webnovel

Perjaka yang Disembunyikan

Kehidupan yang dianggap sempurna oleh orang lain tidaklah sempurna bagi Sarah. Memiliki suami mapan yang mencintainya, pekerjaan tetap yang diidam-idamkan dan memiliki kecantikan yang selalu dipandang iri oleh wanita lainnya tidaklah membuatnya sempurna. Dia hanyalah menantu yang tak bisa dianggap sempurna, dituduh mandul karena tak kunjung mengandung. Semuanya hampa, saat bersamaan dia mengalami kecacatan pada fisiknya. Tiba-tiba kecelakaan merenggut semua yang dimilikinya. Suaminya pergi, kecantikan di wajahnya tak selengkap dengan kakinya yang tak sempurna dan juga dia menjadi wanita terpuruk. Kehadiran Lee Hyun Gi membuat kesedihannya berangsur-angsur pulih, pria muda yang membuatnya sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukannya bersama pria itu. Bagaimana jika mantan suaminya memintanya untuk rujuk dan di saat bersamaan Lee memintanya untuk menjadi kekasihnya? Akankah dia kembali dilanda keterpurukan jika memilih salah satunya?

Rainy_D · 都市
レビュー数が足りません
17 Chs

Separuh Nyawa

"Kau di kontrakanku, Sarah," bisiknya lembut.

Seperti mesin waktu, otak pintar Sarah berputar mengingat apa yang telah terjadi. Pesta itu … Sarah loncat keluar jendela ... di taksi ... apotek ... dan ...

"Kau mau kopi, Sarah?" tanya Rega sembari bangkit dari tempat tidur.

Rega benar, Sarah memang gila kopi. Dan di saat ada masalah, kopilah tempatnya membuang kesah.

"Jangan!" sontak Sarah berteriak. Rega menatap wajah Sarah setengah tak percaya.

"Maksudku ... biar aku yang buat kopi. Kau duduklah di sini."

"Tapi kamu enggak biasanya mau buat kopi...," katanya tak percaya. Meski begitu Rega akhirnya kembali duduk, melihatnya beranjak dengan pandangan bertanya-tanya. Sedikit kikuk, Sarah menuju dapur.

Dua gelas kopi panas terhidang di atas meja. Rega duduk terdiam di ujung meja. Sarah tak tahu apa yang dipikirkan oleh Rega. Namun ia bisa menduganya. Tatapannya yang kosong sekarang. Rega pasti cemas bagaimana harus menjelaskan pada keluNandraya dan keluarga calon suaminya tentang kejadian ini. Bagaimana gadis itu bisa berada di tempat ini.

"Sarah ...."

Ia mengangkat kepalanya. Sarah melihat dari cermin di belakang Rega, wajah Rega nampak begitu berantakan. Mata Sarah sembab karena menangis semalaman. Rambutnya kusut, demikian juga bajunya.

"Kau tak seharusnya melakukan ini ...."

"Lalu apa yang harus kulakukan? Meninggalkanmu, dan menikah dengan orang yang bahkan aku tak kenal?" ucapnya setengah berteriak.

"Bukan itu maksudku .…"

"Lalu apa … apa yang harus kulakukan?"

Rega terdiam.

Malam kian merangkak. Suasana begitu sunyi. Rega sibuk dengan pemikirannya. Demikian juga gadis itu, Sarah.

Seteguk demi seteguk, pria itu mulai minum kopi buatan Sarah. Memang tidak biasanya Sarah mau membuat kopi. Karena Biasanya Regalah yang memanjakannya dengan kopi buatannya. Tapi kali ini Sarahlah yang meminta membuatnya. Karena malam ini adalah malam spesial. Malam terakhir mereka bertemu.

"Kopinya enak, Sarah ... ternyata kau pandai juga menyeduh kopi …," pujinya.

Sarah tersenyum pahit. Sepahit kopi itu.

Kopi di atas meja telah mereka habiskan seiring malam menjemput pagi. Dan mereka berdua tetap terdiam membisu. Cuma suara jangkrik di halaman yang sesekali menimpali.

"Sarah …." tiba-tiba keheningan terpecah. Wajah Rega mulai memucat. Bibirnya bergetar.Tangannya gemetar berusaha meraih bahu Sarah. Sarah berdiri mendekat. Ia rangkul erat tubuh Rega.

"Kau pernah memintaku membawaku pergi dari sini, kan?"

Kepala Sarah mengangguk. Matanya mulai sayu.

"Tapi kau menolaknya," jawabnya kelu.

Rega mengangguk lemah. Sarah pun kian erat memeluknya, seakan tak ingin melepaskannya.

"Sekarang aku berubah pikiran, Sar ...."

Seketika Sarah tersentak. Halilintar serasa menghantam tepat di kepalanya. Duarrrr...!!!

"Apa maksudmu?" teriaknya tak percaya, "kemarin kau tolak mentah-mentah usulku!"

"Dengarkan aku dulu, Sarah ...."

"Tidak!" sergah Sarah dengan amarah membumbung.

"Sarah ... aku tidak bisa melihatmu seperti ini ...."

Sarah berteriak histeris, Ketika tubuh Rega tersungkur dengan bibir menghitam dan mulut mengeluarkan busa.

"Kenapa ... kenapa baru sekarang kau katakan ... bangunlah ... bangun ...." diguncang-guncang tubuh Rega dengan keras. Gadis itu memanggil-manggil namanya. Tapi ia diam tak bergerak. Sarah pun menangis sejadi-jadinya.

Andai saja Rega katakan itu ketika ia baru datang tadi, mungkin tak kan seperti ini kejadiannya. Mereka pasti sudah berada jauh dari sini, menata hidup dan bahagia bersama.

Sarah tak bisa lagi menangis. Air matanya telah mengering. Tak bisa lagi tangis ditumpahkan. Apa yang harus dilakukan? Dengan langkah gontai ia beranjak ke dapur. Diseduhnya lagi secangkir kopi, dengan tak lupa menabur sisa racun yang tadi dibubuhkan Rega tanpa sepengetahuannya. "Aku pengantinmu, Sayang. Dan ini malam pengantin kita."

Kemudian, Sarah meneguk secangkir kopi terakhir dengan senyum terindah...

***

Sarah meminum gin miliknya, ia duduk bersama ketiga teman-temannya yang kebetulan ada di Jakarta. Tepatnya sohib beratnya, Yuli, Cessa, dan Tara.

Ketiga sahabatnya itu miris menyaksikan Sarah yang kembali bermimpi buruk, soal Rega.

Yuli yang bingung dengan Sarah terisak di telpon, dan Yuli yang segera menuju hotel dimana Sarah berada bersama kedua temannya yang baru sampai di Jakarta.

"Kenapa … kenapa Rega selalu datang ke mimpi gue?" racaunya saat mulai mabuk.

Ini bukan pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di diskotik, pub, atau apa pun lah namanya. Yang Sarah tahu semua tempat itu hanya menawarkan kenikmatan sesaat. Tapi toh lama-lama ia menikmatinya.

Pusing. Itu hal pertama yang dia rasakan karena kelap-kelip lampu disko yang menyilaukan. Mereka sudah duduk di tempat yang nyaman, agak di pojok tapi di depan, dekat dengan panggung, agar mereka mudah menari malam itu.

"Long Island dua ya …," ujar Cessa pada waiter yang juga kenalannya.

Musik mulai menghentak. Ada pertunjukkan music band sebelum menjelang tengah malam. Band ini terdiri dari tujuh personil, tiga di antaranya wanita, yang kesemuanya vokalis, dan seksi-seksi. Mata para pria keranjang tak lepas dari vokalis utama. Bagaimana tidak, dia menari di atas meja penonton. Cessa rasa dia sudah sedikit mabuk. Dia menyanyikan lagu Rihanna, Don't Stop The Music.

Long Island pesanan Cessa dan Tara sudah datang. Pelan-pelan Cessa menyeruputnya. Ia bergidik. Pahit! Tara tertawa melihat tampang kecut gadis itu. Untung saja ada kacang goreng diatas meja, yang memang sengaja disuguhkan waiter untuk menyiasati rasa pahit minuman alkohol. Sementara itu, Yuli berjoget dengan si vokalis pria seksi yang sangat genit itu. Sesekali ia ikut bernyanyi jika microphone disodorkan padanya. Ingin rasanya teman-teman Yuli melempar gelas Long Island itu ke arah mereka, tapi sayang rasanya, karena Cessa dan Tara mulai menikmati minuman setan ini. Pandangannya mulai terbelah dua, kepalanya mulai ikut bergoyang tanpa disadari. Mereka sudah mulai mabuk setelah meneguk 3 gelas.

Entah berapa lama mereka berada di diskotik itu. Long Island-nya yang segelas itu tak sanggup ia habiskan, hanya setengahnya saja. Pandangannya sudah sangat kabur. Bicara pun sudah mulai tak karuan. Saat semua pengunjung sudah mulai berkurang, Cessa masih berbincang-bincang dengan teman-temannya yang kesemuanya personil band itu. Sarah sudah setengah sadar, duduk di pangkuan Cessa sambil merebahkan kepala yang sudah sangat berat di bahunya. Ruangan ini sudah berubah menjadi lima di matanya. Cessa, Tara dan Yuli pun masih setengah sadar namun tetap dalam pengaruh mabuk, Yuli menunggu kedatangan suaminya dan kedua temannya akan ikut menginap di rumahnya. Berbeda dengan Sarah yang sudah terkapar dengan kepala berada di meja bundar tempat botol minuman dan gelasnya berserakan.

Sementara Yuli menelpon Nandra, Sarah sudah tak sanggup berjalan, Nandra dan Sarah menggendongnya menuju hard-top merahnya dan segera kembali ke apartemen mereka. Sesampai di sana pun, Nandra menggendongnya ke dalam, sampai di atas tempat tidur. Ia masih tahu setelah itu Nandra melucutinya dan menikmatinya sepuasnya. Setelah itu, ia sama sekali tak sadar lagi.