webnovel

Iri

Langkah malam hari membuat ketenangan tersendiri bagi Lena. Gadis itu suka dengan situasi yang tenang dan temaram begini, rasanya seperti ia bisa mengenali dirinya sendiri dan mengisi daya tubuhnya. Tangannya berada tepat di depan tubuh, membawa tiga buku tebal yang ia pinjam dari perpustakaan kota. Tidak, Lena tidak dari sana, dia baru saja pulang dari tempat bekerjanya. Dia meminjam semua ini sebelum datang ke kafe.

Tungkainya baru menginjakkan kaki pada halaman kost, namun suara melengking memasuki telinganya. Membuat Lena menoleh pada pemiliknya suara itu. Wajah yang sangat tak asing, namun dengan air muka yang berbeda tertangkap retinanya. Suara itu berasal dari Rana yang tengah berkacak pinggang di depannya. Tak ada raut tertarik untuk meladeni, Lena yang salah satu tangannya masih memegang gerbang segera menutupnya. Menghalau pergi ke arah pintu utama kost itu.

Baru beberapa meter langkahnya terhenti setelah nendengar suara gerbang yang terbuka paksa. Siapa lagi pelakunya jika bukan sepupunya sendiri? Lena hanya terdiam di tempatnya tanpa memutar tubuh. Merasakan pundaknya yang ditarik paksa Rana.

"Tidak bisakah kau mendengarkan aku cerita? Kau tahu, aku tidak memiliki teman,"

Lena hanya melirik sekilas. Rasa iba muncul ketika melihat perubahan air muka Rana yang dengan sengaja membuat lengkungan bibirnya ke atas—memelas. Dengan helaan nafas panjang, Lena menurunkan ego-nya untuk menjadi teman cerita, seperti yang diinginkan sepupunya.

Membawa masuk Rana pada kamarnya, dan membiarkan gadis itu untuk menyiapkan diri. Lena tetap memasang rungu, kendati ia banyak bergerak guna meletakkan semua barang yang dibawanya. Sampai pada akhirnya sepupunya itu mulai bersuara, membuat Lena menghentikan kegiatannya.

"Steve menyukaimu?"

Kalimat pertama Rana seketika menohok ke ulu hatinya. Tujuannya Lena membiarkan sang sepupu memasuki kamarnya ini, karena dia siap sebagai teman cerita, bukan sebagai orang yang siap menerima tuduhan.

"Tidak. Kau jangan salah paham dengan kebaikan yang dia lakukan untukku," Lena masih sibuk untuk menata ruangannya. "Dibandingkan dengan Jay, Steve memang memiliki sifat lebih baik. Sama sepertimu dan ibumu. Kau jauh lebih baik," pungkasnya.

"Lalu, kenapa dia tak tertarik padaku?"

Selesai merapikan ruangan, Lena turut membawa diri duduk berhadapan dengan Rana. Dengan wajah kelewat tenang, maniknya tersorot lembut melihat wajah sedih sepupunya itu. Bahasa cintanya bukanlah sebuah sentuhan, jadi jangan mengharapkan jika Lena akan membawa telapak tangannya untuk mengenggem tempurung tangan Rana.

Dia menggunakan kedua tangan untuk menyangga tubuhnya. "Mungkin, kau hanya perlu merubah sikap. Sedikitlah jual mahal, dan jangan terlalu menampakkan diri jika kau tengah mendekatinya,"

Gadis di depannya nampak tengah menautkan alisnya, rasanya asing sekali dengan Lena yang mampu memberikan nasihat seperti ini. Seperti dia sudah berpengalaman saja—begitu pikir Rana.

Rana menjatuhkan dirinya di atas kasur Lena, merentangkan kedua tangannya menatap langit-langit kamar. Tak ada yang berubah dari raut wajahnya. Pun secara mendadak, gadis itu malah mengeluarkan suara rengekan, yang mana membuat Lena kesal mendengarnya. Dia sudah lelah lantaran baru pulang dan langsung disuguhi oleh sepupunya yang satu ini. Menahan kekesalannya, dia menutup telinga dan membelakangi Rana.

Rasanya kepala Lena ingin pecah, rengekan itu tak kunjung reda. Lena tahu Rana ini tengah patah hati karena Steve yang tidak tertarik dengannya, namun jika ingin melakukan hal seperti malam ini, Rana bisa melakukannya disiang hari di tempat terbuka. Sekalipun berteriak kencang, Lena tak akan menegurnya. Tapi, ini sudah malam dan berada di dalam kost. Penghuni di tempat ini tidak hanya Lena. Jangan mentang-mentang kost ini milik ibunya Rana, gadis itu bisa seenaknya saja.

"Rana! Tolong jangan merengek. Ini sudah malam,"

Sedetik kemudian, rengekan Rana memang berhenti. Hanya saja tangannya mulai bergerak melempar bantal dari kasur Lena. Sampai akhirnya Lena harus menahan emosi kembali melihat sepupunya yang seperti ini. Gadis itu menggenggam erat pergelangan tangan Rana, menatap lekat presensi di depannya. Hanya beberapa detik sebelum ia akhirnya melepaskan genggaman itu.

Aneh sekali pandangan mereka bersirobok, darahnya berdesir jika kembali mengingatnya. Lena bangkit guna mengambil semua bantal yang telah dilempar oleh sepupunya itu. Mengembalikannya pada tempat semula, memilih untuk duduk dengan jarak beberapa meter dari Rana.

"Kau tidak usah menemuinya dulu, biarkan Steve kehilangan sosokmu," saran Lena.

"Tapi, aku yang tidak bisa kehilangan sosoknya,"

Terdengar suara decakan dari Lena, sepupunya ini seperti sudah cinta mati pada Steve. "Bertahanlah. Biar aku pengaruhi dia agar merindukanmu,"

Rana nampak terdiam, menimang ucapan yang keluar dari mulut Lena. Mencoba menelisik lebih jauh dibalik retina Lena.

"Aku tidak jamin. Tapi, akan aku coba,"

-

-

-

Terdengar suara langkah mendekati pintu, buru-buru Mina bergerak menjauh dari pintu kamar Lena. Iya, gadis itu baru saja menguping rengekan serta pembicaraan diantara Lena dan Rana. Dirinya duduk pada sofa yang berada di ruang tengah, menatap layar laptop yang menyala—menganggap seolah tak terjadi apa-apa.

Saat deritan pintu terdengar, menampilkan dua gadis remaja yang akan mengakhiri pembicaraan mereka. Pun Mina sempat menoleh ke arah keduanya, lebih tepatnya ke arah Rana. Maniknya juga begerak mengikuti langkah Rana keluar dari kost ini. Membuat Lena menyadari akan hal itu.

"Kenapa melihat Rana seperti itu?" tanya Lena mendadak.

Mina terjingkrak, lantas tertawa kaku seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran, tumben sekali kalian akur?"

"Semua orang juga bisa berubah dalam waktu semalam," tandas Lena sebelum memutar tubuhnya ke dalam kamar.

Di tempatnya Mina menegaskan rahangnya, sedikit menimbulkan bunyi gemertak lantaran jawaban Lena yang terkesan remeh. Perlahan kedua alisnya bertaut, dengan telapak tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dadanya mendadak terasa panas, namun sebisa mungkin ia menahannya untuk tidak menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada Lena dan Rana.

Di dalam kamar Lena, gadis itu sempat meletakkan diri di atas kasur sebelum berniat untuk membersihkan diri. Terkadang Lena cukup merasa kasihan pada Rana yang hidupnya tidak bisa sesuai dengan keinginannya, semua selalu diatur oleh ibunya sendiri. Bahkan, karena hal itu membuat Rana menjadi seseorang yang sulit untuk bergaul.

Sejak berada di sekolah dasar, Rana cukup disegani oleh temannya, sayangnya sang ibu yang terlalu protektif, membuat teman-teman Rana menjauh. Dan itu berlanjut hingga dia lulus SMA. Setidaknya, Lena merasa sedikit beruntung jika ia bisa kuliah dengan kemauannya sendiri. Hal itu tidak didapatkan oleh Rana. Ia menginginkan kuliah, namun ibunya berkata jika kuliah itu tak akan ada gunanya untuk seorang wanita. Semua wanita akan berakhir dengan pekerjaan rumah tangga.

"Semoga kau bisa mendapatkan apa yang kau mau, Ran," Lena memanjatkan harapan untuk sepupunya itu—kendati mereka tak pernah dekat sebelumnya.