webnovel

Peran Utama

CherilynCey · 若者
レビュー数が足りません
390 Chs

Perasaan Pengagum

"Bisa buka pintunya? Aku ada di depan rumah kamu." Daya membaca pesan baru dan dia pun memaksakan dirinya untuk bangkit dari posisi tidurannya di tempat tidur.

Sama seperti biasa, Daya tidak peduli dengan wajah kusutnya dan pakaiannya yang masih memakai seragam. Dia pun membuka pintu dan melihat orang yang baru saja mengirimkan pesan.

"Nih, titipan salad lo dari Ris- eh maksud gue Eki," kata Aron.

Daya pun menerima kotak salad buah itu dan kembali ingin menutup pintu. Namun Aron segera menahan pintu itu dengan kakinya sebelum kembali tertutup rapat.

"Apa lagi?" tanya Daya.

"Mobil gue lagi dipakai dan katanya gue bakalan dijemput di dekat sini. Boleh gue numpang duduk di rumah lo?"

Daya pun dengan terpaksa membuka pintunya lebih lebar untuk mempersilakan Aron untuk masuk. Tapi dengan menyebalkan cowok itu tidak juga melangkah masuk ke dalam rumah.

"Kenapa diam aja?" tanya Daya. "Bukannya tadi bilang mau numpang duduk?"

"Temani gue duduk di depan yuk," kata Aron seraya menarik lengan Daya yang memegangi pegangan pintu.

"Engg-" bantahan Daya langsung di potong oleh Aron.

"Di dalam lagi nggak ada orang kan? Gue tau takut kalau ada iblis menggoda gue buat ngelakuin hal yang gue suka." Aron tersenyum lebar setelah melontarkan kalimat menjurus itu.

Tetapi Daya tidak terlalu terpancing dengan perkataan itu. Walaupun begitu, dia tetap mengikuti Aron ke luar rumah. Duduk di kursi teras rumahnya.

"Kata Eki, lo lagi ada masalah ya?"

"Apa aja yang sudah Kak Eki jelasin sama lo?"

Daya tidak mau basa-basi lagi. Jika memang ada yang belum disampaikan oleh Eki, dia akan memberitahu sendiri pada Aron. Dia sudah malas berpura-pura menjadi orang yang bukan dirinya.

"Semuanya, tentang Deri, Alice dan gimana itu bisa berhubungan sama gue."

"Bagus deh kalo udah tau semuanya."

"Kenapa lo enggak bilang aja kalo lo mau minta video buat cewek yang namanya Alice?" tanya Aron.

Daya menggeleng. Dengan suara yang berat karena menahan tangis Daya berkata, "Setelah itu apa? Cewek itu bakalan bilang makasih sama dia. Skenario paling buruknya, mereka jadian."

"Day, jangan mikir gitu dulu. Mungkin aja, dia bakalan ngasih ucapan makasih ke kamu."

Daya tertawa sinis. "Aku enggak mau terlalu berharap lagi, karena tiap kali aku berharap semuanya gak ada yang sesuai."

Ponsel Aron berbunyi, cowok itu pun membaca pesan di layar ponselnya. Kemudian dia melihat ke arah Daya lagi. Aron memegang tangan kanan Daya.

"Kalo ada yang bisa gue bantu, lo bilang aja. Anggap aja, gue ini teman Kakak lo kayak dulu."

"Kayak dulu?" Daya mengerutkan dahinya sambil melihat ke arah Aron.

Awalnya Aron sempat terkejut dengan pertanyaan Daya, tapi kemudian dia tersenyum. "Lo mungkin lupa soal itu, tapi nggak masalah. Kejadiannya juga enggak begitu penting. Pokoknya, lo jangan sungkan minta tolong sama gue. Oke?"

"Tenang aja, gue pasti bakalan ngerepotin lo kok," ucap Daya seenaknya.

"Bagus, gue tunggu hari di mana lo ngerepotin gue." Aron pun berdiri dari tempat duduknya.

"Sudah dijemput ya?" tanya Daya yang juga ikut berdiri.

Aron mengangguk. "Gue masih ada syuting sebenarnya."

"Ron," panggil Daya waktu cowok itu sudah menjauh darinya.

Aron pun membalikkan badannya.

"Makasih," ucapnya.

Aron hanya melambaikan tangannya sebelum pergi dari halaman rumah Daya. Dia berlari kecil untuk menghampiri mobil yang terparkir agak jauh dari rumah Daya.

Daya masuk ke dalam rumah. Sebelum kembali ke kamarnya, Daya pergi ke dapur dulu untuk mengambil sendok. Setelah itu barulah dia menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Saat masuk, Daya di sambut dengan suara ponsel yang berbunyi. Dia mengambil ponsel itu dan melihat nama Deri di sana. Saat ini perasaannya sudah jauh lebih baik, jadi Daya segera menerima panggilan itu.

"Hallo," ucap Daya tangannya yang bebas dari ponsel sibuk membuka tutup kemasan salad.

Bukannya membalas ucapan ramah dari Daya, Deri malah berbicara dengan nada tinggi. "Lo dari mana aja sih? Gue dari tadi telepon lo."

"Tadi gue habis di dapur," jawabnya singkat.

Daya tidak tahu apakah Deri mengetahui kalau Aron baru saja mampir ke rumahnya atau tidak. Tetapi, Daya tidak ingin Deri tahu soal itu dari mulutnya sendiri.

"Kenapa lo enggak bawa hp? Biasanya juga lo enggak pernah lepas dari hp," omel Deri.

"Lo telepon gue cuma buat nuntut gue ya? Apa enggak cukup di sekolah tadi?"

"Oke!" Deri mengakhiri pembicaraan tidak pentingnya. Dia lalu beralih pada pembicaraan utamanya. "Gue minta maaf."

"Minta maaf soal apa? Kesalahan lo banyak sama gue."

Daya menyuapkan salad buahnya ke dalam mulut sambil menunggu Deri menjawab pertanyaannya. Dia tidak berpikir Deri akan meminta maaf. Biasanya cowok itu tidak pernah peduli dengan kesalahan yang dia perbuat.

"Soal...." Perkataan Deri tergantung.

"Soal?"

"Soal gue lebih membela Alice daripada lo. Bukannya tanya dulu awalnya gimana, malah nyuruh lo minta maaf gitu aja."

Daya tentu tidak dapat menahan senyumnya lagi. Senyum lebar yang tidak terlihat semenjak tadi pagi. Hanya permintaan maaf dari Deri yang bisa menerbitkan senyumnya lagi.

"Kalo gue maafin lo sekarang, apa kejadian yang tadi enggak bakalan keulang lagi?" Daya tidak mau terlihat langsung menerima permintaan maaf dari Deri begitu saja.

"Gue emang enggak bisa janjiin nanti bakalan gimana, tapi gue janji bakalan dengarin penjelasan  lo dulu nantinya."

"Em..." Daya terdengar nampak berpikir. "Buat maafin lo, gue perlu imbalan."

"Gue teraktir eskrim di Banana's gimana?" tawar Deri.

Dengan gampangnya, Daya mengangguk dan berkata, "Oke."

"Sampai ketemu besok, habis pulang sekolah."

Daya pun menutup teleponnya. Sambil tersenyum lebar, dia menyantap salad buahnya dengan perasaan riang. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan es krim bersama.

Terakhir kali itu saat mereka lulus SMP. Waktu itu, Eki yang membawa mereka makan di sana dan meneraktir keduanya. Saat itulah pertama kali Saya menyadari perasaannya pada Deri dan tidak pernah berpindah ke mana pun.

***

Aron membuka pintu mobilnya dan duduk di samping pengemudi. "Dia sudah terima saladnya."

"Bukan itu yang mau gue dengar," kata Eki.

"Gue udah bilang kalo gue tau semuanya," kata Eki.

"Selain itu?"

Eki langsung mengeluh karena temannya terus mendesaknya. "Dia masih suka sama orang lain, gimana bisa dia terima gue?"

"Lo tuh, sama dia enggak ada bedanya. Sama-sama penakut buat ungkapin perasaan." Eki menatap lurus ke depan dan dia belum juga menyalakan mobil.

"Ayolah, gue masih ada syuting. Soal ungkapin perasaan itu bisa nanti," kata Eki yang mulai gelisah karena managernya terus saja mengirimnya pesan.

Eki menggelengkan kepalanya sambil bergumam. "Gue enggak pernah ngerti perasaan pengagum rahasia."