webnovel

Prajurit Hujan : Labirin

Pasukan elit bernama Regu Sembilan yang dipimpin Kolonel Lukman selalu berhasil menuntaskan segala misi penyergapan. bahkan mereka dipercaya oleh PBB untuk menangani kasus-kasus besar dunia. Karena sebuah kesalahan informasi, Lukman dipensiunkan dini dengan status Gugur Dalam Tugas ketika menjalani misi di Afrika Utara. Beberapa tahun berlalu, sebuah benda besar terjatuh di padang rumput luas. pemerintah mencoba mencari tahu siapa yang ada di dalam kapal. Tidak ada yang bisa mendekati benda berbentuk seperti kapal luar angkasa itu. Kapal itu memiliki berbagai senjata aktif yang langsung menyerang siapa saja yang mendekat, bahkan pasukan tentara dengan peralatan tercanggih sekalipun. Kolonel Lukman dipanggil kembali untuk menangani masalah ini. dia menemukan cara terbaik untuk melakukan penyerangan mencari tahu apa yang ada di dalam kapal tersebut. Dapatkah regu sembilan yang dipimpin Kolonel Lukman kembali menyelesaikan misi?

Sigit_Irawan · 軍事
レビュー数が足りません
3 Chs

Ranjau Darat

"Sebentar lagi akan ada yang datang menemui anda, Pak," ucap sang Kapten  sambil berlalu meninggalkan Lukman di ruangannya.

Sesaat setelah Kapten Tantri menutup pintu, Lukman kembali memperhatikan catatan pada berkas laporan misinya. Ada sebuah foto di lembar ketiga. Itu adalah foto kelompok pasukan spesialis sergap senyap bernama Regu Sembilan. Di dalam foto itu, semua nampak berdiri gagah mengenakan seragam dinas berwarna biru gelap lengkap dengan peralatan keamanan. Lukman terlihat berdiri paling tengah, foto diambil tepat sepuluh menit sebelum mereka semua menaiki pesawat yang akan mengirim mereka ke medan misi. Regu ini menjalani misi rahasia dibawah organisasi Dewan Keamanan PBB untuk menumpas kelompok pemberontak di wilayah tepian Libya, Afrika Utara.

Ketika pesawat terbang tepat di atas distrik yang dituju, Regu Sembilan bersiap untuk terjun. Tetapi sebelum itu, Lukman memberikan beberapa pengarahan teknis kepada anak buahnya selagi mereka bersiap memasang perlengkapan.

"Ingat! Sesuai latihan," tegas Lukman.

"Jika yang anda maksud adalah latihan dua tahun yang lalu, jujur saja saya sudah lupa, Kolonel!" celoteh salah satu anak buahnya. "Kita hampir melakukan ini setiap pekan."

Lukman terkekeh lirih menepuk bahu anak buahnya yang suka ceplas-ceplos itu. "Pertempuran sungguhan adalah latihan kita, Wikana!"

"Baiklah, saya anggap ini juga latihan."

"Kita sekarang berada pada ketinggian 4000 meter. Perhatikan selalu alat pengukur ketinggian di lengan kalian. Jangan ada yang membuka parasut sebelum ketinggian 500 meter." Lukman menarik tuas hingga pintu belakang pesawat pun menganga bersiap untuk memuntahkan sembilan orang prajurit. Angin langit berembus cukup kuat menerpa wajah mereka.

"Interupsi, Kolonel! 500 meter? Bukankah standarnya 800 sampai 900 meter!?" Seorang anak buahnya yang lain mengeraskan suaranya beradu dengan angin.

"Kita bukan prajurit biasa, Mondy! Kita adalah seniman tempur! Seniman tidak menggunakan standar!" tegas Lukman menyemangati.

"Siap, Kolonel!"

"Titik pendaratan kita berjarak sekitar satu kilometer dari pusat distrik. Keuntungannya adalah kita dibatasi bukit. Mereka akan mengetahui keberadaan kita jika kita membuka parasut pada jarak 800 meter. Maka kita harus melakukannya sedikit lebih rendah. Pandangan mereka akan terhalang oleh bukit."

Satu per satu dari kesembilan prajurit terlatih ini siap berbaris. Lukman sengaja mengambil posisi paling belakang supaya terjun lebih akhir. Karena sebagai pemimpin, dia harus memastikan bahwa semua anak buahnya telah memulai tugas dengan benar. Wikana mengambil posisi paling depan, dia fokus memandangi daratan di bawah sana yang sudah menunggunya untuk dipijak.

"Anda harus mulai merencanakan liburan untuk kami, Pak!" celoteh Wikana seraya matanya memandangi hamparan gurun di bawah sana.

"Anggap kita sedang liburan, Wikana," Lukman terkekeh lirih.

"Liburan itu turun dari pesawatnya pakai tangga, bukan lompat."

"Maaf, Kolonel! Apa kita punya rencana B?" tanya seorang anak buahnya yang lain.

"Kita tidak pernah punya. Kenapa kamu berpikir begitu, Salosa?" Lukman mengerenyitkan dahi.

"Tentang kelompok yang kita hadapi ini..."

"...Apapun dan siapapun mereka. Mereka belum pernah menerima serangan kita." Lukman memotong ucapan anak buahnya yang belum usai.

"Bersiap untuk terjun, Kolonel!" seru Wikana yang telah berada pada posisi paling depan tepat di bibir pintu.

"Ingat! Jangan berpencar. Regu ini harus tetap sembilan sampai misi usai!" Lukman menarik nafas dalam-dalam. "Pada aba-aba ku. Tiga... Dua... Satu. Terjun!"

Prajurit pertama melompat dari pesawat, disusul prajurit kedua, ketiga dan seterusnya hingga sampailah saatnya untuk Lukman terjun juga.

Mereka melesat menukik ke bawah dengan berfokus pada titik pendaratan. Sesuai rencana, mereka serentak membuka parasut ketika sampai pada ketinggian 500 meter dari permukaan tanah. Mereka mendaratkan diri mereka masing-masing di tengah gurun. Tempat paling kering di dunia ini bukanlah pemandangan yang menyenangkan. Siapapun tidak akan betah berlama-lama di tempat ini. Sejauh mata memandang hanyalah pasir dan bebatuan. Sama sekali tidak ada warna hijau kecuali batang tanaman kaktus yang tumbuh pada setiap jarak 1000 meter.

Belum sempat tumit kaki menghentak, sebuah ledakan besar terjadi. Pasir-pasir berhamburan ke udara membumbung berbaur asap ledakan. Lukman yang masih mengatung di udara pun sontak membelokan arah parasut ketika melihat ledakan terjadi di titik pendaratannya. Ledakan itu menyisakan pekatnya asap debu dan pasir yang menghalangi jarak pandang.

Dengan berhati-hati, Lukman berhasil mendarat dengan selamat seraya tangannya bergegas menggulung parasut dengan cepat supaya tidak sampai menghentak ke tanah. Jarak pandang yang terhalang asap membuatnya kebingungan menentukan arah mata angin. Diambilnya kompas pada saku bajunya. Lukman memperhatikan kompas itu hingga arah angin mampu ia baca. Dengan posisi mematung menunggu asap debu memudar, Lukman memanggil-manggil nama anak buahnya satu per satu. Namun, tidak ada jawaban apapun.

Asap pun mulai pudar tak berapa lama, Lukman melihat genangan darah diantara cekungan-cekungan pasir. Disekitarnya, tercecer banyak sekali potongan tubuh. Lukman pun mulai meyakini bahwa ledakan itu telah menewaskan beberapa atau bahkan seluruh anak buahnya. Mereka terkena ranjau darat yang tertanam di pasir. Salah satu anak buahnya yang bernama Salosa, tiba-tiba berteriak histeris hingga mengagetkan Lukman. Kini Regu Sembilan tersisa dua orang. Beruntung Lukman tak terkena ranjau. Namun, kaki kanan Salosa menginjak salah satu ranjau yang menyebabkan kakinya hancur. Kondisinya sangat mengenaskan. Salosa terkulai lemas akibat darahnya terkuras banyak. Matanya sesekali terpejam nyeri.

"Bertahanlah, Salosa!" seru Lukman dari kejauhan ketika melihat hanya Salosa yang tubuhnya masih bergerak-gerak. Tak banyak berkata-kata, peristiwa ini sangat memukul keras jiwanya. Tujuh anak  buahnya harus mati dengan cara mengenaskan tepat di depan matanya. Tentu bukan liburan seperti ini yang dia harapkan. Kini dia harus segera memutuskan akan melanjutkan misi atau tidak.

Lukman meraih radio yang menempel di pundaknya. "Kode merah! Kode merah! sebagian besar tim gugur! Sebagian tim gugur!" ucap Lukman pada radio. "Kode merah!"

"Konfirmasi kode merah. Apa yang terjadi?" ucap suara pada radio.

"Area ini ditanami banyak ranjau darat. Saya dan Sersan Salosa masih hidup. Kami butuh bantuan!"

"tolong kirimkan koordinat."

"Kami masih belum berpindah dari titik pendaratan!"

"Bantuan akan segera sampai dalam sepuluh menit."

Lukman masih berdiri mematung, ia belum berani beranjak dari tempatnya. Sebab dirinya tidak tahu dibagian mana saja kah yang ditanami ranjau. Salah-salah kaki melangkah bisa hancur terkena ledakan seperti yang dialami para anak buahnya.

Sepuluh menit sejak Lukman mengirim permintaan bantuan, mereka pun datang dengan tiga unit Helikopter. Helikopter pertama adalah petugas medis. Sedang yang dua unit lainnya adalah Helikopter perang yang dilengkapi senjata. Tujuannya untuk memberikan perlindungan sebagai langkah pencegahan jika sewaktu-waktu ada musuh yang menyerang petugaa medis.

Lamunan masa lalunya buyar ketika tiba-tiba seorang pria paruh baya membuka pintu ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Pria itu mengenakan setelan Tuxedo berwarna navy. Di bagian dada kirinya terdapat sekeping kecil pin berlambang PBB.

"Selamat siang, Pak Surya!" sapa si pria sembari mengatur posisi duduknya.

"Siang, Pak!"

Pria itu dengan ramahnya mencoba tersenyum. Bahkan tak segan membersihkan meja dari piring dan gelas milik Lukman yang kesemuanya telah kosong, hanya menyisakan bercak bekas makanan yang masih menempel. Diletakannya peralatan makan itu di bawah meja oleh si pria. Dari saku kiri Tuxedo nya, pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan yang kemudian ia gunakan untuk membersihkan meja.

"Perkenalkan, nama saya Martin." si Pria mengulurkan tangan mengajak bersalaman. "Saya dari kedutaan."

"Baik, Pak Martin."Lukman menyambutnya dengan ramah.

Usai bersalaman, si pria mengeluarkan selembar catatan kecil dari saku kanan Tuxedonya

"Baiklah, Surya. Langsung saja. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan. Anda diwajibkan menjawab dengan jujur. Karena itu akan berpengaruh besar terhadap penyelidikan tentang masalah ini."

"Siap, Pak."

"Jadi nama anda Surya siapa? Atau hanya Surya saja?" tanya pejabat itu.

"Eh... Su... Surya saja, Pak?"

"Punya kartu identitas?"

"Tidak, Pak. Hilang ketika saya menjadi sandera."

"Saya punya ide yang menarik, mau dengar?"

"Apa itu, Pak?"

"Bagaimana kalau nama anda jadi Surya Bahtiar saja?"

Lukman mengernyitkan dahi mendengar nama belakang yang sama dengan nama belakang sendiri. Ia pun curiga dengan si pria pejabat kedutaan ini. Mungkin dia tahu identitas aslinya. Namun, dugaan Lukman masih belum menentu. Kebetulan pun terkadang bisa menjadi penyebabnya.

"Ide yang bagus," kekeh Lukman.

Si pria menyandarkan punggungnya, dia merogoh saku kanan Tuxedonya yang cukup dalam. Dikeluarkanlah sebatang cerutu dihimpitkan ke kedua bibirnya. Saku celananya menyimpan korek api hingga dia kemudian merogohnya lagi. Pemantik ditekan dan korek api pun menyala membakar ujung cerutu. Ketika sudah terbakar, dia pun mengembuskan asap dari mulutnya sedikit demi sedikit. Lukman sontak terdiam kaget ketika melihat pria itu membuang kertas catatan yang berisi beberapa pertanyaan.

"Anda bukan pembohong yang baik kan, Pak?" cecar Lukman.

"Soal apa?"

"Bagaimana orang mengaku dari kedutaan mengenakan pin berlambang PBB?"

"Saya baru dari pertemuan delegasi. Tentu saja harus pakai ini, kan?"

"Kenapa anda membuang kertas sembarangan? Semula saya kira anda sangat menyukai kebersihan."

"Cukup!" seru si Pria. "Cukup basa-basinya, Kolonel Lukman Bahtiar!"