webnovel

Aku Di Bully

Aku duduk di bangku kelas 5 SD, aku memang bukan siswi yang menonjol. Badan ku yang kurus dan rambut ku yang keriting saat itu sering di jadikan bahan ejek kan siswa dan siswi lain nya. Tidak ada yang mau berteman dengan ku. Mereka seakan jijik dengan ku.

Aku tidak mengapa di anggap aneh saat itu. Di tambah lagi karena keadaan keluarga ku yang miskin saat itu membuat ku sangat kecil hati. Aku selalu iri jika melihat anak – anak lain yang menggunakan seragam baru, jam baru, tas baru bahkan sepatu baru.

Ayah ku yang hanya sesekali datang menghampiri aku memang selalu datang dengan pakaian baru dan selalu mencukupi kebutuhan ku. Namun tidak setiap saat. Aku saat itu adalah wakil ketua kelas yang tidak di anggap ada.

Suatu ketika saat guru di sekolah ku tidak ada di sekolah, ketua kelas ku membuat peraturan yang aku tidak ketahui. Aku sedang berada di toilet sekolah saat itu. Ketika aku masuk ke dalam ruangan kelas ku sambil mengetuk pintu dan bertanya kepada salah seorang teman ku.

"Bu guru belum dateng?" ucap ku memecah keheningan kelas.

"WOOOOOY, DIAN BERISIK AYO PUKULIN DIA." Ucap ketua kelas ku.

Serta merta mereka datang ke arah ku untuk kemudian memukuli ku hingga aku kesakitan dan berteriak minta tolong. Lalu mereka kembali ke tempat duduk mereka meninggalkan aku yang kesakitan. Salah satu teman ku yang kasihan melihat ku kemudian menarik ku keluar lalu menceritakan kejadian sebenarnya.

Bahwa ketua kelas ku membuat peraturan jika ada yang berisik harus di pukuli satu kelas. Betapa kagetnya aku di buat karena peraturan itu. Namun kembali lagi, aku bukanlah siswi yang menonjol di kelas. Maka aku tidak bisa berbuat apapun untuk menahan mereka.

Aku kembali ke kelas dan kemudian terdiam menulis kembali yang di perintahkan guru ku di kelas. Saat guru ku kembali aku pun enggan memiliki masalah dengan teman – teman ku, oleh karenanya aku tidak menceritakan apapun.

Sesampai di rumah pun aku tidak berani menceritakan hal buruk yang terjadi pada ku di sekolah. Aku diam sampai aku dewasa. Saat itu aku merasakan kesakitan yang hebat di sekujur tubuh ku. Namun aku hanya bisa diam tak berbuat apapun.

Tak hanya di sekolah, di keluarga ibu ku pun aku sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Aku ingat betul sebuah peristiwa saat aku sedang menginap di rumah kakak ibu ku. Bude Diaz, memiliki 2 orang putri yang seusia mas Galang.

Mereka lebih menyayangi adik ku, Tantri. Tantri memiliki kulit yang putih mirip ibu ku, ia lucu dan menggemaskan. Sedangkan aku, tidak ada yang menarik dalam diri ku. Saat itu kami di ajak masak bersama. Aku ingat betul tugas ku adalah yang paling berat yaitu mencuci beras dan mencuci piring.

Sedangkan adik ku Tantri dan kedua orang putri bude ku di biarkan menonton acara televisi kesukaan mereka. Bagaimana dengan perasaan ku? Aku kembali bersedih. Saat itu aku sudah memiliki perasaan bahwa aku di beda kan dengan kedua adik ku.

Aku menyimpan semua duka yang aku rasakan. Duka itu tidak membuat ku mendendam. Aku menjadi sangat membenci diri ku. Rasa nya aku tidak sanggup hidup dengan diri ku yang sudah hina ini. Aku ingin mati.

Tidak ada yang bisa memahami ku saat itu. Semua yang aku inginkan tidak pernah terwujud. Aku lelah menjalani ini semua. Aku sering sekali bicara sendiri di dalam kamar ku. Bermain rumah – rumahan dan membayangkan kehidupan sempurna.

Aku bahkan tidak menyangka bahwa aku akan hidup lebih lama. Beberapa kali mencoba bunuh diri namun terlalu takut dengan rasa sakitnya. Kadang berpikir, apakah akan selamanya hidup ku akan terus begini? Selalu kecewa dan di kecewakan oleh keadaan.

Saat anak – anak ku tertidur dan aku sedang sendirian di rumah, aku hanya menangis dan berusaha menyakiti diri ku. Tak ada yang tahu, bahkan mas Radit dan anak ku Kanda yang selalu berada di dekat ku dan berusaha memahami ku pun tidak tahu akan keadaan batin ku yang terasa terhimpit.

Aku berharap semua keadaan ini segera berakhir. Aku ingin segera mengakhiri penderitaan ini. bahkan saat aku dewasa pun tidak luput dari beberapa kali perudungan yang di lakukan teman – teman kantor ku.

Aku masih mengingat, saat aku sedang hamil anak ku Banyu. Beberapa rekan kantor ku merencanakan mengadakan gatering yang di biayai oleh kantor. Saat sedang memilih – milih penyewaan villa, dan mereka cocok dengan villa yang aku rasa aku tidak mampu ikut menempuh perjalanan itu.

Lokasi yang jauh dari jalanan dan licin jika harus berjalan membuat ku yang kala itu sedang hamil besar mengundurkan diri dari ikut mengadakan acara gatering tersebut. Namun supervisor ku yang sangat loyal kepada ku, memaksa ku untuk ikut dan berencana mengganti villa yang akan di tuju.

"Pokoknya cari tempat, yang Dian juga bisa ikut." Ucap bu Dela, atasan ku.

Tatapan rekan sekerja ku langsung tajam ke arah ku. Mereka seakan membenci ku. Dan baru ku ketahui belakangan dari salah seorang teman ku yang lain nya bahwa mereka menggunjing ku dari belakang. Hal itu membuat ku bersedih.

Bagaimana mungkin aku yang tidak pernah mau ikut campur dan memilih mundur dari acara tersebut malah di benci oleh rekan ku tersebut bahkan sampai di gunjingkan.

"Kesel gue sama bu Dela. Ngapain sih mikirin Dian yang sudah jelas – jelas mundur sendiri. Malah kita yang mayoritas di suruh mengalah sama Dian." Begitu kira – kira ucap orang tersebut.

Banyak hal yang selalu di komentari tentang hidup ku oleh orang – orang di sekitar ku. Bahkan penampilan ku yang cendrung sederhana saja menjadi bahan olok – olok. Semua itu mereka lakukan di belakang ku, tanpa sepengetahuan ku.

Aku hanya mendengar hal tersebut dari salah satu teman ku yang dekat dengan ku namun sengaja bergabung dengan mereka. Namun Tuhan Maha Baik pada ku. Sebelum aku resign dari kantor itu, orang yang menyebarkan gossip tentang ku di keluarkan oleh kantor.

Wanita itu sedang hamil dan di anggap tidak produktif di kantor. Bagaimana dengan ku? Apakah aku senang dengan kesulitan wanita itu? Tentu tidak. Seburuk apapun kondisi ku, aku tetap tidak tega jika harus melihat orang lain kesulitan.

Sebenarnya aku hanya ingin orang yang merudung ku menyesali apa yang ia perbuat pada ku dan meminta maaf pada ku. Itu saja. Aku tetap tertawa bersama mereka, berpura – pura tidak terjadi apa – apa. Walau aku selalu lelah dengan topeng itu.

Namun aku sudah memafkan semua kejadian itu walaupun mereka belum meminta maaf. Tak peduli agama apapun yang di anut, dari ras mana kita berasal dan semua perbedaan itu. Ku rasa kita cukup menjadi manusia untuk bisa memanusiakan manusia lain.

Karena tidak semua manusia memiliki mental yang sehat. Namun aku kini sedang belajar menerima keadaan ku yang sudah pasti tidak akan sembuh ini. Aku belajar mengontrol semua dalam benak ku. Walau aku merasa hidup ini seperti mentertawakan ku.