap demikian hangat, ternyata menyimpan kepedihan karena dipisahkan dari ibunya.

Dalam hati Emma menduga-duga apakah Haoran sengaja membantunya untuk pergi ke Paris karena Haoran mengerti bagaimana rasanya memendam kerinduan ingin bertemu dengan orang tua yang sangat ia cintai, tetapi tidak bisa terwujud.

Wahh.. kasian Haoran ya... T_T

Missrealitybitescreators' thoughts