webnovel

Peran Utama

CherilynCey · 若者
レビュー数が足りません
390 Chs

De!

Daya menggeleng saat seseorang bertanya padanya. Hanya itu yang dia ingat sebab setelahnya dia hanya merasa tubuhnya melayang. Kemudian dia mencium aroma yang tajam dan dekat sekali dengan hidungnya.

Walaupun aroma tajam yang dia hirup ini begitu mengganggu, tapi itu bisa membuatnya memiliki tenaga lagi. Daya mengerjap matanya, dan mendapati seseorang berbaju hitam duduk di sampingnya.

"Gimana perasaannya?" tanya orang itu.

Tangan Daya menjauhkan minyak angin dari dekat hidungnya. Kini napasnya sudah jauh lebih baik dan dia merasa tidak membutuhkan minyak angin itu lagi.

"Udah baikkan?" tanya panitia itu lagi.

Daya mengangguk. Matanya menatap ke sekeliling ruangan yang kecil ini. Hanya muat beberapa orang dan di ruangan ini terasa sama saja dengan di luar. Sesak.

Tatapan Daya beralih dari satu orang ke yang lain. Sampai dia menemukan orang yang dikenalinya. Untungnya, orang itu juga melihat ke arah Daya.

Orang itu segera menghampiri Daya dan dia bertanya, "Kamu adiknya Ki kan?"

"Ya," jawab Daya singkat.

Walaupun sebelumnya tidak saling sapa, mereka mengenal satu sama lain. Dia tau kalau Daya adalah adik Eki. Begitu juga Daya, dia mengenal perempuan ini adalah manager Cecilia tanpa tau namanya. 

"Ki tau kamu di sini?"

Daya menaikkan kedua bahunya, pertanda dia tidak tau. Seingat Daya, kakaknya itu sedang sibuk membantu menjual kue Cecilia. Waktu mengunjungi stand Aron, Daya juga tidak meminta izin pada Eki.

Manager Cecilia itu hanya mengangguk, kemudian dia pergi. Kepergian manager itu langsung di gantikan oleh seorang cowok yang sangat Daya kenali wajahnya.

"Ini ya, yang pingsan di depan stand gue?" tanya Aron pada panitia yang berdiri di dekat tempat tidur Daya.

"Kayaknya iya Kak," kata panitia itu.

Aron beralih memandang Daya dan duduk di kursi yang di sampingnya. "Gimana? Udah baikkan?"

"Hemm," gumam Daya.

"Kenapa lo bisa pingsan sih?"

Mata Daya menerawang melihat langit-langit ruang kesehatan ini. "Belum makan dari pagi dan gue juga ada riwayat sesak napas. Jadi, desak-desakan kayak tadi bikin gue gini."

Itulah kalimat terpanjang yang bisa Daya ucapkan. Melihat Aron duduk di sampingnya membuat tenagannya kembali pulih. Daya merasa keinginannya untuk ke sini sudah semakin dekat. Kalau dia bisa meminta Aron melakukan apa yang diinginkan Alice, dia bisa meminta satu permintaan pada Deri.

"Salah lo itu. Lo cari penyakit sendiri namanya," cibir Aron.

Daya mengerutkan dahinya, dia pikir semua artis akan ramah seperti yang dilihat di depan kamera. Ternyata, apa yang biasa dilihat di kamera tidak sepenuhnya benar.

"Gue ngelakuin itu, karena mau beli barang lo," kilah Aron.

"Lo mau beli yang mana? Biar gue bawain ke sini. Tapi, harga beda ya."

Daya menghembuskan napas panjang. "Lo mau meras fans lo sendiri ya?"

Seketika itu juga Aron tertawa mengejek. "Serius Lo fans gue? Bukan penyusup?"

"Maksud lo penyusup?"

"Rata-rata fans gue itu udah sepakat kalau bakalan pakai atribut hitam atau putih. Sedangkan lo...." Aron memperhatikan pakaian yang dikenakan Daya dari atas sampe bawah.

Dengan sigap, Daya segera menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tipis yang disediakan di tempat ini. "Emangnya, harus pakai baju yang sesuai?"

"Tuh kan bener, lo penyusup. Penggemar gue pasti udah tau. Dari awal gue muncul juga udah bilang, kalau ada ketemuan gitu dresscodenya hitam atau putih."

"Tapi, nggak semua orang punya baju hitam atau putih," kilah Daya tidak mau kalah.

"Oh, ayolah," kata Aron sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Siapa yang nggak punya pakaian putih atau hitam? Itu warna netral."

"Konyol," kata Daya. Dia menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah lain.

"Oke, gue anggap aja lo fans baru gue jadi lo enggak tau apa-apa. Gimana?"

"Terserahlah mau lo deh," ucap Daya tak acuh dan dia melirik Aron yang kini terdiam begitu saja sambil menatap ke arah lain.

Daya pun ikut menoleh ke samping untuk mengikuti arah pandang Aron. Senyum langsung mengembang ketika melihat seseorang yang dia kenali berjalan mendekatinya.

"Kak," sapa Daya.

Eki tidak menjawab sapaan dari Daya. Sama seperti Aron, cowok itu juga melihat ke arah lain. Daya pun kembali menoleh ke arah Aron. Ternyata dugaannya benar, orang yang dilihat Aron adalah Eki dan begitu juga sebaliknya.

"Lo, Nopal kan?" tanya Eki saat dia sudah berada di samping tempat tidur Daya.

Aron menaikkan satu alisnya. "Lo teman SD atau SMP gue ya?"

Setahu Aron, hanya saat dia duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dipanggil dengan sebutan Naufal atau Nopal. Setelah lulus SMP dia pindah ke Singapura dan di sana dia menggunakan nama Aron hingga dia kembali lagi ke sini.

"Gue Riski," kata Eki memperkenalkan dirinya.

"Riski?" Aron mengingat-ingat temannya yang bernama Riski. Nama itu terlalu pasaran, sehingga Aron harus memastikan dengan jelas siapa Riski yang dimaksud orang ini.

"Si Kutu Buku," kata Eki lagi untuk mengingatkan Aron tentang dirinya.

Aron hanya menggeleng pelan. Dia tidak bisa menggali ingatannya tentang cowok yang bernama Riski ini.

"Karate?" Eki memberikan clue lagi pada Aron.

"Oh, gue inget." Aron yang tadinya terlihat bingung segera tersenyum lebar. "Riski Pratama kan? Lo yang pernah nolongin gue kan?"

Eki tersenyum karena Aron bisa mengingatnya kembali. "Baguslah, lo ingat gue dibagian yang baik."

"Oh, gue juga ingat dibagian buruknya. Lo pernah ngompol di celana juga kan pas SMP?"

"Hey," tegur Eki dan kakinya refleks menendang tempat tidur Daya.

"Lo ke sini ngapain?" tanya Aron setelah dia menertawakan Eki yang marah karena dia sudah mengingatkan masa kelam cowok itu.

"Nih, samperin dia." Eki menunjuk Daya yang terlihat bingung dengan keakraban dua cowok yang ada di hadapannya ini.

Aron melihat Daya kembali. Semenjak melihat Riski dia sejenak melupakan cewek yang membawanya ke tempat sempit ini. "Oh jadi lo mau nyamperin dia. Gue pikir ini cewek cuma sendirian makanya gue perlu tanggung jawab, soalnya dia pingsan di depan stan gue. Kalo gitu, tugas gue di sini sudah selesai."

"Lo yakin mau pergi?" tanya Eki saat melihat Aron yang mulai beranjak dari tempat duduknya.

"Bukannya sudah ada lo yang jagain dia?"

"Lo sudah selesai ngobrol sama De?"

"De?" Aron terasa tidak asing dengan nama itu. Dia seperti pernah mengingat dekat dengan nama De. Akan tetapi, kini nama itu terasa memudar dalam ingatannya.

"Iya, De. Adik gue." Eki melirik ke arah cewek yang berada di tempat tidur.

"De!"

Makin lama mendengar obrolan ke dua cowok ini, makin membuat Daya tidak mengerti. Apalagi saat Eki menyebutkan nama 'De' dan sambil melirik ke arahnya. Belum lagi, Aron sepertinya mengerti apa yang dimaksud oleh Eki. Daya yang berada di tengah mereka jadi merasa orang paling bodoh.