webnovel

Wisata

Mobil Steve baru saja memasuki sebuah tempat yang ramai akan pengunjungnya. Jika mereka terlambat satu menit saja, sudah dipastikan tidak akan ada lahan parkir untuk mobil ini. Pun Steve menempatkan mobilnya pada slot lahan parkir yang terakhir. Sedangkan disebelahnya, Lena justru sedang mengamati ke arah luar mobil. Dia banyak bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Namun, Steve langsung menyadarkan dirinya untuk segera keluar dari mobil.

Karena Lena sendiri terkejut mendengar suruhan Steve, dia pun turut keluar dari mobil dan menghampiri laki-laki itu yang sudah berada didepan mobilnya. Dengan wajah penuh kebingungan dan masih melihat sekeliling tempat wisata itu Lena menoleh pada presensi di sebelahnya.

"Hanya ini tempat yang terlintas di kepalaku," kata Steve.

Laki-laki itu menarik pergelangan tangan Lena dan membawanya menuju loket guna membeli dua tiket masuk. Di belakang tubuh Steve, Lena masih melihat sekeliling tempat wisata ini. Sampai akhirnya ia disenggol oleh Steve yang memberikan tiket untuknya. Keduanya berjalan memasuki pintu masuk yang sangat penuh akan pengunjung. Saking penuhnya, tanpa sadar Lena mengaitkan tangannya pada lengan Steve, agar ia tidak terpisah dengan laki-laki itu.

Steve juga berusaha mencari celah untuk mereka bergerak. Karena jika tidak begitu, yang ada mereka akan terjebak di sini dalam waktu yang lama. Astaga, hari ini belum akhir pekan, tapi tempat wisata ini juga penuh pengunjung. Tapi memang lebih baik seperti ini, akan lebih membingungkan untuk Lena jika melihat tempat wisata yang sepi.

Mereka berdua sudah berhasil melewati kerumunan orang, dan kedua mata langsung disuguhkan terowongan yang berisikan penuh dengan bunga. Ada banyak macam jenis bunga di sana, dan semua warna benar-benar dapat menyegarkan mata mereka. Lena tak henti mengamati semua bunga yang menempel di sana. Tempat wisata ini menggunakan bunga asli dan nampak setiap bunganya sangat segar. Dia segera mengeluarkan ponselnya untuk menangkap pemandangan indah ini.

Steve berjalan di belakang Lena dengan kedua tangan yang ia letakkan di belakang, mengikuti kemana kaki Lena berpijak. Mendadak ia teringat tentang satu tempat di sini yang ia rasa akan menarik perhatian Lena. Tanpa mengeluarkan suaranya, Steve mendorong kedua pundak Lena dan mengarahkan gadis itu pada tempat yang ia pikirkan barusan. Sampai akhirnya mereka tiba, Steve melihat Lena menaikkan kedua alisnya bersamaan.

"Pijaklah," titahnya.

Lena tak berkutik sama sekali, ia hanya bisa memandang lantai kaca yang bening. Dimana semua orang bisa menyaksikan pemandangan di bawah kaca itu. Lena tidak mengatakan jika ia takut dengan ketinggian, bahkan ia berani menaiki flying fox yang tinggi. Hanya saja, ia tidak bisa dengan ketinggian yang melebihi batas keberaniannya.

"Menyerah saja. Kau tidak keren," remeh Steve dengan kekehannya.

"Aku hanya takut, bukan pengecut," balas Lena.

Steve makin tergelak mendengar penuturan Lena yang seperti itu. Dirinya berani melawan rasa takut yang sudah membuat sepuluh jari tangannya terasa dingin. Lena menarik nafasnya panjang dan segera melangkahkan kaki kanannya. Rasanya cukup mengerikan saat melihat ada banyak orang yang berada di bawahnya. Kakinya mulai terasa lemas dan sedikit gemetaran. Seketika kedua matanya tertutup dan meyakinkan jika ia bisa menginjak kaca ini.

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Lena membuka kedua matanya dengan wajah yang yakin. Kedua kakinya sudah berjalan di atas kaca itu, namun tak lebih dari tiga meter dirinya sudah tidak bisa bergerak. Mendadak tubuh Lena melorot hingga tangannya menyentuh lantai kaca itu. Buru-buru Steve langsung menghampiri Lena.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Steve dengan nada khawatir.

Lena masih terdiam dengan kepala tertunduk dan bola mata yang terpejam. Ia merasa saat lengan atasnya terasa hangat saat disentuh oleh Steve. Barulah Lena memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan kembali berdiri. Lena sama sekali tidak berani melihat ke bawah, kakinya juga semakin gemetaran. Beruntung Steve masih memegangi tubuhnya.

"Kau yakin ingin melanjutkannya? Wajahmu sudah terlalu pucat," kata Steve.

Tak ada balasan dari Lena, dirinya masih berambisi untuk bisa berdiri diatas kaca ini. Mencoba abai dengan ketinggiannya agar bisa memberikan bukti jika dia bukanlah seorang penakut.

Mau bagaimana lagi, Steve tetap memegang kedua bahu Lena yang mendadak semakin terasa gemetar. Entahlah, semakin ke sini ia malah merasa tidak tega, padahal tadi hanyalah candaannya saja. Semisal Lena tak bisa melakukannya pun, Steve juga tidak akan meminta sesuatu dari gadis itu. Sampai-sampai laki-laki itu menghela nafas panjang, lantaran menyadari betapa batunya gadis bernama Lena ini.

"Aku tidak akan menanggung akibatnya jika kau pingsan," peringat Steve.

Tidak, detik setelahnya Lena tidak pingsan, hanya saja tubuhnya benar-benar sudah membeku disaat mereka berdua berada di tengah-tengah kaca. Memang banyak orang yang juga takut dengan tempat ini, namun tidak separah Lena yang sampai tidak bisa bergerak. Apalagi mereka sedang berada di tengah keramaian.

Karena Steve juga tak ingin menahan malu lebih lama lagi, akhirnya laki-laki itu sedikit menambah kekuatannya untuk membawa Lena pergi dari tempat itu. Dia membawa Lena menuju kedai makanan, supaya Steve juga mudah membeli minuman untuk gadis itu. Niat awal membolos kuliah itu agar bisa bersenang-senang, justru Steve dibuat susah begini oleh Lena.

Terdengar suara tutup botol yang terbuka, botol berisikan air mineral itu langsung disodorkan pada Lena yang terlihat masih belum sadar sepenuhnya. Sembari duduk, Steve memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana, memperhatikan Lena yang sangat lambat hanya untuk mengambil botol minuman itu.

"Lain kali, kau tidak usah berlagak keren," tutur Steve.

Wajah Lena sendiri sudah seperti seseorang yang kehilangan setengah nyawanya. Tidak ingin berbohong, Steve itu antara kasihan dan juga ingin tertawa, namun ia memilih untuk tidak menunjukkan rasa ingin tertawanya.

"Lain kali, kau juga tidak perlu mengajakku ke tempat seperti itu lagi. Ini karena kau," timpal Lena.

Tangan kanan Steve keluar dari sakunya, menggenggam kunci mobil dan ia ketukkan ke atas meja beberapa kali. "Kau sendiri yang batu dan tetap ingin berjalan ke jembatan kaca itu. Bahkan, aku tidak memaksamu sama sekali,"

Terjadi keributan kecil diantara mereka berdua. Baik Steve maupun Lena, keduanya sama-sama merasa tidak bersalah. Mereka langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan secara tiba-tiba, Lena memegang perutnya seraya mengigit bibir bawahnya. Kedua netranya perlahan tergerak melirik Steve yang masih memalingkan wajah. Saat ini Lena lapar, karena sejak tadi pagi perutnya belum dimasukkan makanan sama sekali.

"Intinya, ini semua salahmu," celetuk Lena.

"Iya, memang semua salahku. Laki-laki tidak pernah benar dimata wanita," cebiknya.

Lena bangkit dari kursinya hingga menimbulkan bunyi decitan. Membuat Steve menoleh dan mempertahankan Lena yang melipat kedua tangannya didepan dada.

"Kau harus membayarnya dengan menraktirku," kata Lena.

"Apa-apaan kau ini?!" kejutnya dengan kedua alis yang bertautan. "Kau yang memiliki hutang padaku saja belum dibayar, dan sekarang kau malah meminta dibelikan makan," protesnya.

"Beberapa menit lalu, aku hampir saja mati karenamu. Jika aku sungguh mati, maka aku tidak bisa membayar hutangku pada kalian berdua," balasnya dan langsung meninggalkan Steve menuju mobil laki-laki itu.