webnovel

Relax Time

Lihatlah bagaimana canggungnya seorang pegawai terhadap atasannya. Bukan karena jabatan mereka yang berbeda, melainkan karena kejadian yang terjadi beberapa jam lalu. Lena hanya mampu menundukkan kepalanya, kendati ini bukan sesuatu yang dia inginkan. Toh, tidak ada yang mengerti jika Jay akan bertemu dengan Hana di dalam kereta. Sesekali ia melihat ke arah Jay yang menatap kosong panasnya jalanan di depan mata mereka.

Lena meneguk ludahnya kesusahan, beberapa kali tarikan nafasnya juga tak membuat keberanian menghampiri guna mengubah suasana canggung ini. Pun ia melihat ke arah sekiling demi mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pencair suasana tegang ini. Bergulir mengamati setiap bangunan, Lena menangkap satu yang menarik perhatiannya. Jujur saja, sebenarnya Lena tengah memikirkan perutnya yang mendadak berbunyi. Lantas ia bangkit dari duduknya hingga menimbulkan sedikit suara gaduh, membuat Jay menatap ke arahnya.

"Pak, saya ingin ke sana sebentar," ucap gadis itu menunjuk pada mesin makanan ringan yang terletak beberapa meter dari tempat keduanya.

Dari jari telunjuk Lena, laki-laki itu turut menoleh ke arah tujuan Lena. Kembali menoleh ke arah gadis itu sebelum berkata, "Aku akan ikut," suaranya nampak lirih namun dapat didengar oleh Lena.

Belum saja kalimat itu Lena timpal, Jay lebih dulu bangkit dan berjalan meninggalkan Lena. Gadis itu masih terpaku dengan mata yang mengerjap beberapa kali. Sampai akhirnya ia membuntuti langkah Jay yang beberapa meter di depannya. Padahal, tadi dia yang menginginkan ke sana, dan saat ini justru atasannya yang berada di depannya, bahkan lebih dulu sampai pada mesin makanan ringan.

Ada banyak jenis makanan yang terpajang di sana. Satu persatu Lena perhatikan semua makanan itu, namun yang paling penting untuknya adalah harga. Dia tak ingin membeli makanan yang melampaui harga pasaran. Karena terkadang harga di mesin seperti ini bisa saja lebih mahal dari yang dijual pasaran.

Sampai pada akhirnya manik itu berhenti pada salah satu makanan ringan yang manis, namun melihat harganya bisa mendapat beberapa porsi nasi, Lena membatalkan niatannya untuk membeli itu. Dengan jalan pintas, ia melihat pepero rasa coklat, harganya masih bisa ia maklumi. Hanya saja, saat tangannya akan memasukkan uang, ia teringat jika hanya sekotak pepero saja mampu mengingatkan Jay pada wanita tadi. Gadis itu membatalkan pilihannya guna menekan angka yang menjadi tempat pepero berada. Melihat sekilas wajah sang atasan dengan sedikit ketakutan.

"Kenapa menatapku?" tanya Jay, ia menyadari jika Lena sebenarnya merasa tidak enak andai mengambil pepero. "Jika kau menginginkannya, ambil saja. Kau bukan Hana," katanya lagi.

"Tidak usah, pak. Saya akan mengambil yang lainnya," kata Lena yang akhirnya hanya membeli sebotol air mineral.

Gadis itu menghalau, mencari bangku yang bisa mereka duduki. Membuka tutup botol dengan memandang ke lain arah, menghindari tatapan Jay yang menukik. Walau tak menatapnya langsung, dari ekor matanya Lena melihat Jay yang masih setia berdiri di depan mesin itu. Entah apa yang dilakukannya, Lena memilih untuk tidak mencari tahu. Sampai pada akhirnya, ia melihat ada sekotak pepero yang tadi dia inginkan berada tepat di depan kedua netranya. Lena mendongak dengan tatapan penuh tanya.

"Kau menginginkannya, 'kan?"

Lena menerima pemberian atasannya itu, mengikuti pergerakan Jay yang duduk di sebelahnya. Sebelah tangannya membawa sekaleng soda. Terdengar suara desisan saat Jay menarik kunci pembuka kaleng sodanya. Gadis itu hanya menatap kosong pergerakan sang atasan.

"Terimakasih,"

Tepat setelahnya, tak ada obrolan apapun diantara mereka berdua, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Namun, satu hal yang Lena masih bingung hingga saat ini, Jay memberikan makanan ringan ini padanya tanpa alasan. Bukan Lena ingin percaya diri, pasalnya karena pepero, Jay pernah terlihat seperti orang yang kelewatan.

Kendati begitu, Lena tetap membuka makanan ringan yang diberikan oleh Jay barusan. Posisi Lena saat ini sedikit menyerong, menghindari pandangan Jay agar tidak melihat apa yang ia makan. Gerakannya saja sangat lambat, berharap tidak menimbulkan suara apapun. Hanya saja, Jay malah memunculkan wajahnya di sisi kiri tubuh gadis itu. Menatap manik dan pepero itu secara bergantian.

"Apa aku terlihat seperti anak kecil yang akan mencuri makananmu?" tanya Jay.

"B-bukan begitu maksudnya,"

Ah, Lena jadi kebingungan sendiri ketika dihadapkan dengan atasannya. Ya ampun, rasanya menyesal membawa Jay ke tempat ini. Sebelumnya, ia hanya berpikir untuk mengajak laki-laki itu untuk menaiki kereta, namun malah berarkhir di tempat ini. Semakin terlihat bodoh ketika Lena malah menawarkan pepero itu pada sang atasan. Jelas Jay mengabaikannya, enggan mengambil makanan manis itu.

"Kau habiskan saja," tutur Jay yang mengalihkan pandangan ke lain arah.

-

-

-

Mentari hampir meninggalkan langit, pun sinarnya perlahan turut menghilang. Kedua orang itu menghabiskan waktu mereka di pinggir pantai. Menatap ombak kecil yang benerang ke tepian. Suara ombak dan hembusan angin menjadi musik latar sore ini. Entah bagaimana, Jay sendiri yang meminta mereka berdua datang ke pantai ini.

Dibawah orennya senja, Jay melipat kedua kakinya dan menggunakan kedua tangannya sebagai tumpuan punggungnya. Banyak para wisatawan yang datang untuk menikmati tempat ini kala menjelang malam. Lena tersadar jika dirinya dan Jay sudah pergi terlalu lama dari kafe, pun ingin bertanya saja Lena memilih untuk tidak melakukannya. Hanya tak ingin mengubah suasana hati Jay secara tiba-tiba.

Ponsel Jay berbunyi disela-sela waktu santai mereka. Membuat laki-laki itu membuyarkan pandangannya dari air. Mengambil ponsel yang diletakkan di atas pahanya. Rupanya yang menghubunginya saat ini adalah Steve. Lantas dia menjawab panggilan itu setelah menghembuskan nafas panjangnya.

"Baiklah, aku akan kembali," ucapnya saat mengakhiri panggilan mereka. Sangat singkat perbicangan yang terjadi di sana, lantaran Jay dan Lena harus segera kembali pada kafe yang terlalu lama ditinggal oleh pengelolanya.

Ada kelegaan yang Lena rasakan, pasalnya sejak tadi ia juga mengharapkan hal ini. Berlama-lama dengan atasannya di luar kafe, bisa memicu menimbulkan rumor yang tak mengenakan—walaupun mereka pergi sudah memakan banyak waktu. Lena bangkit dan membersihkan sisa-sisa pasir pada celana, berjalan mengikuti Jay dari belakang. Gadis itu melihat, beberapa kali Jay menoleh belakang ke arah dirinya. Sampai jarak beberapa meter setelah keluar dari area pantai, laki-laki itu secara mendadak menghentikan langkahnya—kali ini Jay memutar tubuh tiga ratus enam puluh derajat—menghadap Lena yang juga terlonjak.

"Bagaimana caranya kita pulang?" tanya laki-laki itu.

Lena pikir ada sesuatu yang salah dari dirinya, pun gadis itu dengan terpaksa tertawa kecil untuk menghilangkan rasa canggung. "Kalau begitu, biar saya pesankan taksi," kata Lena yang langsung membuka ponsel.