webnovel

Prince Charming Vs Gula Jawa

Memiliki kekasih ganteng, pintar, dan populer sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Kanya. ⁣ ⁣ Tapi siapa sangka dirinya yang hanya gadis biasa-biasa saja, bisa digilai seorang laki-laki tampan, bergelar Prince Charming di Kampusnya, bernama Naren. ⁣ ⁣ Tentu saja, hubungan itu tak semulus harapan. Karena banyak gadis yang menginginkan Si Prince untuk bisa jadi kekasih mereka. ⁣ ⁣ Akhirnya, karena suatu sebab hubungan mereka kandas. Tapi kemudian, Kanya bertemu dengan Naren kembali setelah lima tahun. ⁣ ⁣ Apakah Kanya akan kembali pada Naren? Atau dia akan berpaling pada Kenan, teman laki-laki yang selalu menemaninya selama Naren pergi?

Yuli_F_Riyadi · 都市
レビュー数が足りません
174 Chs

Part 24 - Makan Malam tak Terduga

NAREN

"Jadi kamu akan di sini terus? Tidak mau mengurus usaha Papa di Jakarta. Kamu tau Arsen masih membutuhkan kamu."

Aku menghela, siang tadi Papa menemuiku di kantor. Tadi pagi papa datang dan aku sama sekali tidak tahu soal itu.

"Sepertinya begitu, Pah. Papa juga jangan meragukan kemampuan Arsen. Dia anak yang cerdas."

"Papa nggak meragukan kemampuan anak-anak Papa. Hanya saja hotel dan apartemen kita di Jakarta lebih banyak butuh perhatian kamu."

"Aku yakin, Arsen bisa."

"Apa ada hal lain, yang membuatmu keras kepala ingin tetap tinggal?"

Papa selalu memiliki insting yang tajam. Untuk berbohong padanya kadang aku mengalami kesulitan.

"Apa karena Kanya ada di sini?"

Aku bahkan belum memberitahunya tentang ini. Dari mana papa tahu?

Mataku memejam. Sudah bisa aku tebak,  papa lebih dulu menemui Nadine dari pada aku.

"Papa bicara apa saja dengan Nadine?"

"Papa hanya ingin kalian cepat menikah."

"Aku sudah pernah bilang soal ini Pah."

"Kamu jangan memainkan hati perempuan Naren. Setelah bertemu Kanya kembali kamu mau menyingkirkan Nadine?"

"Nadine itu hanya teman. Papa sama Mama jangan terlalu berpikir sejauh itu."

"Tapi Nadine mencintai kamu, Naren."

Aku berdiri dari kursiku. Tahun lalu, papa juga menyuruhku untuk melamar Nadine. Kenapa kedua orangtuaku tidak mau menerima hubungan kami yang hanya sebatas teman? Aku tidak habis pikir.

Aku memandang lanskap kota Surabaya dari kaca besar di belakang meja kerjaku.

"Naren, masih mencintai Kanya, Papa. Kalopun aku harus menikah, itu artinya  Kanya yang akan aku nikahi, Pah."

Aku tidak lagi mendengar suara papa menyahut. Laki-laki yang sangat aku kagumi itu sepertinya sudah terlalu jengkel dengan sikapku yang masih tidak mau membuka hati untuk Nadine.

KANYA

"Kalian lagi bahas apa?" Naren bersuara begitu sampai di depan kami. Sebuah paper bag berlogo makanan dia serahkan padaku.

"Liburan. Gue sama Kanya mau liburan," jawab Kenan santai.

"Oya, kapan?"

"Sedang kami rencanakan."

Naren beralih menatapku.  "Jadi, kamu berencana liburan tanpa sepengetahuanku, Sayang?"

Dan sekarang Kenan ikut menatapku karena ucapan Naren. Dahinya berkerut. Aku yakin,  Kenan akan berpikir kalau kami sudah baikkan.

"Kalian berdua? Kembali lagi?" tanya Kenan membuat Naren tersenyum menang.

"Sudah seharusnya seperti itu 'kan?"

Aku kesal sumpah dengan jawaban Naren. Tanpa menghiraukannya, aku bangkit dari duduk.

"Jangan dengarkan dia, Kenan. Kamu mau minum apa?" Aku melirik Naren kesal. Tidak mau dia bersikap kekanakan seperti dulu.

"Seperti biasa." Kenan tersenyum.

Aku menyeret langkahku masuk ke dalam rumah.

"Kamu nggak nawarin aku?" Ternyata Naren di belakang mengekoriku.

"Kamu mau minum apa?" tanyaku tak ingin banyak debat.

"Susu ada?"

Aku menggeleng. Lalu beranjak menuju dapur. Merajang air seperlunya. Karena  memang tidak pernah menyimpan persediaan air panas.

Aku membuatkan kopi untuk Kenan dan susu untuk Naren. Meletakkan kedua minuman itu di atas meja ruang tamu.

"Jadi, mau liburan kemana?" Naren sudah duduk di sofa begitu juga Kenan yang sudah menyesap kopinya.

"Gue mau ajak Kanya ke Kota Batu. Kami akan menginap villa di sana."

"Nginep di villa? Hanya kalian berdua?"

Kulihat mata Naren melebar. Kepalanya  mulai berasap jika bisa digambarkan. Ini tidak bagus.

"Maaf Kenan,  seperti yang aku bilang tadi. Aku nggak bisa sepertinya," selaku. Mengingat muka Naren sudah sangat tidak enak dipandang mata.

"Jakarta juga bukan tempat liburan yang buruk."

Rasanya aku ingin menenggalamkan kepala ke meja. Kenapa Kenan masih membahas soal liburan?

Kenan meringis. Bisa kulihat dia sangat puas sudah membuat wajah Naren memerah. 

"Aku jalan dulu, Kanya. Ada janji sama Mas Wirno. Nanti aku telepon lagi."

Kenan bangkit dari duduknya. Itu hanya alasan saja. Dia bisa bertahan berjam-jam di sini sebelum kemunculan Naren.

"Naren, gue cabut dulu."

Naren hanya berdehem. Dan tidak berniat memberi Kenan ucapan apapun. Masih pura-pura sibuk dengan gelasnya.

Setelah mengantar Kenan,  aku kembali duduk. Tidak ada tampang kecut lagi yang aku lihat dari wajah laki-laki di depanku. Naren meletakkan gelasnya, lalu beralih melihatku.

"Jadi, kamu sering liburan berdua sama dia?"

Tepat dugaanku. Aku menghela napas kasar. Hari-hariku akan terasa melelahkan lagi sepertinya.

"Nggak sering, kadang-kadang saja."

"Apa? Kamu nggak ada teman lain selain dia? Teman sesama wanita misalnya? Dan kenapa harus dia?"

Haruskah aku membahas ini? Lima tahun tidak membuatnya berubah banyak. Apalagi sifatnya yang seperti ini.

"Dari semua teman-temanku yang bertahan cuma dia."

"Ya, tentu saja. Dia suka sama kamu."

"Lalu?"

"Jauhi dia, Kanya."

Aku tak percaya. "Nggak ada alasan buatku menjauhi dia."

"Karena aku yang minta."

"Setelah semuanya?"  aku mengibaskan tangan. "Udahlah, aku males debat sama kamu. Aku capek, mau mandi, mau istirahat."

Aku berdiri. Jika dilanjutkan hanya akan menjadi perdebatan yang berkepanjangan seperti yang sering aku lakukan dulu. Aku sudah cukup lelah. Pengalaman dan rasa sakit seolah sudah mengajarkan aku semuanya.

"Kanya... " Naren meraih lenganku, suaranya melembut. "Aku minta maaf. Aku hanya nggak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya."

Ternyata dia sudah ikut berdiri, dan tak segan menarikku ke dalam dekapannya. Aku tak mengerti. Kenapa  selalu seperti ini?  Seolah pasrah saja dengan skinship yang Naren buat. Aromanya masih sama seperti dulu. Menghidunya membuatku merasa nyaman. Untuk sebuah kenyamanan yang sulit aku dapat ini, rasanya enggan untuk lepas lagi.

"Aku ingin mengajakmu makan malam," katanya mengurai pelukan tanpa melepas kedua tangannya dari pinggangku.

"Aku nggak mau kalo berakhir dengan basah kuyup lagi."

Dia tertawa. Dan itu membuatnya semakin terlihat menawan. Ya Tuhan, kadang pesona Naren begitu kuat. Tapi jika aura menyebalkannya sudah keluar, rasanya aku ingin melemparnya sejauh mungkin.

"Nggak lah,  kita nanti langsung ke sana saja."

"Baiklah, tapi aku mau mandi dulu."

Naren mengangguk, mencium kepalaku, lalu membiarkanku masuk ke kamar.

***

Naren menggandeng tanganku saat memasuki sebuah restoran di pusat kota. Aku  pernah beberapa kali memasuki restoran ini. Menunya bisa membuatku langsung meneteskan air liur. Naren selalu paham, dimana restoran yang bukan hanya sekedar mewah, tapi juga resto dengan menu yang bisa menggoyang lidah.

Seorang pelayan restoran langsung mengantarkan kami, pada tempat yang ternyata sudah lebih dulu Naren reservasi. Masuk ke dalam restoran, kami diajak menuju ruang outdoor yang dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu. 

Aku pikir, Naren akan memilih meja yang khusus hanya untuk kami berdua. Tapi, pelayan itu malah mengantar kami pada meja yang sudah terlihat ada isinya di sana. Semakin langkahku mendekat, firasatku merasa tidak enak. Aku melihat dengan seksama siapa orang di balik punggung yang sudah lebih dulu duduk di sana. Tubuhku mulai menegang, saat aku bisa dengan jelas melihat orang itu. Dia menoleh dan melihat kedatangan kami. Om Damian.

Aku tidak siap, aku tidak siap.

"Selamat malam, Papa," sapa Naren begitu kami sampai di hadapannya.

"Se-selamat malam, Om."

"Hm, selamat malam."

Suara berat Om Damian baru kali ini kudengar menyeramkan. Itu membuatku merasa was-was. Naren menuntunku agar duduk di kursi. Lalu, dia sendiri duduk di sebelahku.

"A-apa kabar, Om?" aku mencoba menyapa lebih dulu. Rasa canggung seperti ini sangat tidak enak. Dan sepertinya, aku akan membuat perhitungan dengan laki-laki di sebelahku karena tidak memberitahuku akan ada Om Damian di sini.

"Seperti yang kamu lihat, Om baik-baik saja. Lama ya kita tidak jumpa, Kanya? Sudah berapa tahun ya? Rasanya sudah lama sejak kamu memutuskan Naren."

Apa hanya perasaanku yang sedang sensi? Tapi aku merasa ada penekanan saat Om Damian bilang 'memutuskan'. Meskipun itu diucapkan dengan intonasi biasa saja. Tapi rasanya sedikit menggangguku.

"Apa kita pesan sekarang, Pa?" tanya Naren. Kupikir itu hanya pengalihan yang Naren buat.

"Tunggu sebentar, Papa masih menunggu satu orang lagi."

"Siapa?"

Bertepatan dengan itu, tangan Om Damian melambai. Aku dan Naren sontak menoleh. Dan mendapati Nadine sedang berjalan mendekat.

PS. Jangan lupa power stone, komen dan reviewnya ya gaes...

cara mereview :

klik rak - pilih Prince Charming Vs Gula jawa - klik tanda titik tiga di cover - klik tentang buku ini - klik beri rating/peringkat yang ada gambar bintang lima itu loh gaes...

yuk aku tunggu review dari kalian selalu,

salam Kanya-Naren