webnovel

5. Cinta Pertama

Pada pukul 8 malam, Bowo mengantarkanku menuju pelabuhan menggunakan motor angsuran barunya, setelah membeli tiket Bowopun pergi. Kini aku kembali sendirian, sungguh aku merasa waktunya masih sangat kurang, aku ingin lebih lama berada di rumah menghabiskan waktu bersama keluargaku, namun ada pekerjaan yang tidak bisa ku tinggalkan begitu saja. Ini merupakan pertama kali aku pergilah ke provinsi menggunakan kapal malam, kapalnya cukup besar di dalamnya terdiri dari tempat tidur susun yang terbuat dari matras, bau khas ikan membuatku bisa mengingat dengan jelas momen waktu itu. seperti biasa seorang bocah menunjukkan bedku dan ku beli sekotak mie instan darinya. Bedku berada dibagian pinggir dan tepat di depan kipas angin membuat aroma ikan sedikit berkurang.

Setalah ku letakkan barag-barangku, tak lama mie seduhku sudah datang, lalu kusantap sebab tadi di rumah aku tidak sempat makan karena takut ketinggalan kapal, yang ternyata kapal berlayar pada pukul 10 malam. Seusai ku habiskan mie instanku, aku dikejutkan dengan seorang pria yang menyapaku "Tabe.. Lilis ya?" tanyanya dengan sopan, "iya.." jawabku sambil menoleh ke arahnya. Hatiku sekita berdetak dengan keras sampai seolah oranglain bisa mendengarnya "kita Ija ? " tanyaku mencoba memastikan, pria itupun mengangguk dan duduk di pinggir bed, sungguh tidak dapat ku percaya, setelah 10 tahun lamanya, kamipun bertemu lagi dengan cara yang tak diduga.

Ija adalah orang yang memiliki andil penting dalam pembentukan diriku saat ini. Dalam cinta aku mempercayai cinta monyet dan cinta pertama itu berbeda, dimana Ija adalah cinta pertamaku saat sekolah menengah. Kali pertama aku melihatnya adalah waktu kenaikan kelas 2, sepupuku Ase yang juga katingku, menghampiriku dan memberiku roti buatan tante Lia, "kamu akan memiliki teman kelas baru" ujarnya sambil melahap roti, "kakak tahu darimana?" timbalku, "dulu dia sekelas dengan sa, tapi dia berhenti di tengah semester, itu dia anaknya" tambahnya sambil menunjuk kearah seorang murid laki-laki. Kak Ase juga menceritakan bahwa Murid yang bernama Ija itu sudah tidak memiliki ibu, ayahnya menikah lagi dan Ija dan adiknya kini tinggal bersama neneknya, serta alasan mengapa ia sempat berhenti adalah mengunjungi ayahnya yang tinggal di pulau lain untuk meminta uang.

Kala itu aku sangat simpati mendengar kisah ija itu, ku cegah kak Ase yang mencoba memanggil Ija, aku tidak ingin menunjukkan ekspresi sedihku pada orang yang tidak aku kenal. Namun, kak Ase tetap memanggilnya dan malah menghampiri Ija yang sedang duduk di teras perpustakaan. Setelah menghabiskan roti, tidak sengaja pandanganku tertuju pada Ija, aku ingin mengetahui seperti apa murid yang akan bergabung dengan kelas kami, di tambah lagi kata kak Ase, ia adalah murid yang pandai dan sangat pandai berbahasa inggris. Dipulauku kurikulum bahasa inggris baru kami dapatkan saat kami memasuki sekolah menengah pertama, tidak ada yang namanya bimbel, apalagi bimbel bahasa inggris. Hal itu menambah kekagumanku pada Ija, kuperhatikan Ija bekulit sawo matang, tingginya sekita 160 cm, berambut lurus dan berhidung mancung "selain pandai dia juga tampan" kataku dalam hati. Ketika aku sedang menamatkan wajah Ijah tidak sengaja pandangan kami beradu, tidak dapat kupalingkan pandanganku, lalu kuberi senyum ramah-tamah agar ia tidak menyadari bahwa aku sudah memperhatikannya sedari tadi.

Keesokan harinya di sekolah, aku menjadi petugas piket bersama dengan salah seorang temanku yang bernama Yuli. Mungkin aku datang terlalu pagi sehingga Yuli belum datang. Ku hapus papan tulis sambil bersenandung lagu Westlife yang liriknya hasil kreasiku sendiri, karena aku merasa belum ada orang yang datang, kukencangkan sedikit suaraku. Di belakang ku dengar suara yang mengangkat kursi, ku kira itu Yuli yang akan membersihkan kelas, saat ku toleh rupanya dia adalah Ija "apa yang kita buat, harusnya Yuli yang menjadi teman piketku" kataku yang mencoba meyakinkan diri apakah ia mendengarku bernyanyi atau tidak, "Yuli tidak akan datang hari ini, sa bertukar piket dengan dai" jawab Ija yang sudah mengangkat semua kursi. Ija mengambil dua buah sapu ijuk, lalu ku ambil salah satu sapu darinya "biar saya saja yang menyapu kelas, tunggu saja di luar" kataku. Namun Ijah tetap membantuku "selesai juga" katanya sambil memberikan sapu padaku.

Tidak ada basa-basi perkenalan diantara kami, namun ia mengucapkan sebuah pujian yang membuat ku malu setengah mati "kamu juga suka lagu Westlife di" itu katanya, aku hanya bisa mengangguk mencoba menghindari percakapan dengannya, aku tidak ingin mendengar Ijah akan mengomentari lirik lagunya. Teman-teman kelas mulai berdatangan, lalu aku dan Ifa bersama teman yang lain, menuju lapangan sekolah untuk mengikuti apel pagi, informasi dari Apel itu adalah hari ini pelajaran belum dimulai sebab, guru-guru sedang rapat untuk tahun ajaran baru. Saat kembali ke dalam kelas, tidak lagi ku lihat Ija atau tasnya, ku ambil tasku dan pulang ke rumah dengan berjalan kaki dengan teman-teman yang lain. Saat di jalan Ifa dan Selma membahas tentang Ija, tentu aku sudah mengetahui kabar itu lebih dulu, namun yang menyita perhatianku adalah Ifa mengatakan Yuli adalah sabahat Ija sedari kecil.

Sesampainya di rumah aku langsung menuju ruang tengah untuk memutar kaset Westlife, ku cari-cari dimana lirik lagunya, yang4 selama ini tidak pernah aku perhatikan, namun kini itu menjadi sangat penting untukku, menemukannya seperti menemukan hadiah yang bagus, waktu itu aku terus berlatih menyanyikan lagu dengan benar. Ayah lalu menghampiriku, menyuruhku makan dan mengajakku untuk menemani beliau ke kebun coklat kami. Aku sudah tidak sabar untuk pergi ke sekolah berharap esok segera tiba, biasanya aku akan meminta bantuan ayah untuk membuatkan surat sakit untukku ketika aku sedang tidak ingin belajar Matematika, agar Ayah percaya aku akan bertingkah layaknya orang sedang terkena sakit panas atau sakit lambung. Namun kini, aku akan mulai menyukai matematika dan semua pelajaran lainnya apalagi kini aku sangat menyukai pelajaran bahasa inggris.

Keesokan harinya ayah menawariku untuk diantar ke sekolah, namun ayah selalu mepet bila mengantarku ke sekolah, karena harus mengantarkan Bowo terlebih dahulu yang waktu itu masih duduk di bangku SD. Namun, aku memilih untuk berangkat ke sekolah lebih pagi dengan berjalan kaki, saat melewati desa sebrang aku melihat Ija yang menuruni tangga sebuah rumah dengan menggunakan baju biasa. Waktu itu aku berjalan sendiri, rupanya Ija melihatku "hey,,, tunggu" panggilnya menghampiriku, aku berhenti ketika ia memberikanku sebuah surat "tolong berikan kepada guru ya, sa mau ijin" ujapnya. Ija tidak terlihat sakit sama sekali "rupanya bukan hanya aku yang suka membuat alasan sakit untuk tidak masuk kelas" pikirku sambil tertawa kecil. Selama pelajaran entah mengapa semangatku berkurang, padahal pagi tadi aku begitu bersemangat.

Pada malam hari aku tidak lagi belajar, aku malah sibuk menonton televisi bersama dengan teman-teman. Keesokan hari aku setuju untuk diantar ayah ke sekolah, saat diperjalanan entah sengaja atau tidak pandanganku tertuju pada rumah yang kemungkinan rumah Ija. Namun Ija tidak terlihat disana, malah dari rumah sebelahnya terlihat Yuli yang berdiri "oh mereka juga bertetangga rupanya" ucapku dalam hati. Tak terasa sudah dua hari Ija tidak masuk sekolah dan ku dengar kabar, ia memang sering tidak masuk sekolah sehingga ku pikir hari ini ia tidak akan masuk sekolah lagi. Seusai apel pagi aku dan Selma langsung memasuki kelas, melalui pintu belakang ku lihat bangku yang kosong itu sudah ada yang menempati, rupanya Ija masuk sekolah hari ini, entah mengapa aku begitu bersemangat untuk memulai pelajaran hari ini.

Ketika aku melewati bangku Ija, ku toleh ia namun tidak ku tanyakan bagaimana kabarnya, itu akan menjadi sangat aneh bila teman-temanku mendengar. "I lay my love in you, it's all I wanna do hmm hmm hmm ….." tanpa sebab Ijan menyanyikan lagu Westlife dengan lirik yang sudah ku pelajari selama beberapa hari ini, setelah duduk ku toleh ke belakang, terlihat Ija yang tersenyum kepadaku, seketika wajahku memanas. Pelajaran pertamapun dimulai dengan Matematika, tidak ada rasa was-was saat pelajaran yang biasanya aku rasakan. Setelah guru menjelaskan materi, dimulailah mengerjakan soal latihan pada papan tulis, murid-murid pintar seperti Ifa, Yuli dan Iman maju mengerjakan tugas, namun ibu guru meminta salah seorang murid lagi untuk mengerjakan soal pertidaksamaan yang terdapat pada nomer 2, saat itu Ija maju dan mengerjakan dengan tepat. Sungguh ia memang murid yang pandai walaupun bisa jadi ia sudah mendapatkan materi ini tahun lalu.

Entah mengapa aku merasa tersaingi olehnya, sejak saat itu aku berprinsip aku akan belajar sebanyak 3 kali sehari agar aku bisa mengimbangi Ija. Masa-masa itu adalah masa yang sangat berharga untukku, keesokkan harinya aku kembali datang lebih pagi untuk melakukan piket harian. Dikarenakan aku tak ingin kejadian waktu menghapus papan tulis terjadi kembali, kali ini pertama-tama aku memilih untuk mengangkat kursi, tubuhku yang besar dan tinggi membuatku tidak kesulitan melakukannya. Suara bangku yang kuangkat sangatlah nyaring membuatku berani untuk bersenandung, setelah separuh kursi ku naikkan, Ija masuk dan bersalam membuatku terkejut "batu kapur" reflek ku ucapkan, ija yang mendengarnya tertawa-terbahak-bahak "kenapa batu kapur ?" sambil melanjutkan tawanya sampai terjongkok. Malu sekali aku rasanya agar aku tidak semakin malu, kulanjutkan kegiatanku mengangkat kursi yang tersisa. "maaf ya, tadi itu sa tidak sengaja, tapi tadi kagetmu itu lucu" ucapnya sambil mengangkat kursi yang ada di depanku. Setelah membersihkan kelas, waktu masih terlalu pagi dan belum ada murid lain yang masuk kelas, biasanya murid lain akan mampir ke kantin terlebih dahulu untuk sarapan.

Ija duduk di bangku guru dan aku duduk dibangkuku yang berada dinomor dua dari depan. "Tadi ko menyanyikan lagu Westlife lagi di? Apa lagu mereka yang paling ko sukai?" tanyanya yang seolah mencoba mencairkan suasana. "I need You" timbalku, "memangnya ada lagu westlife dengan judul itu? sa belum pernah dengar" sahutnya sambil sedikit mengerutkan dahi,"ada to" jawabku mencoba meyakinkan. Aku sudah belajar mati-matian agar bisa bersaing dengannya, aku berpikir Ija harus mengetahui kalau Aku adalah siswa yang cukup pandai. Sebelum mengenal Ija, setiap ada tanya jawab dalam pelajaran aku selalu memilih diam dan tidak berani mengungkapkan jawabanku, terlepas benar atau salah nantinya. Hingga saat tanya jawab dimata pelajaran Biologi memberiku kesempatan, waktu itu aku tidak perduli benar atau salahnya jawabanku, aku merasa tervalidasi sebab sudah berani mengemukakan pendapatku tanpa ada dorongan dari guru.

Dalam hati kecilku terbesit sebuah pertanyaan "apa yang Ija pikirkan tentang jawabanku tadi ya?", namun yang membuatku senang adalah aku sudah mampu memberanikan diri dan selangkah lebih maju dari diriku yang sebelumnya. Ingin sekali aku menoleh ke belakang untuk melihat ekspresi Ija, guru yang menunjuk salah satu siswa yang duduk di bangku belakang, memberiku kesempatan untuk menoleh. Ternyata Murid itu adalah Ija, dengan cepat aku kembali menghadap ke depan, namun yang membuatku kaget adalah Ija yang berjalan sambil menumbuk bangkuku dan tersenyum kepadaku. Sungguh waktu itu jantungku berdegup sangat kencang sekali, karna aku yang terkejut teman sebangkuku yang bernama Arti malah menertawaiku sebab aku lagi-lagi mengumpatkan "Batu kapur" namun dengan nada yang sangat lirih. Melihat Arti yang sedang menertawakanku, Bu gurupun menunjuk Arti untuk maju ke depan, guna membantu Ija dalam mengerjakan soal yang belum terjawab. Namun, itu bukan hal yang sulit untuk Arti lakukan sebab ia memanglah siswa yang teladan.

Seminggu berlalu, aku dan Ija menjadi semakin akrab, setiap ada jam kosong kelas kami akan menyanyi bersama lagu Band 2000an seperti Ungu, Krispati, Peterpan dan sejenisnya. Waktu itu, Ija dan beberapa teman lekaki lain akan duduk di kursi guru seolah sedang memandu teman yang lain. Mata pelajaran Fisika menugaskan untuk menggambar lensa, cara tangkap cahaya pada lensa cembung dan lensa cekung. Tugas itu harus dikerjakan secara berkelompok, satu kelompok akan terdiri dari 4 orang, yang cara penentuan kelompok dengan menghitung 1 sampai dengan 4. Angka yang sama akan menjadi satu kelompok, entah mengapa aku merasa sedih karena berpikir tidak adakan sekelompok dengan Ija, sebab di kelompok sebelum-sebelumnya kami tidak pernah satu kelompok. Meski kami tidak pernah satu kelompok, setiap kali aku melakukan presentasi, mataku tidak dapat beradu pandangan lama dengan Ija setiap kali ia bertanya kepadaku, yang juga membuat jantungku berdebar-debar.

Kelompok kali ini ada Aku, Ifa, Yuli dan Ija, ya aku akhirnya aku sekelompok dengannya, yang ternyata itu terjadi karena Ija bertukar tempat duduk dengan Udin teman sebangkunya. Aku merasa hatiku yang sempit berubah luas namun tetap terasa penuh dan sangat hangat, sampai-sampai terasa di pipi namun dingin di telapak tangan. Aku mencoba serius kali ini, kami harus mengerjakan tugas ini bersama-sama sampai selesai. Akhirnya kami memutuskan untuk mengerjakan tugas di rumah Ifa, sebab rumahnya berada di tengah-tengah kami bertiga, dimana mereka bertiga satu desa sedangkan aku di desa sebrang. Waktu yang sudah kami tentukanpun tiba, seperti biasa aku adalah yang datang lebih dulu, Ija dan Yuli datang bersamaan. Namun, Ija tidak langsung masuk, karena Ifa masih menyelesaikan tugas memasak, aku kembali ke ruang tamu, sedangkan Yuli langsung masuk ke dapur untuk menyapa Ifa. Saat itulah Ija masuk dan menyapaku "tadi Yuli tidak ada yang mengantar, jadi kita berangkat bersama" ucapnya sembari duduk "oh iya" jawabku. Tugas kami mendapat nilai yang sempurna, sebab kami semua ikut berpartisipasi dalam mengerjakan tugas itu.

Pada suatu sabtu kami mendapatkan pengumunan dari ibu Diana yang merupakan wali kelas kami, beliau menyampaikan senin besok adalah giliran kelas kami yang menjadi petugas upacara. Sudah di tentukan beberapa perangkat petugas upacara, seperti pemimpin upacara, pembaca teks Pembukaan UUD 1945, pembaca doa, Dirigen, hingga sampailah penentuan siapa yang akan menjadi pengibar bendera yang terdiri dari 2 murid laki-laki dan 1 murid perempuan. Teman kelasku yang bernama Viva yang biasanya menjadi perwakilan sebagai pengibar bendera memilih bertukar posisi denganku sebagai kelompok panduan suara, karena aku yang selalu menolak, akhirnya aku tidak ada pilihan lain selain menyetujinya.

Perangkat upacara sudah lengkap, dan kami langsung melakukan latihan sebab sudah tidak ada waktu lagi, tentu yang membuatku akhirnya termotivasi dan semangat adalah Ija akan melihatku sebagai petugas bendera. Dimana secara tidak langsun menjadi salah satu pusat perhatian saat upacara dilakukan. Seusai latihan aku dan kedua teman laki-lakiku yang bertugas sebagai pengiring bendera Agus dan Ryan, menjadi petugas terakhir yang meninggalkan lapangan. Kedua temanku itu langsung bergegas pulang, sementara aku masih menuju kelas untuk mengambil tas, aku melewati pohon ketapang dan Ija duduk disana. Saat aku berjalan aku tidak sengaja bertatapan dengan Ija, entah mengapa saat itu aku tidak mencoba memalingkan wajahku darinya sama sekali sampai aku melewatinya. Kami berdua sama sekali tidak bertegur sapa, sesudah ku ambil tasku ku lihat Ija masih duduk disana dan aku kembali melewatinya. Kejadian yang sama terulang kembali, kami sama-sama saling bertatapan sembari aku berjalan, sampai aku berada disebelahnya "kenapa ko liat-lihat saya?, ko suka dengan saya?" ucapanya membuaku terkejut "tidak,,, sa tidak sengaja lihat ko, karna ko ada di depanku" jawabku kebingungan "oh,,, berarti sa salah paham selama ini" ucapnya sambil berdiri lalu pulang.

Waktu itu aku terhenti sejenak, seolah apa yang ia ucapkan menjadi jawaban mengapa selama ini apa yang Ija pikirkan tentangku menjadi penting dan mengapa aku selalu termotivasi olehnya, Aku menyukainya sangat menyukainya. Pada hari senin semua berubah, aku yang terbiasa mencari keberadaannya tidak menemukan Ija dibarisan manapun. Tugas mengibarkan bendera berjalan lancar, bahkan sampai upacara selesaipun Ija tak muncul. Sabtu itu menjadi hari terakhir aku melihat Ija di sekolah terakhir kali.