webnovel

Pria Dingin

" Maaf ya Na. " " Untuk apa? " " Maaf atas bang Gibran yang selalu bersikap dingin kepadamu." " Senang bisa mengenalmu, tak apa kan jika kita bersahabat ? " " Justru aku lebih senang jika kau mau bersahabat denganku." " Memangnya apa yang membuatmu penasaran ? " " Tentang sikapnya bang Gibran yang bersikap dingin. " " Memangnya ada apa ? " " Kenapa kau terlihat bingung begitu ? " " Astaga kenapa aku jadi gugup begini ? " " Ekhem! " " Sejak kapan aku membohongi sahabatku? " " Will you be my first love and my last? " " Apa yang sudah terjadi kepadamu? " " Kalian bicara tentang apa? " " Kenapa? Apa ada yang salah denganku? " " Kau tenang Anna disini ada kita, kita siap melindungi mu dari jangkauan pria seperti dia. " " Kurasa tidak perlu karena semuanya sudah jelas. " " Kamu salah faham Na, aku mohon kepadamu tolong kali ini dengarkan aku. " " Ingat Anna kau harus memberitahu kita jika terjadi apa-apa dengan mu. " " Dengar baik baik pukulan mu tidak ada apa-apa nya bagiku. " " Cukup! Aku menyerah! " " Kau berhutang cerita denganku Bilqis. " " Kenapa kau terlihat sangat gelisah? " " Siapa? " " Awww... Shh.. Pelan pelan dong Na. " " AKU TIDAK SEDANG BERCANDA BILQIS! " " Gibran apa kau sudah berhasil menemukan Anna? " " Maaf mah, pah, aku sama sekali tidak menemukan nya. " " Ayolah Gibran, satu kali saja turuti aku. " " Mah, Pah.. Aku sangat merindukan kalian... " " Pah bagaimana jika kita menjodohkan mereka? " " Tidak perlu mah biarkan anak kita yang mengungkapkan perasaannya sendiri. " COMING SOON 15 November 2020

Taeyoonna_Kim · ファンタジー
レビュー数が足りません
49 Chs

Baikan?

"Na, maaf. " Ucap pria berkulit putih pucat itu ragu.

~New Chaps~

"Minta maaf untuk apa bang?. " Tanya Anna tidak mengerti.

"Maafkan aku yang selama ini selalu bersikap dingin kepadamu. " Sahut Gibran dengan wajah merasa bersalah. "Padahal kau tidak mengetahui tentang masalah yang pernah aku dapatkan dan tidak peduli dengan status keluarga. " Sambungnya.

"Aku sudah memaafkanmu dari dulu bang, aku mengerti perasaanmu. " Ucap Anna sambil tersenyum tipis.

"Makasih." Kata Gibran tulus.

"Iya bang. " Jawab Anna singkat.

"Apa kau tidak ingin mengetahui penyebabnya?. " Tanya pria berkulit putih pucat itu ragu.

"Kalau bang Gibran bersedia memberitahunya, aku akan mendengarkannya. " Sahut Anna sambil tersenyum seolah melupakan masalahnya.

"Penyebabnya adalah Bella. " Kata Gibran dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kak Bella?. " Gadis mungil itu mengulang ucapan Gibran seakan tak mengerti.

"Ya, dia yang sudah membuatku begini karena waktu itu dia menghianatiku. " Ujar Gibran sambil menetralkan degup jantungnya berusaha untuk tidak emosi. "Dan kau tahu siapa yang dipilih olehnya?. " Sambungnya.

Terlihat gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Dia lebih memilih Brian, sahabatku sendiri. Tapi yasudahlah itu sudah terlanjur berlalu. " Ucap Gibran dengan tersenyum kecut.

"Jadi itu penyebabnya?. " Sahut Anna penasaran.

"Iya, maka dari itu mulai sekarang aku belajar menghilangkan perasaan benci melaluimu. Karena aku mengerti bahwa sifat manusia itu berbeda-beda. " Jawab Gibran panjang lebar.

"Bang Gibran yang sabar ya, aku yakin suatu saat nanti abang akan mendapatkan penggantinya yang lebih baik dari kak Bella. " Tutur Anna iba.

"Yang seharusnya bersabar itu, kau sendiri. " Ucap Gibran tak terima.

"Kenapa harus aku?. " Tanya gadis mungil itu sambil menunjuk diri sendiri.

"Iya lah, karena kedatangan Evans usahamu untuk melupakannya menjadi sia-sia. " Sahut Gibran sambil tersenyum kemenangan.

"Benar juga ya? Kenapa aku jadi lupa?. " Tanya Anna pada dirinya sendiri.

"Dasar pelupa. " Cibir Gibran.

Gadis mungil itu hanya cengengesan.

"Tapi jika suatu saat nanti dia mengajakmu kembali dengan cara yang baik-baik, kau menolaknya dengan baik pula. Tapi jika dengan cara sebaliknya, kau segera memberitahu ku biar aku yang akan memberinya pelajaran. " Ujar pria berkulit putih pucat itu perhatian.

"𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘎𝘪𝘣𝘳𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶, 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢. " Ucap gadis mungil itu dalam hati.

"Makasih bang, sudah peduli kepadaku. " Sahut Anna sambil tersenyum tipis.

"Iya." Jawab Gibran singkat.

Tanpa mereka sadari, ternyata ada seseorang yang sedang mengintai tepat di balik dinding dekat pintu kamar gadis mungil itu sendiri, orang tersebut adalah John.

"Jadi Evans itu mantan kekasihnya Anna? Pantas saja dari pagi sampai pulang sekolah wajahnya selalu murung. " Gumam John pada diri sendiri. "Awas saja kau Vans, jika sampai aku melihatmu menyakiti sepupuku lagi, aku tak akan segan-segan memberimu pelajaran. " Sambungnya.

Ketika sedang asyik mengintip tiba-tiba pasangan paruh baya menepuk bahunya sehingga membuat sang empu terkejut.

"Papah , mamah, bikin aku jantungan saja. " Celetuk John.

"Kamu sedang apa disini?. " Tanya mamah Maria penasaran.

"Iya nih, dari tadi berdiri disini mulu?. " Kata papah Yanuar heran.

"Sssttt." Pria berlesung pipi itu memberi isyarat agar kedua orang tuanya untuk diam. "Mamah, papah jangan berisik ya karena aku sedang mengintai bang Gibran sedang bercanda dengan Anna, aku yakin ini pasti berkat nasehat dari mamah. " Ujar John dengan nada sepelan mungkin.

"Serius?. " Sahut pasangan paruh baya itu serempak.

"Iya mah, pah, coba kalian lihat sendiri. " Kata John mantap.

"Wah kamu benar juga John, dia sedang bercanda dengan Anna. " Ucap mamah Maria tak percaya, namun setelahnya digantikan dengan bernafas lega.

"Kau hebat mah, nasehatmu manjur. " Puji papah Yanuar.

"Sudah seperti jamu aja ya pah, manjur. " Timpal John.

Didalam sana terlihat pria berkulit putih pucat itu bangkit dari duduknya, lalu berkata.

"Yaudah kalau begitu aku keluar ya. " Pamit Gibran kikuk, karena belum terbiasa bicara dengan lawan jenis setelah satu tahun belakangan ini.

"Iya bang. " Jawab Anna sambil tersenyum tipis.

Mendengar langkah kaki pria berkulit putih pucat itu semakin mendekat membuat pasangan paruh baya beserta anak bungsunya segera beringsut dari posisinya, bersembunyi di balik dinding agar tidak terlihat oleh Gibran. Namun tiba-tiba menghentikan langkahnya karena dia merasa sedang diperhatikan oleh seseorang, entah itu siapa.

"Kenapa aku merasa seperti ada yang memperhatikanku sejak tadi? Tapi disini tak ada seorangpun. " Gumam pria berkulit putih pucat itu heran. "Ah, mungkin hanya perasaanku saja. " Sambungnya acuh.

Kemudian pria berkulit putih pucat itu pun segera masuk kedalam kamarnya menghiraukan pikiran negatifnya. Sedangkan tanpa sepengetahuan pria berkulit putih pucat itu sendiri kedua orang tuanya beserta adiknya sempat merasa was-was, namun beberapa saat kemudian mereka merasa sudah aman sehingga memutuskan untuk segera keluar dari persembunyiannya.

"Syukurlah bang Gibran tidak mengetahui keberadaan kita, kalau sampai itu terjadi pasti urusannya panjang. " Kata John sambil bernafas lega.

"Benar juga kamu John, mungkin dia membatalkan niatnya untuk berubah. " Sahut papah Yanuar menimpali.

"Itu berarti kita masih beruntung, tapi pah selain itu mamah minta nanti pada saat makan malam papah jangan menyindir nya lagi. " Ujar mamah Maria.

"Loh memangnya kenapa mah?. " Tanya papah Yanuar heran.

"Iya mah kenapa?. " Beo John penasaran.

"Kalian tahu sendiri bukan bahwa dia tidak suka dipojokin, seandainya papah menyindir nya lagi mamah takut usahanya dalam merubah sikap menjadi gagal. Yang ada justru sifatnya menjadi lebih dingin dari pada kutub utara. " Tutur mamah Maria.

"Baru membayangkannya saja sudah ngeri sendiri, apalagi sampai terjadi. " Timpal John.

"Kkkk, mamah benar juga, yaudah papah janji tak akan mengulanginya lagi. " Sahut papah Yanuar diselingi dengan kekehan.

07:00 P.M at Eating Room

Hari pun berganti malam, seperti biasanya keluarga Pradipta selalu makan malam bersama.

"AYO SEMUANYA MAKAN MALAM DAHULU, MAKANANNYA SUDAH SIAP. " Teriak mamah Maria.

"Iya mah. " Sahut papah Yanuar yang datang lebih awal.

Tak lama kemudian ketiga makhluk berbeda jenis kelamin datang menyusul.

"Mamah juga harus makan. " Ujar Gibran.

"Tentu." Jawab mamah Maria singkat.

Kemudian mereka pun segera menyantap makanannya dengan tenang hingga habis tak tersisa. Setelah selesai seperti biasanya mereka berbincang-bincang dahulu, namun pria berkulit putih pucat itu memilih segera beranjak ke kamarnya alasannya dia masih malu untuk mengakui usahanya dalam merubah sikapnya.

"Mah, pah aku kekamar duluan ya. " Pamit Gibran.

Setelah berucap seperti itu, pria berkulit putih pucat itu segera berlalu begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari kedua orang tuanya.

"Mah, sepertinya dia masih malu untuk mengakuinya. " Kata papah Yanuar mantap.

"Benar banget pah, atau mungkin dia gengsi. Kalian kan tahu sendiri sifatnya. " Ujar mamah Maria.

"Kkkk~ kita lihat saja nanti mau sampai kapan dia menyembunyikannya. " Timpal John sambil terkekeh geli.

"Maaf, kalau boleh tahu kalian sedang membahas apa ya?. " Beo gadis mungil itu penasaran.

"Kita sedang membahas tentang Gibran yang sudah berubah kepadamu. " Ujar papah Yanuar.

"Iya, waktu siang kita melihatmu sedang bercanda dengan Gibran. " Sahut mamah Maria menimpali.

"Sudah begitu, ditambah saling curhat juga. " John menambahi sambil cengengesan.

"Kalian tahu darimana?. " Tanya Anna heran.

"Tentunya ngintip dong. " Sahut John bangga.

"Ishh, tidak boleh tahu. " Cibir Anna.

"Habisnya kita penasaran, yaudah kita ngintip saja. Iya kan mah, pah?. " Jawab John sambil meminta persetujuan kedua orang tuanya.

"Benar, daripada rasa penasarannya semakin menjadi. " Timpal papah Yanuar.

Mamah Maria mengangguk setuju membenarkan ucapan suaminya.

"Tapi tetap saja tidak boleh. " Ucap Anna.

"Mau bagaimana lagi? Ini sudah terjadi. " Sahut John.

"Hehehe iya juga sih. " Kata Anna sambil cengengesan.

"Yaudah mah, pah, kita ke kamar dulu ya. " Pamit John.

"Iya." Sahut mamah Maria mewakili.

Lalu mereka segera beranjak ke kamarnya masing-masing.