webnovel

3 - Masalah Lain

Adeline duduk termenung di kloset itu. Setelah mengetahui fotonya beredar luas, Adeline izin pergi ke toilet. Rasanya ia ingin menghilang saja sekarang, pasalnya semua orang menatapnya dengan pandangan aneh.

Ia sama sekali tidak menduga kejadian ini akan terjadi padanya, apalagi dirinya yang tidak suka menjadi pusat perhatian justru dalam semalam menjadi topik pembicaraan terhangat seantero kantor. Bagaimana ia melalui harinya setelah ini? Adeline malu.

Tok! Tok! Tok!

Pintu toilet itu diketuk dari luar, Adeline mengusap air matanya. Rasanya kedua matanya sudah membengkak karena menangis.

"Adeline, apakah kau ada di dalam?" tanya suara itu. Adeline tahu jika orang yang menanyakan keadaannya itu adalah Lia. Wanita itu juga yang memberitahunya mengenai skandal fotonya.

"I don't know, rasanya aku ingin menghilang saja saat ini," jawabnya lirih.

"Adeline, aku tahu kau pasti merasa tidak nyaman sekarang. Tapi trust me, ini akan segera berlalu." Lia nampak berusaha menenangkan teman sedivisinya itu.

"Aku tidak melakukan sesuatu hal yang buruk, tapi aku tidak tahu kenapa foto itu bisa ada dan tersebar kemana-mana."

"Aku tahu, apakah kau mau keluar? Kau bisa menceritakan semuanya kepadaku."

Cklek!

Pintu terbuka dari dalam, Adeline muncul dengan kantong mata yang sudah membengkak. Wanita itu terlihat berantakan, Lia memeluknya. Alhasil Adeline kembali menangis, dadanya terasa begitu sesak. Ia merasa wajahnya tercoreng.

"Apa yang harus aku lakukan, Lia? Wajahku harus kutaruh mana? Aku pasti dicap wanita murahan setelah ini," ujar Adeline mengeluarkan uneg-unegnya.

"Adeline, jangan berpikir begitu. Apakah kau mau pulang lebih awal? Kau benar-benar berantakan, aku akan mengantarmu."

Adeline mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Ia pikir perkataan Lia ada benarnya, pasalnya Adeline tidak bisa melanjutkan aktivitasnya hari ini. Ia hanya ingin menenangkan diri.

"Sepertinya itu ide yang bagus. Aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang hari ini."

Lia mengangguk, wanita itu merapikan rambut Adeline yang berantakan. "Baiklah, kau bisa langsung pergi ke depan. Aku akan mengambil tasmu dan izin ke manager kita jika kau merasa tidak enak badan."

"Terima kasih, Lia. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu hari ini."

"Anytime, Adeline."

Dan mereka pun berpisah, Adeline bergegas keluar dari kantor itu dan menunggu Lia diluar seperti intrupsi wanita itu. Semua orang nampaknya mengetahui skandal foto itu, pasalnya banyak orang yang berbisik-bisik sambil memandang ke arahnya. Adeline tidak tahu bagaimana caranya dirinya melewati semua ini.

Tin! Tin!

Terdengar suara klakson dari mobil yang Lia kendarai. Wanita itu melambaikan tangannya ke arah Adeline, ia pun segera masuk ke dalam mobil.

"Are you okay?"

"Bagaimana aku bisa baik-baik saja dalam situasi gila seperti ini? Aku tidak tahan, Lia. Aku mau resign saja."

Ya, Adeline tidak tahan menjadi pusat perhatian begini. Ia merasa tidak akan bisa melewati ini. Adeline tidak mau bertemu dengan orang-orang kantor lagi, ia sudah terlanjur malu.

"Adeline, kau akan baik-baik saja. Percaya padaku."

Adeline menoleh ke arah Lia yang fokus menatap ke arah jalanan di depannya. Ia tidak tahu mengapa sedari tadi wanita itu hanya mengatakan jika dirinya akan baik-baik saja, padahal sudah jelas keadaannya begitu buruk. Mungkin saja Lia hanya ingin menenangkan dirinya yang merasa kalut.

"Aku harap begitu."

Mobil yang mereka kendarai pun melaju memecah jalanan yang nampak lengang. Tidak berapa lama mereka pun tiba tepat di depan apartemen Adeline.

"Terima kasih, Lia. Apakah kau mau mampir dulu?"

Lia menggeleng. "Tugasku selesai, Adeline. Aku sudah mengantarmu selamat sampai depan apartemenmu, lagipula aku juga harus kembali ke kantor."

"Ah, benar juga. Sekali lagi terima kasih."

"Iya, ingat kata-kataku Adeline. Apapun yang terjadi, kau harus dalam keadaan baik-baik saja." Lia pergi setelah mengatakan itu, Adeline termangu di tempatnya. Kakinya enggan beranjak, selama ini mereka tidak pernah dekat hanya sebatas rekan kerja saja. Lia sangat baik padanya, wanita itu memberinya semangat saat ia terpuruk. Adeline tidak akan melupakan kebaikan wanita itu.

Setelah memastikan mobil Lia menghilang dari pandangannya, Adeline memutuskan masuk ke dalam gedung dimana apartemennya berada. Seperti yang Lia katakan sebelum dia pergi, Adeline harap ia akan selalu baik-baik saja dalam situasi apapun. Namun, entah mengapa hal itu justru menganggunya dan membuatnya merasa cemas. Bagaimana jika setelah ini muncul masalah lain?

"Semua akan baik-baik saja," katanya mengusir perasaan takut yang tiba-tiba merasukinya. Ia terus mengulangi kalimat itu untuk membuatnya merasa lebih baik, dan tanpa sadar ia sudah tiba tepat di depan pintu apartemennya.

Akhirnya ia tiba ke tempat ternyamannya, dimana tidak ada siapapun yang akan melukainya disini. Adeline akan berusaha untuk menenangkan dirinya, keadaan akan segera membaik, pun dengan dirinya.

Adeline memasukkan sandi apartemennya dan pintunya terbuka setelahnya. Namun ia terkejut ketika mendapati lampu di apartemennya menyala, Adeline selalu memastikan jika tidak ada lampu yang menyala saat ia pergi. Ya, tadi pagi ia memang pulang dengan terburu-buru, tapi seingatnya ia sudah mematikan lampu apartemennya.

"Kau sudah pulang?" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya muncul dan menyambutnya.

"Mama?" Ya, wanita itu adalah mamanya.

"Dia sudah pulang?" Tidak berapa lama papanya juga muncul. Kedua orang tuanya itu memang mengetahui  sandi apartemennya. Tapi ia tidak menyangka jika mereka datang tanpa memberitahunya. Biasanya jika mereka berkunjung, di hari itu juga mereka akan menghubunginya. Tapi kenapa ini tiba-tiba sekali?

"Ma, pa. Kok kalian datang tanpa memberitahu Adeline?"

Mama dan papanya nampak terdiam dan memandang satu sama lain. Wajah mereka juga terlihat serius.

"Ada hal yang ingin papa bicarakan," ucap papanya memberitahu dan kemudian duduk di sofa yang berada di living room. Adeline mengernyit bingung, ia menatap mamanya meminta penjelasan, namun mamanya justru mengisyaratkan kepada Adeline untuk segera mengikuti papanya.

"Ada apa, pa?"

Papanya nampak mengeluarkan ponselnya dari sakunya. Setelah berkutik dengan ponselnya beberapa saat, ia menunjukkan sesuatu kepada Adeline. Sontak kedua mata Adeline membulat ketika melihatnya, bagaimana bisa foto yang tersebar di kantornya juga terkirim ke ponsel papanya?

"Pa, Adeline--"

"Papa tahu kau sudah besar, Adeline. Tapi mengapa harus ada kejadian seperti ini?" Papa Adeline nampak kecewa, pun dengan mamanya. Meski masih syok dengan adanya foto itu di ponsel papanya, siapapun yang melakukannya pasti orang jahat. Mengapa mereka bisa memanipulasi foto yang bahkan tidak Adeline ketahui? Bahkan menyebarkannya dengan sembarangan.

"Ma, pa. Demi Tuhan, Adeline tidak melakukan hal buruk. Semalam Adeline mabuk--" Adeline menghentikan kalimatnya. Mama dan papanya tahu jika dirinya bukan orang yang aneh-aneh, dan sekarang ia menyesal karena sudah mengecewakan mereka.

Adeline memang sudah dewasa, ia bebas melakukan apapun. Tapi Adeline berjanji kepada mama dan papanya tidak akan pernah memasuki dunia malam, karena ia tidak ingin membuat mereka khawatir. Tapi secara tidak langsung ia sudah melewati batas. Dirinya pun juga tidak tahu apa yang sudah terjadi.

"Adeline, kau tahu kakakmu tidak pernah melakukan ini, kan? Tapi kenapa kau mengecewakan kami? Berfoto dengan seorang pria dengan gaya tidak senonoh. Apakah dia pacarmu?"

Adeline segera menggelengkan kepalanya menampik pertanyaan papanya mengenai Jacob adalah pacarnya. Ia bahkan baru bertemu sekali dengan pria itu.

"Bukan, pa. Dia bukan pacar Adeline."

"Lalu dia siapa? Kenapa bisa foto ini ada? Adeline mau jadi apa?" Tiba-tiba mamanya menyambung. Wanita itu benar-benar kecewa.

"Ma, Adeline bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya."

"Terlambat, Adeline. Foto ini sudah beredar kemana-mana, apakah kau tidak membuka ponselmu? Semua orang mengetahui ini. Mau tidak mau papa harus menikahkanmu dengan pria yang ada di foto itu."

"Menikah?!" Bagai disiram air dingin, Adeline tidak mampu berkata-kata dan hanya bisa terdiam syok.

"Benar kata papa, Adeline. Kau harus segera menikah untuk menekan rumor yang terus berhembus." Mamanya ikut menambahkan.

"Mama?"

"Jika bukan karena koneksi papamu, mungkin foto itu akan terus beredar dan kakakmu akan terkena imbasnya. Kau tahu sendiri bagaimana kakakmu bekerja keras membangun karirnya selama ini, kan?"

"Ma, ini tidak adil untuk Adeline. Aku merasa tidak melakukan apapun, Adeline dijebak."

"Entah apapun alasannya, kau harus tetap menikah dengan pria itu," ujar papanya tegas.