webnovel

Better Than Before

Hanya percakapan singkat yang mereka lakukan, Lena harus kembali berada pada pekerjaannya. Menggeret ember dan alat pel itu menjaih dari sang kakak serta keponakannya. Berjalan mundur seraya melambaikan tangan pada makhluk mungil di sana. Memasuki kamar mandi dan mencuci semua peralatan itu, ia bertemu dengan Steve yang secara mendadak berada di dekat sana—terlihat baru keluar dari kamar mandi—berdiri dengan menyandarkan salah satu pundaknya pada kusen pintu, serta kedua tangan yang terlipat di depan dadanya.

"Hubungan hangat antara adik dan kakak," cetusnya santai.

Sembari mengeringkan tangannya yang basah, Lena memutar tubuh menghadap laki-laki itu. "Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Karena itu aku senang hubunganku dengan dia bisa kembali membaik," jelas Lena.

Laki-laki itu menegakkan tubuhnya cergas, mendengar sedikit penjelasan itu membuat Steve agak merasa bersalah, pasalnya dia memang tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Hanya saja, yang ia tahu tentang kakak Lena, dia adalah pelanggan yang paling sering sarang ke kafe ini. "Kakakmu memang sering datang ke sini," ungkap Steve.

Senyuman yang tersemat begitu saja, merasa terkejut pun senang. Memang sejak awal tempat ini adalah petunjuk untuk bertemunya Lena dengan sang kakak. Lena merasa bersyukur saat ia membatalkan niatan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya ini, karena bisa jadi dia akan sering bertemu dengan presensi kakaknya. Dirinya menghampiri Steve yang masih berdiri di ambang pintu dengan wajah bunga. Hanya menatap beberapa detik sebelum akhirnya dia meninggalkan laki-laki itu.

Tepat setelah Lena meninggalkan Steve, laki-laki itu melepas nafasnya begitu saja. Dadanya cukup sesak saat menahan beberapa detik, lantaran tatapan dan senyuman Lena yang mendadak membuatnya tercekat begitu. Hingga ia tersadar, pribadinya menyugar rambut dan membasahi labiumnya bersamaan meninggalkan kamar mandi khusus pegawai itu. Berjalan beberapa meter di belakang Lena dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Entah kenapa, salah satu sudut bibirnya tertarik begitu saja ketika Lena mengikat ulang ikat rambutnya yang hampir terlepas.

Pandangan laki-laki itu sama sekali tidak terputus sampai Lena memasuki ruangan. Tak sampai tiga detik, jantung Steve kembali bertalu setelah mendapati entitas Jay di hadapannya yang memasang tatapan datar namun mematikan. "Ada apa?" tanya Steve bersamaan mengeluarkan tangan dari saku.

"Aku titip kafe," ucapnya singkat dan langsung menghalau pergi tanpa memberikan penjelasan apapun.

Ditelan kebingungan, Steve justru merutuk temannya itu. "Sialan, kafe miliknya dan aku yang harus menjaganya," kesal Steve dan langsung memasuki ruangan milik Jay dengan perasaan dongkol.

Di tempat lain, Lena yang tengah membersihkan meja yang baru saja ditinggali, mendadak dihentikan oleh pegawai lain. Kedua tangannya menjauh dari semua piring kotor, mendengarkan perintah apa yang akan ia terima sore ini. Namun, melihat pegawai itu yang mengambil alih pekerjaannya, Lena kebingungan. Mencoba untuk mengamati sekitar, tak ada atasannya yang mengawasi.

"Masuklah ke ruangan Pak Jay, dan berikan laporan jika ada orang yang akan menyewa tempat ini beberapa hari," titah pegawai itu.

Jujur, Lena agak bingung, karena itu adalah tugas Dita seperti biasanya. Daksanya masih berada di tempat, memasang wajah penuh keheranan. Berusaha mengarahkan pandangannya pada wajah orang yang memberikan tugas padanya. Gadis itu membutuhkan sedikit penjelasan lagi.

"Dita tidak ada. Lagipula, kau ini memiliki tempat yang sama dengan dia. Lakukan saja,"

Pun Lena mengangguk patuh, membawa pergi daksanya menuju ruangan sang atasan. Seperti biasanya, dari luar ruangan ini selalu tampak sunyi. Memang karena Jay saja yang benci kebisingan—selain suara yang diciptakan dari pelanggan—kendati begitu, Jay bisa membuat ketenangan pada pekerjaan yang dijalani.

Mengetuk singkat sebelum Lena membuka pintu itu. Alisnya seketika berkerut, melihat presensi lain yang tengah berbaring sembari bermain dengan ponsel pintarnya. Menoleh sekilas pada kursi kosong milik Jay, semakin dibuat kebingungan. "Kemana Pak Jay?" tanya Lena memasuki ruangan itu bersamaan menutup pintu.

Dengan sigap ia merubah posisi baringnya menjadi duduk. Terkejut saat Lena memasuki ruangan ini. "Entahlah, dia pergi begitu saja," jawab Steve dengan intonasi yang cepat.

Hanya beberapa anggukan yang Lena berikan, ia memutar tubuhnya guna kembali pada pekerjaan. Percuma atasannya saja tidak ada, dia tidak memiliki kepentingan apapun dengan Steve. Tangannya sudah memegang kenop pintu, namun belum sampai terbuka suara Steve mengudara dan merangsak ke gendang telinganya.

"Kau tidak ingin beristirahat dulu?" tanya Steve secara tiba-tiba. Lena menoleh, dan semakin membuat Steve gelagapan. "M-maksudku, kau banyak bekerja hari ini. Tidak lelah? Mumpung tidak ada Jay," jelasnya.

Kedua obsidiannya sempat mengerjap beberapa kali kala menatap Steve. Pribadinya tengah mengamati tubuhnya sendiri, serta merasakan suhu tubuhnya. Untuk hari ini, Lena sama sekali tak merasakan panas atau rasa lelah pada tubuhnya.

"Sepertinya aku tidak lelah. Mungkin karena perasaanku lebih baik dari sebelumnya,"

Steve membuka sedikit bibirnya, lantas mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya membiarkan Lena meninggalkan ruangan ini. Mendadak ia bingung ingin melakukan hal apa, dan tanpa ia sadari sejak tadi tangannya meremas ujung bantal yang ada pada sofa. Dengan cepat ia melepaskan bantal itu, menyadarkan diri dari keanehan ini.

-

-

-

"Tumben sekali dia pergi," gumam Lena.

Dirinya mengedikkan bahu, berjalan menuju kasir—tempatnya bekerja—serta mengamati keadaan kafe. Memang terlihat tidak ada gunanya, tapi hari ini Lena melakukan hal-hal yang bahkan tidak penting. Hatinya terlampau bahagia, dia berharap jika semua hari-harinya kedepan akan selalu begini.

Berdiam diri dan tak melakukan apapun, tengah Lena alami selama hampir dua puluh menit. Namun, atensinya terarah pada mobil Jay yang baru saja terparkir di tempatnya. Ah benar, memang Jay pergi sejak tadi. Lena-nya saja yang tak melihat. Dia bangkit dari duduknya, memberikan hormat pada Jay saat akan memasuki ruangannya dengan wajah yang nampak lesu. Terbesit rasa penasaran, namun ia memilih untuk tidak ikut campur dengan urusan pribadi atasannya itu. Kendati ia pernah tahu tentang urusan pribadi Jay. Bahkan, saat ia teringat akan laporan yang seharusnya diberikan pada Jay, Lena sengaja menahannya terlebih dahulu. Terlepas ia sebagai pegawai, Lena tidak tahu bagaimana suasana Jay yang baru saja tiba—entah dari mana.

Lena abai, ia kembali terdiam mengamati sekitar kafe. Selang beberapa menit, Steve keluar menghampiri meja kasir dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam ruangan Jay.

"Masuklah, aku sudah memberitahu Jay, jika kau tadi mencarinya," kata Steve.

Gadis itu mengangguk patuh, ia kembali berdiri dan berniat untuk memberikan laporan pada sang atasan. Merapikan pakaiannya sekilas, Lena melangkahkan sepasang tungkainya menuju ruangan Jay. Betapa terkejutnya dia ketika langkahnya baru saja menapak, tubuhnya terhuyung mendapati Jay memeluknya erat.

"Pak Jay?"