webnovel

Daydream

Masih belum terlepas dari kepala Lena, dan saat ini hanya menatap kosong tanaman yang berjarak beberapa meter dari tempat ia duduk saat ini. Lena seorang diri, menunggu Doni yang tiba-tiba pergi tanpa mengatakan alasannya. Ponsel juga sedang tidak menjadi pusat perhatiannya disaat sendiri, hiburan didalam ponsel tak cukup untuk menghiburnya. Dia menopang dagu dengan salah satu tangannya, dan tangan lainnya yang memainkan gulungan kertas kecil—entah milik siapa. Bahkan, suara bising disekitarnya pun ia abaikan begitu saja, seolah tak mengganggunya sama sekali.

Doni baru saja menyenggol lengan Lena menggunakan sikunya. Laki-laki itu memberikan minum pada Lena, ia berkata jika Lena sejak tadi banyak melamun. Karena itu Doni membelikan air mineral untuk temannya. Saat sengaja menyenggol, Lena masih bersikap seperti tadi, dan hanya melirik sekilas sembari menerima minuman yang ia berikan. Doni duduk disebelah gadis itu dan memperhatikannya saat membuka tutup botol hingga meneguk setengahnya.

"Sudah kuduga kau memang haus," ucap Doni yang menyusul meminum minumannya. "Kau tidak perlu memikirkan ucapanku tadi," lanjutnya.

Mengingat saat mereka berdua sedang perjalanan menuju kampus, dimana saat Doni mengatakan jika ia merindukan Lena, temannya itu seketika menjadi terdiam. Ia rasa, karena ucapannya itu yang membuat Lena enggan berbicara. Ini pertama kalinya ia mengatakan hal yang jujur seperti tadi. Biasanya, Doni hanya berani menahannya dan berakhir tidak dikatakan pada Lena.

"Ucapan apa? Aku tidak mendengar kau mengatakan apapun," timpal Lena dengan suara lesunya.

Kontan Doni mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. Ia sedikit kebingungan jika Lena tidak mendengar ucapannya tadi. Dari pandangannya pun, Lena terlihat tidak berbohong. Entahlah, Doni masih belum tahu, apa dia harus kecewa atau senang. Lantas Doni hanya tersenyum getir dan kembali meneguk minumannya. Ya, dia tak akan mengulang kalimatnya didepan Lena.

Baru beberapa menit mereka terdiam, secara mendadak Lena bangkit dari duduknya dan berkata pada Doni jika ia akan pergi menuju perpustakaan. Tadinya, temannya itu ingin ikut kemana Lena pergi, hanya saja Lena menahannya agar Doni tidak perlu ikut bersamanya. Itu karena Lena tidak tahu, apa dia bisa mengikuti kuliah hari ini atau tidak. Suasana hatinya sedang tidak bisa mendukungnya untuk mengikuti kuliah.

Akhirnya, gadis itu pergi seorang diri, dengan tangan kanan yang membawa minuman pemberian Doni. Cara berjalannya itu juga sangat lambat, seperti seseorang yang kehilangan arah hidupnya. Doni hanya bisa memperhatikan punggung Lena dari kejauhan.

-

-

-

Langkah yang sejak tadi Lena lakukan bukan mengarah pada perpustakaan, justru ia berjalan ke arah gedung lain, yang entah Lena sendiri juga tidak tahu alasannya dia datang ke gedung ini. Tidak ada seorangpun yang ia kenal di sana, hanya berjalan tanpa tujuan.

Saat ini, ia bersandar pada salah satu dinding belakang dari gedung itu. Pemandangan yang ia lihat pun hanya jalanan yang dilalui oleh kendaraan milik mahasiswa maupun mahasiswi. Lena membuang nafasnya kasar, membenturkan pelan kepalanya ke arah belakang. Kedua telapak tangannya terkepal dan memukul pahanya. Dia sedang tidak merasa pegal, pikirannya saja yang sedang kacau. Semakin lama, posisinya melorot ke tanah, ia terduduk sembari melipat kedua lututnya. Pun kepalanya ia letakkan diatas lutut.

Beberapa saat terdiam, dia merasakan seseorang menyentuh lengannya, sontak saja Lena mengangkat wajahnya guna melihat orang tersebut. Keduanya sama-sama terdiam saat mereka saling bertukar pandang. Gadis itu mengikuti pergerakan presensi didepannya yang berjongkok dengan tangan kanan memegang bahu kirinya.

"Kau menangis?" tanya Steve.

Lena mengalihkan pandangannya, ia buru-buru menghapus sisa air matanya yang masih membasahi mata serta kedua pipinya. Dibantu Steve untuk berdiri, dirinya menyingkirkan tangan laki-laki itu dari bahunya. "Tidak," alibinya.

Steve justru berkacak pinggang, kedua alisnya tertekuk bersamaan. Ia menatap Lena dengan tatapan yang sedikit tajam. Padahal sangat kentara dengan hanya melihat sisa air mata dan kedua mata yang sembab. Steve melihat ke sekitar mereka, tak ada siapa-siapa di tempat ini, ia kembali menatap Lena tanpa berbicara apapun. Sampai akhirnya, Steve menarik tangan gadis itu menuju dalam mobilnya.

Di dalam sana, Lena dan Steve masih saling berdiam diri. Lebih tepatnya, Steve yang menunggu Lena untuk berbicara. Sejak tadi, Lena belum menceritakan penyebabnya menangis di belakang gedung seorang diri. Sesekali diliriknya gadis itu belum memperlihatkan adanya niatan untuk membuka suara, yang dimana membuat Steve juga semakin penasaran.

"Katakan saja. Aku tak akan menyebarkan ceritamu," ucap Steve.

Dengan gerakan yang lambat Lena menoleh ke arah Steve yang menggunakan kedua tangannya untuk menyandarkan kepala. "Hey," panggilnya yang membuat Steve juga menoleh ke arahnya. "Apa kafe Jay membuat daftar nama setiap pengunjungnya?" tanyanya.

Tangan yang tadinya berada dibelakang kepala, kini telah turun memegang setir. Kedua bola matanya bergerak acak sembari mencoba untuk mengingat. Tak lama, ia menggeleng kecil saat menatap Lena lagi. "Entahlah, aku tidak yakin. Mungkin di beberapa acara tertentu," jawabnya tidak yakin. "Memangnya ada apa kau menanyakan itu?"

"Tidak, aku hanya ingin mempelajari apa yang belum aku ketahui," Lena mengelak.

"Kalau begitu, kenapa tak kau tanya langsung saja pada Jay? Aku ini hanya temannya yang tidak mengerti soal kafenya,"

Gadis itu menelan salivanya, sedang mempersiapkan kalimat yang akan ia gunakan untuk menimpali ucapan Steve barusan. "Karena kau adalah temannya yang bisa aku tanyakan,"

Steve tidak bisa membalas kalimat Lena, namun selang beberapa menit ia terdiam, sebuah ide muncul begitu saja di kepalanya. Senyumannya langsung merekah diwajahnya. Dirinya langsung menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobilnya.

"Aku yakin kau pasti akan bolos kuliah," mobilnya baru saja keluar kampus. "Kalau begitu, kita bolos bersama," tambahnya.

Lena sendiri hanya terdiam, ia rasa pilihannya ini benar untuk ikut bersama dengan Steve. Lagipula, ini adalah kali pertama untuknya membolos jam kuliah. Anggap saja hari ini sebagai hari kesenangan untuknya. Sudah lama ia tidak menikmati waktu bersenang-senang, ia hanya bertemu waktu untuk kuliah dan bekerja.

"Memangnya kita akan kemana?" tanya Lena.

Steve hanya bergumam tidak jelas, ia sendiri juga belum menemukan tempat tujuan yang akan mereka datangi. Hanya ide membolos saja yang terlintas di kepalanya. Ia yakin, selama perjalanan pun pasti akan menemukan tempat yang bagus untuk mereka kunjungi di jam ini. Banyak tempat yang cocok, hanya belum terpikirkan saja oleh Steve ataupun Lena.

"Kau tidak akan membawaku ke hotel, 'kan?" tanya Lena merasa was-was.

Langsung saja Steve menaikkan kedua alisnya bersamaan, sebuah senyuman miring yang ia tampilkan membuat Lena merinding melihatnya.

"Haruskah aku melakukannya?" Steve memberikan tatapan nakalnya.

"Hey! Awas saja kalau berani!"