Gilang menarik tanganku masuk kedalam kamar, dia mengunci pintu kamar itu, lalu menatapku kesal.
"Bersikaplah dewasa! Jangan seperti anak kecil yang masih suka ngambek. Huh... Tapi memang kau masih sangat kecil, untuk wanita yang sudah menikah, kau memang jauh dibawah rata-rata," ucapnya meledek.
Aku tidak perduli dengan ocehan robot angkuh itu, menikah dengannya saja seperti mimpi buruk terbesar dalam hidupku. Lebih baik aku tidur lagi! Itu lebih berguna,dari pada melayani ocehan pria menyebalkan dihadapanku.
Keesokan paginya, aku menatap Gilang sudah rapi dengan setelan jas kantornya. Aku mengucak-ngucak mataku, menatap Gilang yang sedang bercermin. Cermin kan juga hatimu, wahai robot angkuh!
Aku berjalan masuk kedalam kamar mandi, tapi tiba-tiba Gilang memanggil.
"Mau kemana?" tanya Gilang.
"Mau mandi!"
"Buatkan aku kopi dulu. Layani suamimu, baru kau boleh mandi!" ucapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Iya!" ucapku sambil berjalan keluar kamar menuju dapur.
Apa dia bilang tadi? Layani suamimu? Suami mana yang kau maksud itu! Huh... Aku benar-benar tidak bahagia sedikitpun dengan gelar istri seorang Gilang Andrian Sangkar. Benar-benar buruk gelar itu!
Aku mengaduk kopi buatanku, tanpa menyicipi rasa kopi yang ku buat sambil menggerutu. Aku masuk kedalam kamar, lalu menyerahkan kopi itu pada Gilang.
"Ini!" ucapku sambil memberikan cangkir berisi kopi itu pada Gilang.
"Bagus, ternyata kau ada gunanya juga ya!" senyum Gilang sambil mengusap pucuk kepalaku.
Gilang meminum kopi buatanku, tiba-tiba...
BRUSSSSS....
Gilang menyembur kopi itu, lidahnya dijulurkan, sementara tangannya mengusap lidahnya.
"Asin... Kenapa kopi ini rasanya asin? Apa kau sedang mengerjai ku? Apa kau begitu putus asa dengan pernikahan ini sampai kau tidak bisa membedakan antara gula dan garam!" teriak Gilang, membuatku terkejut bukan main.
"Maafkan aku!" ucapku sambil menundukkan kepalaku.
"Kenapa? Apa yang kau pikirkan? Katakan!"
"Aku hanya merindukan keluargaku. Aku tidak pernah jauh dari mereka sejak kecil. Ini kali pertama, aku berpisah rumah dari mereka. Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf!" ucapku sambil menangis.
"Ya sudah. Cepat mandi! Aku antar kau menemui orang tuamu, setelah itu baru berangkat kuliah!" ucap Gilang sambil duduk di sofa.
Aku bergegas mandi dan memakai pakaianku. Aku menghampiri Gilang yang sedang memainkan ponselnya. Aku menatap sekilas layar ponsel itu. Bukankah itu fotoku sedang tidur? Kenapa dia menjadikan fotoku sebagai foto profil dilayar ponselnya?
Gilang buru-buru menyembunyikan ponsel itu, untuk apa disembunyikan? Aku sudah lihat, suami robotku! Ternyata diam-diam kau mulai menyukaiku ya! Hahaha...
Aku senyum-senyum sendiri menatap kearah Gilang, namun dengan wajah datar dan sombongnya, dia seolah tidak memperdulikan keberadaan ku.
Gilang keluar dari rumahnya itu, sementara aku mengikuti langkah kakinya dari belakang. Dia bahkan tidak menoleh kearah wajahku sedikitpun, huh... benar-benar pria angkuh!
Aku masuk kedalam mobil, menatap kearah jendela yang berada disampingku. Aku menatap hilir mudik orang-orang melakukan aktivitas mereka. Tiba-tiba, tangan Gilang menyentuh tanganku. Ada getaran yang berbeda saat tanganku bersentuhan dengan tangannya.
Ada desiran rasa yang tak mampu ku ungkapkan dengan kata-kata. Matanya sesekali menatap kearah ku. Sungguh aku dibuat bingung, dengan sikap dan tingkah laku pria dihadapanku ini.
Kadang-kadang dia angkuh, galak, menyeramkan, tapi terkadang dia juga berubah menjadi seseorang yang begitu perduli kepadaku. Aku sungguh tidak bisa menebak, seperti apa hatinya. Bahkan aku tidak tahu, kapan dia senang dan kapan dia sedih! Wajahnya selalu datar, tanpa ekspresi. Itu yang terkadang membuatku bingung pada sikapnya.
"Sebentar lagi kita sampai dirumah mu!" ucapnya.
Aku hanya tersenyum, lalu melepaskan tanganku yang dipegang erat olehnya. Aku kembali menatap jalan raya dari kaca mobilku. Aku tidak mau menaruh hati ataupun harapan, pada pria seperti Gilang. Aku sungguh tidak ingin, membiarkan Gilang memiliki hatiku.
Mobil Gilang berhenti didepan rumah orang tuaku, aku keluar dan langsung berlari memeluk Ayah dan Ibuku yang sedang melamun di teras rumah. Ayah dan Ibu terkejut, ada air mata haru di wajah mereka.
"Andini..." teriak Ibu dan Ayah serempak.
"Aku merindukan kalian!" ucapku sambil memeluk tubuh kedua orang tuaku. Ibu dan Ayahku imut memelukku, melepas rasa rindu setelah hampir seminggu tidak bertemu.
"Bagaimana keadaanmu, Nak? Apa kau baik-baik saja?" tanya Ayah, aku hanya mengangguk, aku tidak mungkin menceritakan tentang suamiku yang punya prilaku aneh.
Gilang keluar dari mobil, lalu mendekat kearah Ibu dan Ayahku. Kali ini aku cukup terkejut, untuk pertama kalinya aku melihat Gilang bersikap sopan pada Ibu dan Ayahku. Gilang menyalami kedua orangtuaku secara bergantian.
"Ini kah suamimu, Nak?" tanya Ayah.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Aku tidak mau membahas hal itu lebih jauh. Ibu dan Ayah memintaku untuk masuk, dan untuk pertama kalinya Gilang merangkul tubuhku dengan sangat mesra dihadapan kedua orangtuaku.
Mataku terus menatap kearah Gilang. Aku masih tidak percaya, jika pria angkuh ini bisa bersikap manis seperti ini. Mataku masih terus menatap wajah Gilang, sampai tiba-tiba...
BHUUHH...
Gilang meniup wajahku yang masih asyik menatap kearah wajahnya. Aku terkejut, aku segera mengalihkan pandanganku kearah lain. Namun Gilang malah tertawa, tanpa bicara sepatah katapun.
Senyum yang begitu manis, terpancar dari wajah angkuh miliknya. Wajah tampan dengan lesung pipi menambah lengkap kesempurnaannya. Hidung mancung, juga postur tinggi dengan otot besarnya, membuat setiap wanita yang melihatnya pasti ileran.
"Tampan," gumam ku.
"Aku memang tampan dari dulu!" bisiknya.
"Tidak jadi tampannya!"
"Kenapa?"
"Karena kau punya sikap sombong dan menyebalkan. Aku takut padamu!" bisikku ditelinga Gilang.
Ibu dan Ayahku tersenyum menatap kearah kami. Wajah mereka menggambarkan, jika mereka menyukai kehadiran Gilang disini, bersamaku. Andai dia bukan seorang robot angkuh, mungkin aku mau membuka hatiku untuknya. Sayang sekali, sikapnya sering berubah-ubah, aku tidak bisa mengetahui seperti apa hatinya.
Kadang dia begitu baik, tapi terkadang aku bahkan takut, walau hanya sekedar menyapanya.
"Minumlah, Nak!" ucap Ibu dengan senyum pada Gilang.
"Terimakasih Bu, aku minum ya!" ucap Gilang sambil meminum teh hangat yang diberikan Ibu.
"Sepertinya kian sangat bahagia ya!" ucap Ayah tersenyum senang.
Bahagia apanya? Kau tidak tahu Ayah, laki-laki yang menjadi suamiku adalah seorang robot. Dia hanya baik pada orang lain tapi bersikap angkuh pada keluarga dan istrinya sendiri.
"Kapan kalian akan memberikan cuci untuk Ayah?" tawa Ayahku yang membuatku semakin terkejut.
"Sepertinya, Andini belum siap untuk itu, Ayah!" tawa Gilang.
"Segera membuatkan cucu untuk kami, jangan ditunda-tunda," ucap Ibu.
Aku mengerutkan keningku, bagaimana bisa aku hamil? Aku saja tidur terpisah dengan Gilang. Mana mau aku melakukan itu duluan, aku bukan wanita penggoda. Aku hanya akan melakukannya jika dia meminta. Apa maksud kata-kataku, apa aku ini sudah gila? Apa aku benar-benar ingin memberikan tubuhku pada robot angkuh itu. Huahhhhhh... Aku bisa gila, jika terus membicarakan ini!
"Ayah, Ibu, sepertinya aku dan Mas Gilang tidak bisa lama-lama. Aku harus kuliah dan Mas Gilang harus ke kantor!" ucapku sambil mencium tangan kedua orang tuaku.
"Kau kuliah, Nak! Pasti suamimu ini baik sekali ya! Sampai mengizinkan mu untuk tetap kuliah setelah menikah!" ucap Ayah kagum.
Huh, dia itu punya dua kepribadian Ayah! Andai kau tahu, terkadang aku begitu takut pada laki-laki itu, tapi demi membayar semua hutang-hutangmu, aku rela menjalani hidupku dengan pria robot ini.
Aku dan Gilang masuk kedalam mobil untuk melanjutkan perjalanan kami menuju Universitas tempat aku berkuliah. Kini kembali suasana hening, bahkan seekor nyamuk pun enggan bersuara.
Gilang masih fokus dengan kemudinya, matanya tak sedikitpun melirik ke arahku. Kami sama-sama diam tanpa suara apapun. Benar-benar pria membosankan, pantas saja Elisha memilih memutuskan hubungan dengannya, pasti dia juga lelah menghadapi sikap Gilang selama ini.
Mobil Gilang terparkir sempurna didepan gerbang Universitas itu. Aku turun dari mobil, aku menatap dosen Randy ada didepan gerbang menatap kearah ku. Dia tersenyum manis padaku, sambil melambaikan tangannya.
Aku buru-buru membuang pandangan, pura-pura tidak melihat dosen itu. Aku tidak mau, jika Keysa menangis dan salah paham lagi padaku. Aku ingin menghindari dosen muda itu, bagaimana pun caranya!
Gilang keluar dari mobil, matanya menatap tajam kearah dosen itu. Gilang menarik tanganku, mendekap ku dalam pelukannya.
Tiba-tiba bibirnya menyentuh bibirku, menggigit lembut bibir merah milikku. Aku tersentak kaget, namun tubuhku tidak mampu menandingi kekuatan otot milik Gilang. Aku pasrah saja, memilih untuk diam dengan sikap robot angkuh dihadapanku ini.
Gilang melepaskan bibirnya yang mencium bibirku, mata kami saling beradu. Wajah tampan, berhidung mancung dengan warna kulit putih itu, tiba-tiba saja memerah. Wajah Gilang persis seperti kepiting merah, dia tersenyum malu menatap kearah ku. Entah kenapa, aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Aku tiba-tiba merasa malu menatap kearahnya. Bukankah kami ini seperti orang tidak waras?
Gilang mengusap lembut rambutku, lalu kembali tersenyum dengan senyumnya yang langka itu.
"Jaga dirimu. Jangan berani-berani mengkhianati ku!" bisiknya, lalu masuk kedalam mobil.
Aku menatap mobil Gilang melaju melewati jalan raya, lalu menghilang. Aku berjalan pelan, melewati gerbang Universitas itu. Ada rasa takut yang timbul di benakku. Kenapa dosen Randy masih saja menatapku dengan tatapan tajam.
Aku tepat berada didepan dosen Randy, aku merasa buluk kudukku berdiri. Ada merinding yang mencekam ketika berdekatan dengan dosen itu.
Tiba-tiba tanganku ditarik oleh dosen Randy, aku tidak menoleh, membiarkan tanganku disentuh olehnya. Sebenarnya, dosen ini mau apa? Apa yang ingin dia lakukan padaku?
Aku menggigit ujung bibirku, lalu mencoba berbalik badan kearah dosen itu. Randy tersenyum, namun justru mengerikan untukku. Terakhir kali aku diberi bunga, tiba-tiba dia mencium pipiku, bagaimana jika dia melakukannya lagi?
"Siapa laki-laki yang tadi mencium bibirmu?" tanya Randy.
"Suamiku."
"Suami? Kau sudah menikah?" Randy terkejut bukan main.
"Bu... Bu... Bukan! Maksudku dia pacarku, yang akan menjadi calon suamiku," ucapku agak gugup.
"Jadi, kau sudah punya pacar?"
"Iya. Kami akan menikah setelah lulus kuliah nanti!" tawaku.
"Kenapa, hatiku rasanya sakit sekali! Disaat aku jatuh cinta pada seorang wanita, justru aku mengalami penolakan," ucapnya sambil tersenyum.
"Maaf ya, Pak! Saya harus ke kelas, permisi!" ucapku sambil meninggalkan Randy, setengah berlari.
Aku berjalan masuk kedalam kelas, lalu bertemu dengan Keysa. Matanya menatap kesal padaku, sepertinya dia marah lagi padaku. Apa dia melihat aku mengobrol dengan dosen Randy? Matilah aku!