webnovel

Bimo

Dengan langkah terburu, Laras sedikit berlari menuju kantin sebab hendak bertemu seseorang. Seseorang yang mengatakan bahwa dia mengetahui di mana keberadaan Randi sekarang.

"Maaf telat. Lo udah nunggu lama?" tanya Laras pada seorang laki-laki dengan kemeja himpunan yang melekat di tubuhnya. Bimo, salah satu teman Randi dalam organisasi yang diikutinya. Mereka berdua sering kali terlibat kegiatan bersama. Entah itu danus, seminar dan beberapa kegiatan organisasi lainnya.

"Nggak, gue juga baru nyampe. Jadi, lo mau nanya apa?"

Laras sedikit menetralkan napasnya yang memburu sebab berlari tadi. Ia juga meremas-remas tangannya sendiri karena tiba-tiba dilanda kegugupan. Laras memang memiliki panic attack, dia akan merasa tidak nyaman, takut, sekaligus khawatir dalam waktu yang bersamaan. Hal itu mendorongnya untuk melakukan gerakan-gerakan reflek seperti meremas tangan menggunakan kukunya sendiri atau mengigit bagian dalam dari pipinya hingga berdarah.

"Lo yang ngajak ngobrol, lo sendiri yang gugup. Tenang aja, gue gak tertarik buat rebut lo dari Randi." Bimo berucap dengan santai. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menyeruput es jeruknya dengan tenang sembari mata yang masih memandangi Laras.

"Maaf, tapi gue bingung mau mulai dari mana." Laras berucap dengan jujur. Karena otaknya terasa buntu, ia tidak bisa berpikir untuk menemukan alibi yang tepat.

"Lo cuma mau nanya Randi ada di mana kan? Kenapa harus bingung?"

Laras tidak menjawab. Ia menunduk, memandangi sepatu putihnya yang berdekatan dengan sepatu hitam milik Bimo. Laras tahu, Bimo adalah tipe laki-laki yang cuek dan sedikit ketus pada perempuan. Namun, tidak Laras duga jika ia sulit berbicara pada Bimo.

"Iya, gue mau nanya tentang Randi. Lo tahu kalau gue pacarnya, tapi Randi pergi tanpa pamit sama gue. Gue pengen cari dia, tapi gak tahu ke mana. Makanya gue nanya sama lo." Laras memberanikan diri untuk menatap mata Bimo. Tidak ada sorot hangat dari kedua netra laki-laki itu, hanya ada sorot malas yang diberikannya.

"Dia pergi sekaligus pindah ke Jojga, ke rumah neneknya."

Sontak mata Laras melotot. "Serius?! Lo tahu darimana?"

"Gue yang ngurus berkas pindah Randi, ya, otomatis gue tahu." Laras mengangguk. "Emangnya lo mau nyusul Randi?" Laras mengangguk dengan ragu.

"Kenapa harus disusul?"

"Ya, gak papa. Pengen ketemu dia aja, kenapa dia pergi tanpa pamit dan kenapa dia pindah kampus." Bimo mengangguk tanpa bertanya lebih.

"Gue bukan temen deket Randi, gue cuma bantu dia kemarin karena yang lain pada sibuk. Walaupun gue gak kenal deket sama dia, bukan berarti gue gak tahu kenapa alesan dia pindah sebegitu mendadaknya."

"Lo tahu?" Bimo menggeleng. "Nggak tahu pastinya, tapi gue tahu ada sesuatu di antara lo berdua."

Laras tak memberikan respon apa-apa. Ia hanya menunduk sembari terus meremas tangannya sendiri. Hingga selembar kertas berisi deretan huruf dan angka itu, disodorkan ke depannya. "Ini apa?"

"Alamat rumah neneknya Randi. Dia ada di sana, gue jamin."

Laras tak mengucapkan apa-apa, ia hanya memandangi secarik kertas itu dengan pandangan kosong. Berbagai asumsi baik negatif ataupun positif mulai bermunculan di kepalanya. Laras mulai memikirkan apa yang terjadi ketika dirinya nekat pergi untuk menyusul Randi. Apakah laki-laki itu akan mengusirnya atau malah menerimanya dengan baik?

Tapi sepertinya opsi pertama lebih masuk akal.

"Kalau lo mau susul, gue saranin pikirin baik-baik." Bimo berdiri, dia menenggak habis minuman miliknya.

"Bimo, makasih." Laras berucap tulus sembari tersenyum tipis. "Sama-sama."

***

Mata kuliah Laras dan Nindy sudah berakhir. Sore menjelang petang, hingga senja sudah nampak di atas langit. Nindy masih sibuk dengan ponselnya, ia tengah mengobrol via chat dengan sang bunda. Bertanya mengenai kabar sang ayah, apakah masih memburuk atau membaik. Sementara di sampingnya, Laras menengadah ke langit. Pada bangku taman fakultas, ia dapat melihat sedikit dari warna jingga di langit.

Pikirannya masih berkecamuk hebat. Mempertimbangkan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya. Tidak mungkin ia menerima perjodohan konyol dengan Panji. Akan jadi apa hidupnya nanti? Opsi kedua adalah pergi ke Jojga. Menemui Randi, membicarakan semuanya baik-baik dan berharap laki-laki itu mau kembali.

Laras juga sudah memikirkan dengan matang, kalau tidak apa jika Randi enggan menikahinya. Asalkan laki-laki itu ada di sampingnya, selalu, hidup Laras akan baik-baik saja.

Pertanyaannya, apakah Randi mau?

Laras takut, jika ia ke sana, Randi akan menolaknya. Membentak serta mengusir Laras dari hidup laki-laki itu. Tapi, bukannya ini semua resiko? Karena bagaimanapun juga, Randi adalah penyebab utama di sini. Kalau saja malam itu Randi tidak ceroboh, hal ini mungkin tidak akan terjadi. Kalau saja Randi tidak pecundang dan mau bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, mungkin Laras tidak akan terjebak dalam paksaan untuk menerima perjodohan konyol itu.

Jadi, bukan salah Laras, bukan?

"Hoi?! Ayo, pulang! Kok malah ngelamun." Nindy sudah berdiri, menenteng tote bag besarnya.

"Nin, gue mau nyusul Randi. Menurut lo gimana?" Laras bertanya dengan pelan. Membuat Nindy mengurungkan diri untuk beranjak dan kembali duduk di samping Laras.

"Nyusul ke mana, Ras? Kita aja gak ada yang tahu Randi pergi ke mana."

Lama Laras tak menjawab, satu kalimat berhasil membuat Nindy termenung. "Jogja."

"Randi ada di Jogja?" Laras mengangguk. Matanya menyorot pada pintu perpustakaan yang terbuka lebar.

"Lo tahu darimana?"

"Bimo."

"Bimo yang cuek itu?" Laras mengangguk lagi.

Nindy sempat diam sebelum menghembuskan napasnya pelan. "Gue emang gak tahu tepat apa yang lo rasain sekarang. Yang gue tahu, ini semua pasti gak mudah buat lo. Lo pasti selalu ngerasa sendiri walau ada gue di sini." Nindy memegang salah satu tangan Laras. "Ras, apapun keputusan lo, gue bakal dukung. Gue akan selalu ada di belakang lo, bantu lo sebisa gue. Lo gak perlu ngerasa sendiri lagi, karena, gue janji akan selalu ada buat lo."

Laras tersenyum. "Makasih."

"Jadi, kalau keputusan lo udah bulat mau nyusul Randi ke Jogja, gue akan temenin lo."

"Serius?!!" Mata Laras melotot, tak percaya dengan ucapan Nindy.

"Iya."

Laras memberikan sebuah pelukan erat untuk Nindy. Pelukan sebagai bentuk rasa sayangnya pada perempuan ini. "Makasih banyak, Nin. Maaf juga karena selalu buat lo repot."

"Gak, jangan bilang maaf. Udah kewajiban gue untuk ngebantu sahabat gue ini."

Pelukan mereka berlangsung lebih lama dari biasanya. Pelukan erat nan hangat bagi keduanya. Hingga, ponsel Laras bergetar satu kali. Tanda bahwa ada pesan masuk di sana.

"Handphone lo bunyi, tuh."

"Iya, bentar."

Satu kalimat pendek, namun mampu membuat Laras lemas hingga menjatuhkan kepalanya di bahu Nindy. "Kenapa?"

[Malam ini fitting baju untuk tunangan. Pergi sama Panji, jangan membantah.]