webnovel

Peran Utama

CherilynCey · 若者
レビュー数が足りません
390 Chs

Janji

Sampainya mereka di stand Aron, Daya bertemu dengan Eki yang sedang duduk di kursi kasir.

"Ngapain ke sini?" tanya Daya pada kakaknya.

"Kita pulang sekarang," ajak Eki.

"Masih siang, kenapa harus pulang sekarang?"

"Kakak lupa ada tugas yang belum dikerjakan. Kalau pulang sore takut gak sempat buat tugasnya. Mana harus dikumpul besok pagi."

"Kakak tuh, kebiasaan. Ngerjain tugas satu hari sebelum dikumpulkan," omel Daya.

Berdebat dengan Daya soal mengerjakan tugas sudah terlalu sering. Selain itu, perdebatan mereka akan berakhir dengan kemenangan adiknya. Dari pada makin membuang waktunya berdebat lebih Eki menahan diri tidak membalas omongan Daya.

"Makanya, kita pulang sekarang," ajak Eki. "Atau kamu mau pulang sama Cecilia aja nanti malam?"

"Enggak deh, pulang sama Kak Eki aja." Daya pun mengambil tas dan jaketnya yang ada di meja kasir.

Sementara itu, Eki beralih pada Aron. "Gue duluan ya. Sori nih, kalo adik gue ngerepotin lo selama dia di sini."

"Adik lo malah ngebantuin gue," kata Aron santai. Dia pun teringat dengan barang yang sudah dia siapkan semenjak tadi malam.

"Ayo Kak," kata Daya.

"Sebentar." Aron menahan tangan Daya sebelum dia berlalu untuk mengambil barang yang dia simpan di dalam tas managernya. Setelah mendapatkan barang untuk Daya dia pun kembali pada cewek itu dan memberikan barang tersebut.

"Makasih ya," ucap Daya sambil menerima kado yang diberikan oleh Aron.

Setelah itu Daya dan Eki benar-benar berlalu. Koper Daya sudah berada di dalam mobil yang akan mereka pakai untuk kembali pulang. Sehingga dari tempat festival ini, mereka akan segera menuju kota mereka tanpa perlu kembali ke penginapan.

"Sampai rumah, langsung cek barang-barang kamu. Kalo ada yang ketinggalan langsung hubungin Kak Ta," kata Eki saat mereka sudah berada di tengah-tengah perjalanan.

"Iya, gampang." Daya memfokuskan perhatiannya pada ponsel yang ada di tangannya.

Jemarinya menari-nari di layar ponsel itu. Membuka satu persatu aplikasi sosial media yang dia punya. Tidak ada hal menarik di semua sosial medianya. Semuanya sama, soal gosip, politik dan hal lucu settingan.

"Gimana dua hari sama Aron?" Eki sesekali menoleh ke arah Daya yang duduk di sampingnya.

"Biasa aja." Daya mematikan ponselnya dan melihat ke arah jalan di hadapannya.

"Biasa aja? Katanya kamu suka sama dia."

"Pas ketemu ternyata biasa aja, enggak sesuai sama ekpektasi." Suasana hati Daya masih tidak nyaman. Dia merasa bersalah karena sudah bersikap buruk pada Aron tadi.

"Ekspektasi kamu gimana sama dia?"

"Nggak tau deh Kak," kata Daya.

Selama sisa perjalanan itu, Daya hanya menjawab omongan Eki seadanya dan berpura-pura tidur agar kakaknya tidak terus mengajaknya berbicara. Sebenarnya Daya juga bingung apa yang membuat suasana hatinya susah kembali membaik. Biasanya, ini terjadi hanya ketika Daya sedang bingung.

Kebingungan itu langsung terjawab saat Daya sampai di rumahnya. Waktu dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur kesayangannya. Seseorang meneleponnya. Nama yang tertera di layar ponselnya adalah nama yang sendari tadi mengganggu pikirannya.

Daya hanya memperhatikan layar ponselnya beberapa saat dan kemudian membiarkannya bunyi. Walau sudah diabaikan, ponsel itu terus saja berbunyi. Daya tetap tidak peduli. Jika penelepon itu tidak mau menyerah untuk meneleponnya, maka Daya juga tidak mau menyerah untuk tidak mengangkat panggilan itu.

Tubuh Daya yang lelah membuatnya menganggap kalau suara dari ponselnya ada lagu pengantar tidur. Kelopak matanya terasa berat dan Daya pun terlelap dalam tidurnya.

Entah berapa lama Daya tertidur, yang jelas dia bangun karena merasa sebuah cahaya menyoroti matanya. Cahaya itu tidak begitu tajam, tapi cukup mengganggu untuk Daya.

"Deri!" geram Daya saat mengetahui dari mana asalnya sorot cahaya itu.

Dia pun akhirnya menyerah pada Deri. Daya bangun dari tempat tidur, menyalakan seluruh lampu di kamarnya. Setelah itu dia membuka pintu yang terhubung ke balkon kamarnya.

Di seberang balkon kamarnya, berdirilah seorang cowok sambil memegangi sebuah senter. Tidak lama kemudian, ponsel Daya kembali berdering. Mau tidak mau Daya masuk ke dalam kamarnya lagi untuk mengambil ponselnya itu.

"Apa?"

"Lo tuh ke mana aja sih? Gue telepon lo dari tadi tapi enggak diangkat-angkat."

"Gue tidur," ucap Daya singkat.

"Gimana soal video?"

Daya menatap cowok yang ada di seberang rumahnya. Satu-satunya hal yang dipentingkan Deri hanyalah soal video untuk Alice.

"Nggak dapat," Daya sedang tidak mau berbicara banyak.

"Selama dua hari di sana, lo nggak bisa dapatin videonya?" Nada suara Deri meninggi.

Hal itu malah mengingatkan Daya saat nada suara meninggi waktu berbicara dengan Aron. Padahal cowok itu tidak salah apa-apa. Emosi Daya saat itu tiba-tiba saja naik saat mengingat Deri yang sedang berusaha mendekati Alice.

"Ya mau gimana?"

"Payah banget si lo Day," ketus Deri.

"Payah?" Dikatai oleh Deri membuat Daya tidak bisa menahan suaranya lagi. "Lo pikir, desak-desakan di sana enak apa? Asal lo tau ya, waktu mau nyamperin Aron pertama kali gue sempat pingsan. Terus, dengan gampangnya lo bilang gue payah? Kalo lo ngerasa lo hebat, kenapa bukan lo sendiri aja yang minta videonya. Kenapa lo harus nyuruh orang yang payah kayak gue?"

Tidak terdengar suara dari Deri untuk beberapa saat setelah Daya menyemburkan semua kata-kata yang telah disimpannya semenjak kemarin. Akan tetapi, kini suasana hati Daya sedikit lebih baik. Sepertinya, perkataan itulah yang mengganggunya.

"Terus, soal video itu gimana? Ulang tahun Alice tinggal beberapa minggu lagi."

Mendengar kalimat itu keluar dari Deri membuat Daya membelalakkan matanya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh Deri. Bisa-bisanya cowok itu hanya memperhatikan video untuk Alice tanpa mengkhawatirkan keadaannya.

"Cari cara lain aja lagi," kata Daya sebelum memutuskan sambungan telepon dengan Deri.

Sambil menahan kesal, Daya kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintu balkon. Lampu utama di kamarnya juga dia matikan.

Dalam kesunyian dan gelapnya ruangan, Daya meringkuk di atas tempat tidur. Kedua tangannya terkepal. Orang yang membuatnya begini adalah Deri namun orang yang makin dibencinya adalah Alice. Menurut Daya, cewek itu pantas untuk dibencinya.

Kalau saja Alice tidak datang ke kehidupan Deri, pasti cowok itu tidak akan terpikat pada peson paslu cewek itu. Pasti dikehidupan tanpa Alice, Daya adalah satu-satunya cewek yang ada di dalam hidup Deri.

Perasaan Daya tidak pernah mau menyalahkan Deri, walaupun cowok itulah sumber rasa sakit yang dia rasakan. Logika Daya lagi-lagi tidak bekerja jika menyangkut soal Deri. Dengan bodohnya, Daya mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan pada Deri.

"Nanti ya, gue cari tau lagi Aron ada acara di mana. Mungkin di sana gue punya kesempatan buat minta video ke Aron."

"Oke," jawab Deri cepat.