Asha menggeliatkan tubuhnya saat sinar matahari pagi mulai mengintip melalui celah jendela.
Entah kenapa, Asha merasa tidurnya sangat nyenyak setelah semalaman ia menangis. Ya, semalaman Asha menghabiskan waktu untuk menangis.
Apalagi yang dipikirkannya selain keputusan besar yang akan segera ia jalani. Menikah? Ah, membayangkan saja Asha rasanya sudah tidak sanggup.
"Duh, capek banget gue," ucap Asha dengan suara serak khas bangun tidur.
Lantas, gadis itu kemudian bangkit dari tidurnya. Benar saja, Asha merasa otot-otot tubuhnya lelah.
Ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur menarik perhatian Asha. Ia meraih ponsel tersebut.
Saat layar ponsel itu menyala, di sana terlihat ada satu panggilan dari nomor yang tak dikenalnya. Selain itu, juga ada chat dari nomor yang sama.
Asha segera membuka aplikasi hijau itu dan membuka pesan dari nomor tersebut.
0821xxxx : Selamat pagi. Ini nomor saya. Dimas.
Asha mengerutkan keningnya, tiba-tiba saja ia merasa aneh. Mereka baru tadi malam bertemu, sekarang laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu sudah mendapatkan nomornya.
Benar-benar tidak dapat ditebak apa yang akan terjadi dalam hidup ini.
"Huft, pesan kayak gini nggak perlu gue bales kali ya," gumam Asha berpikir.
Akhirnya Asha pun memilih untuk mengabaikan pesan dari Dimas. Karena pesan tersebut sepertinya tidak butuh balasan.
Laki-laki itu hanya mengatakan kalau itu nomornya. Untuk apa? Padahal kan Asha tidak butuh. Malah Dimas yang duluan mengiriminya pesan.
Asha memutuskan untuk tidak ambil pusing perihal Dimas. Kemudian ia turun dari tempat tidurnya dan lekas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Hampir setengah jam Asha menghabiskan waktu untuk sekadar mandi. Waktu yang cukup lama dibandingkan biasanya.
Tetapi sekarang, tubuhnya sudah cukup segar dari tadi. Sepertinya suasana hati Asha pun bisa sedikit membaik.
Asha melakukan ritualnya setelah mandi, mengoleskan beberapa krim yang membantu merawat kulitnya.
Saat Asha sibuk dengan ritualnya, tiba-tiba ketukan pintu dari luar membuat Asha menghentikan aktivitasnya.
"Ya," sahut Asha.
Setelah sahutan Asha, pintu tersebut terbuka dan tampaklah Elen dengan senyuman yang membingkai wajahnya.
"Kamu udah mandi jam segini?" tanya Elen sedikit tak percaya. Pasalnya, biasanya Asha masih bermalas-malasan di atas tempat tidur.
Asha menjawab pertanyaan Elen dengan anggukan kepala. Selain itu, Asha juga berusaha menghindari tatapan Elen. Karena matanya masih terlihat sembab karena semalaman menangis.
Asha melanjutkan aktivitasnya. Sedangkan Elen, perempuan itu telah duduk di tempat tidur.
"Sha, are you okey?" tanya Elen karena khawatir.
"I am fine, Ma," jawab Asha singkat.
Meskipun mengatakan baik-baik saja, tapi Elen yakin kalau Asha tengah berbohong kepadanya.
Tentu saja Elen tahu alasan Asha seperti ini.
"Kenapa? Apa kamu nggak suka sama perjodohan yang sudah Mama dan Papa siapkan?" tanya Elen karena sudah bisa dipastikan perjodohan yang membuat Asha bersikap tidak seperti biasanya.
Lantas, Asha yang sedang menyisir rambutnya itu menoleh ke arah Elen.
"Mama tahu sendiri kan jawabannya. Jadi aku nggak perlu jawab," sahut Asha yang terdengar ketus.
Elen menganggukkan kepala, "Ya, Mama tahu kamu nggak setuju. Tapi, Dimas adalah laki-laki yang baik dan akan bertanggungjawab sama kamu. Mama bisa pastikan itu," ucap Elen dengan tenang.
Sejak awal Elen memang telah yakin kalau Dimas adalah sosok laki-laki baik yang bisa mendampingi Asha. Selain itu, Elen juga sudah mengenal lama kedua orangtua Dimas. Elen dan Lukman sudah sangat yakin kalau Abimana dan Anya telah membesarkan dan mendidik Dimas dengan sangat baik.
Dengan alasan demikian, maka Elen dan Lukman tak punya alasan untuk tidak menjadikan Dimas sebagai menantu mereka.
Terdengar helaan napas berat dari Asha, gadis itu mendekati Elen yang berada di tempat tidurnya. Asha duduk di sebelah Elen.
"Ma, tapi apa nggak terlalu terburu-buru?"
"Tentu saja nggak Sha. Ini memang sudah waktunya. Kamu ini putri tunggal, kamu yang akan melanjutkan keturunan keluarga kita. Ngapain lama-lama nikah."
Asha mendengus kesal. Lagi-lagi ini semua dikaitkan dengan statusnya sebagai putri tunggal. Akhirnya ia yang harus dipaksa menikah di usia yang menurutnya masih sangat muda.
Tetapi ini kan bukan salah Asha terlahir sebagai anak tunggal. Seharusnya dulu Elen dan Lukman memberinya adik.
"Ma, bukankah seharusnya orang yang menikah itu harus saling mencintai. Aku sama Dimas itu nggak saling mencintai. Bagaimana mungkin kami bisa menikah, Ma?" Asha berbicara dengan serius kali ini.
Asha berharap kalau Elen akan mempertimbangkan kembali mengenai pernikahan ini.
"Sha, kamu dengerin Mama deh." Elen menyentuh kepala anak semata wayangnya itu dengan lembut.
"Cinta itu bisa hadir seiring kebersamaan. Banyak orang di luar sana yang menikah dengan cara perjodohan, tapi pernikahan mereka bisa harmonis. Karena pacaran nggak selalu menjamin kehidupan rumah tangga yang bahagia."
Asha mencoba mencerna perkataan Elen dengan baik. Memang, apa yang dikatakan Elen ada benarnya.
Tetapi, tetap saja Asha masih merasa belum bisa menerima keputusan yang telah dibuat oleh kedua orangtuanya. Menikahi orang yang tidak dikenalnya bukanlah keputusan yang mudah.
"Tapi Ma, aku sama Dimas itu...."
Elen tersenyum penuh arti, "Mama yakin suatu saat kalian akan saling mencintai," ujar Elen kemudian.
Asha menggigit bibir bawahnya. Entah kenapa, Elen begitu bersikeras kali ini. Apa mungkin ia benar-benar tak bisa menolak permintaan orangtuanya kali ini.
Apa mungkin suatu saat Asha akan jatuh cinta pada Dimas dan sebaliknya? Entahlah, rasanya terlalu mustahil untuk memikirkan itu saat ini. Apalagi mengingat kesan pertama mereka yang kurang baik.
Asha menggaruk kepalanya, "Tapi Ma, gimana kalau aku punya pacar dan aku nggak mau nikah sama Dimas?" tanya Asha berniat ingin tahu bagaimana reaksi Elen.
Elen tertawa pelan mendengar perkataan Asha. Elen tidak menyangka kalau Asha akan berbicara seperti itu untuk menggagalkan rencananya.
"Kok Mama ketawa?" tanya Asha kebingungan.
"Gimana Mama nggak ketawa, kamu nggak usah aneh-aneh deh Sha!"
Asha mengerutkan keningnya, "Aneh gimana maksud Mama?"
"Kamu tadi bilang punya pacar?"
Asha mengangguk dengan cepat.
"Jangan bohongin Mama deh! Sejak kapan kamu punya pacar? Dari dulu kamu kan nggak punya pacar," ledek Elen dengan tawanya.
Baru juga dapat ide, Asha sudah ketahuan duluan.
Asha menggaruk tengkuknya. Kenapa Elen begitu pintar hingga tahu semua kebohongan yang telah direncanakan Asha.
Ya, sejak dulu Asha belum pernah berpacaran. Bukan karena tidak ada laki-laki yang tertarik padanya. Tetapi karena Asha memang tidak ingin berpacaran karena menurutnya ia belum menemukan laki-laki yang membuatnya tertarik dan sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.
"Mama pikir aku nggak punya? Aku punya pacar, Ma." Asha bersikeras.
"Udah! Nggak usah bohongin Mama! Mama yakin kamu secepatnya akan jatuh cinta sama Dimas," ucap Elen seraya bangkit berdiri, kemudian meninggalkan Asha.