webnovel

Peran Utama

CherilynCey · 若者
レビュー数が足りません
390 Chs

Menunggu yang sia-sia

Alice sengaja menabrak Daya saat cewek itu baru saja berbalik badan setelah mobil kakaknya meninggalkan sekolahan. Terdengar suara mengaduh dari cewek itu tetapi Alice tidak peduli dia tetap berjalan meninggalkan Daya begitu saja. Setelah beberapa langkah berjalan di depan Daya baru Alice menoleh ke belakang sambil tersenyum miring.

Dia senang melihat Daya kesakitan, sebab itulah tujuannya mengambil sekolah di sini. Alice punya alasan tersendiri kenapa dia mengikuti Daya sampai berada di sekolah ini. Sayangnya, dia tidak memiliki otak yang cerdas seperti Daya sehingga menempatkan berada di kelas tingkat terbawah di sekolah ini.

Akan tetapi, Alice tidak begitu merana. Kepintarannya dalam bergaul membuat Alice bisa berteman dari kelas mana saja. Berbanding terbalik dengan Daya yang berteman dengan orang yang itu-itu saja.

"Alice," panggil seseorang dari belakang.

Ini lagi satu keuntungan yang Alice punya. Seseorang menyukainya dan cowok itu adalah sahabat dari musuhnya. Ini makin membuat Alice berada di atas awan. Benar saja, waktu Alice kembali menoleh Daya terlihat sedang diam terpaku memperhatikan Deri yang menghampirinya tanpa menoleh ke arahnya.

Jika boleh, Alice ingin tertawa sekencangnya melihat wajah bodoh Daya. Tanpa perlu bertanya pun, Alice tahu kalau Daya terjebak dalam status friendzone. Kasian sekali, cintanya bertepuk sebelah tangan.

"Baru datang juga ya?" tanya Deri waktu cowok itu sudah berada di sampingnya.

Alice hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Deri. Sebenarnya dia sudah datang beberapa menit yang lalu. Hanya saja, pagi ini dia ingin mengerjai Daya sehingga dia memilih menunggu di depan gerbang sekolah.

"Oh ya, Alice. Soal Aron...," kata Deri.

Mendengar nama Aron membuat Alice tidak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. "Kenapa sama Aron?"

"Gue liat dia ada acara Sabtu sampai Minggu nanti. Tempatnya enggak begitu jauh dari sini. Perjalanannya cuma satu atau dua jam. Kamu datang ke sana nggak?"

"Acara festival itu ya?"

Deri mengangguk.

"Gue sih, mau banget datang."

"Kalo gitu, ke sana aja. Nanti gue yang temani."

"Tapi gue nggak bisa," kata Alice dengan nada suara yang tinggi. "Lo lupa? Gue ada lomba Sabtu malam. Jadi hari Sabtu harus latihan buat persiapan. Kalau masuk final, Minggu malam harus tampil lagi."

"Itu kalo masuk final kan? Kalo enggak masuk final, berarti selesai acara bisa pergi ke sana dong?"

Alice melirik pada Deri dengan tatapan yang tajam. Lalu dia bertanya dengan suara yang masih saja meninggi "Lo doain gue enggak menang lomba ya?"

"Eh, bukan gitu...." Deri tampak kebingungan harus melanjutkan perkataannya seperti apa.

Sementara itu, Alice hanya memutarkan bola matanya dan melangkah mendahului Deri. Dari awal mengetahui bahwa Aron akan menjadi bintang tamu di sebuah festival dengan tanggal yang bertepatan dengan acara perlombaan yang diikutinya sudah membuat Alice bingung harus pilih yang mana.

Alice perlu waktu semalaman untuk memikirkan tetap lanjut mengikuti lomba atau datang ke acara Aron. Hingga akhirnya, dia pun memutuskan untuk tetap ikut perlombaan dan mencoba melupakan keinginannya untuk bertemu Aron. Sekarang, Deri malah mengungkitnya. Padahal, Alice sudah menahan diri untuk tidak ke tempat Aron.

"Kalo lo mau pergi ke sana, ya lo pergi aja sendiri. Tapi jangan lupa, bawain apa yang gue mau. Lo masih ingatkan gue maunya apa?"

Deri mengangguk cepat. "Video Aron ngucapin selamat ulang tahun buat Lo kan?"

"Bener," kata Daya. "Soalnya, ulang tahun gue tahun ini bakalan dirayain. Jadi, gue mau nampilin video Aron. Biar semua orang liat."

"Oke, gue janji bakalan dapatin video itu."

"Bagus, kalo lo bisa dapatin video dari Aron," ucap Alice sebelum akhirnya dia berbelok ke arah yang berlawanan dengan ruang kelasnya.

Walaupun sebentar lagi bel masuk akan berbunyi Alice tidak akan khawatir terlambat masuk. Sebab, Alice sudah mendapat izin untuk tidak mengikuti kelas beberapa hari ini agar bisa fokus untuk latihan. Perlombaan dance yang diikuti Alice itu adalah skala nasional. Jadi, pihak sekolah mendukung penuh dalam memfasilitasinya.

***

Inilah yang menjadi alasan Deri mengelilingi gedung sekolah. Semenjak istirahat, Daya menghilang begitu saja. Seakan lenyap tanpa jejak. Padahal, sebelum bel berakhirnya pelajaran pertama Deri masih melihat Daya duduk di bangkunya seperti biasa.

"Rin," panggil Deri pada teman sekelasnya.

Rini yang sedang berjalan beriringan dengan Alif pun menoleh ke arah asal suara. Dia berdiri menunggu Deri menghampirinya.

"Lo liat Daya ada di mana? Gue cari di kantin, dia enggak ada." Deri melirik cowok yang berdiri di sebelah Rini. Dia merasa kalau cowok itu memperhatikannya dengan sangat teliti.

"Oh, tadi dia bilang mau ke toilet dulu," jawab Rin.

Deri menganggukkan kepalanya. Sekali lagi dia melirik ke arah Alif dan tiba-tiba saja Deri merasa kesal karena cowok itu terlalu memperhatikannya. Tatapannya seperti ingin menikam Deri.

"Kalo gitu, gue ke sana deh. Makasih Rin."

Deri segera saja pergi sebab takut Alif akan mencengramnya karena terlalu lama mengobrol dengan Rin. Dari yang Deri lihat, cowok itu type cowok prosesif. Tidak ada yang boleh berbicara dengan pacarnya kecuali dia sendiri.

Kalau Deri jadi Rin, mungkin dia akan segera mengundurkan diri jadi pacar cowok itu. Sebab, pasti jika berhubungan akan menjalani hubungan yang tidak sehat.

Sampainya di depan toilet cewek, Deri ragu untuk langsung masuk ke dalam sana. Tentu saja, seberani apa pun dia kalau sudah berurusan dengan toilet cewek pasti akan berpikir dua kali juga untuk masuk. Apalagi, hanya dengan alasan yang tidak mendesak.

"Der, lo ngapain di sini?" tanya Alice yang ingin masuk ke toilet bersama teman-temannya.

"Eh Alice, gue lagi nungguin Daya," kata Deri dengan keraguan.

"Lo nganterin Daya ke toilet? Dia enggak punya teman cewek apa? Sampai harus nyuruh lo yang ngantar ke toilet?" kata salah seorang teman Alice yang bernama Zia.

Deri tau, cewek ini memang terkenal dengan mulutnya yang suka mencibir. Deri paling tidak bisa jika harus berurusan dengan cewek yang seperti ini.

"Gue ada perlu sama dia, makanya gue ke sini," jawab Deri ketus.

Tanpa mempedulikan Deri dan Zia, Alice pergi begitu saja. Menurut Alice, Deri di sini karena siapa itu bukan urusannya.

"Lo enggak bisa nunggu dia di kelas aja? Bukannya lo satu kelas sama dia? Bilang aja lo mau ngintip cewek."

Deri mengernyitkan keningnya sambil memperhatikan penampilan Zia dari atas sampai bawah. "Urusan gue sama Daya bukan sama lo. Lagian, kelakuan gue nggak semesum pikiran lo."

Zia ingin menjawab pertanyaan Deri, akan tetapi dia baru menyadari kalau Alice sudah tidak ada lagi di sampingnya. Dia hanya membalas Deri dengan tatapan sinis. Setelah itu dia berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Deri menunggu Daya ke luar dari toilet sekolah. Tanpa dia sadari, waktu berjalan begitu saja. Menunggunya, sia-sia.