webnovel

Sadar Kembali

Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Samar-samar terlihat ruangan serba putih dengan bunyi entah apa yang asing baginya.

Dia mencoba mengerakkan tubuh. Namun seketika rasa sakit yang teramat sangat menghantam kepalanya tiada henti. Dewa ingin berteriak, namun tak ada satupun kata yang terucap dari bibir.

Air matanya menetes karena tak kuasa menahan nyeri yang terasa di hampir seluruh tubuh.

"Pasien sadar!"

Seorang perawat memberitahukan rekan kerjanya. Beberapa yang lain ikut menghampiri bed dimana Dewa terbaring dan merintih kesakitan.

"Panggil dokter sekarang!"

Tak lama berselang, seorang lelaki paruh baya dengan memakai jas putih masuk dengan tergesa-gesa.

"Pasien sudah sadar, Dok."

Dokter mulai memeriksa beberapa bagian tubuh Dewa dan memberikan tindakan yang diperlukan.

"Alhamdulillah. Ini semua atas karunia Tuhan," ucapnya.

Selama menangani Dewa, mereka benar-benar memantau dengan ketat. Harapan untuk bisa bertahan sangat kecil mengingat banyak kerusakan yang terjadi di tubuh lelaki itu. Juga, tingkat kematian yang cukup tinggi pada kasus yang sama.

Sepertinya, takdir memang menuntun Dewa untuk kembali kepada keluarga.

"Berikan injeksi yang sudah diresepkan sebelumnya. Tunggu reaksi pasien. Jika membaik, keluarga boleh dihubungi," titah dokter.

Perawat mematuhi dan mengambil sebotol kaca kecil yang berisi cairan kemudian menyuntikkannya melalui infus.

Dewa memberikan reaksi baik setelah obat itu masuk melalui pembuluh darahnya.

"Alhamdulillah."

"Alhamdulillah."

Seorang perawat wanita bahkan meneteskan air mata saat melihat itu. Sejak awal dia yang menangani Dewa dan sangat prihatin melihat kondisinya. Apalagi saat mengetahui istrinya sedang hamil.

Satu jam setelah diberikan tindakan, Dewa terlihat membaik. Perawat kembali menghubungi keluarga meminta agar mereka datang.

Dara yang saat itu masih berada di sekolah, meminta izin pulang dan memesan taksi karena Riri tak bisa mengantar. Dia juga tak mau jika Arya yang datang menjemput. Sepanjang perjalanan dia menghubungi ibu dan meminta bibik membawa Ciara.

Wanita itu berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit. Jika tak membawa perut, mungkin dia akan berlari karena tak sabar ingin bertemu.

Dia rindu. Dara rindu suaminya.

Sesampainya di depan ruangan, keluarga Dewa sudah berkumpul. Mereka meminta izin untuk masuk bersama karena ingin bertemu. Semua mata berkaca-kaca saat melihat sosok yang terbaring lemah itu.

Sosok yang berpostur besar namun terlihat lemah dan tak dapat berbuat apa-apa.

Dewa menatap satu persatu orang yang berdiri didekatnya. Hendak melengkungkan senyumpun rasanya sakit. Jadi dia hanya terdiam sementara tangannya digenggam erat.

"Mas," bisik Dara dengan rasa bahagia yang membuncah di dada.

Mama Dewa bahkan mengucurkan air mata sejak tadi. Rasa haru dan syukur bercampur aduk menjadi satu. Wanita paruh baya itu memeluk suaminya sambil mengusap tangis.

"Ra ...." ucap Dewa tersendat. Matanya menatap wajah sang istri dengan penuh arti.

Dara mendekap suaminya erat karena itu kata-kata pertama yang dikeluarkan oleh suaminya.

"Mas. Sehat kembali, ya. Demi anak-anak kita," bisik Dara lagi.

Dewa tak dapat berucap, namun sorot mata menandakan bahwa dia menyanggupi.

Papa, Mama dan Arya juga ikut membisikkan kata-kata yang menguatkan. Sehingga lelaki itu kembali meneteskan air mata.

"Waktu berkunjung sudah selesai, Bapak Ibu." Seorang perawat datang menghampiri.

"Apa saya tidak boleh tinggal lebih lama?" tanya Dara. Rasanya dia belum puas berada didekat sang suami.

"Besok bisa kesini lagi, Ibu. Pak Dewa saat ini belum boleh dibesuk terlalu lama."

Dengan berat hati mereka keluar dari ruangan itu. Dara bergandengan tangan dengan mama mertuanya saat keluar dari ruangan. Sementara itu Arya hanya menatapnya dari belakang.

"Mama."

Dara menoleh dan mendapati Ciara datang bersama ibunya. Bibik memilih untuk tidak ikut. Sedangkan bapaknya sejak pagi pulang ke rumah mengambil pakaian ganti.

"Cia." Dara memeluk putrinya.

"Mau lihat, Papa."

"Tadi mama cuma boleh lihat sebentar. Habis itu keluar," jelasnya

"Cia mau lihat papa," rengek anak itu.

Dara mencoba membujuk, namun Ciara tetap menangis. Akhirnya dia memilih opsi lain agar putrinya tak mengamuk di rumah sakit. Tadi mereka benar-benar melupakan anak itu dan memilih masuk duluan.

"Cia, tunggu disini. Oma bilang ke ke dalam minta izin, ya," bujuk Mama Dewa. Sayangnya itu tidak dikabukan sehingga anak itu merengek lagi.

Dara berpikir sejenak, lalu sebuah ide terlintas dipikirannya.

"Cia ikut mama ke depan, yuk. Beli roti. Mama lapar tadi pulang ngajar belum sempat makan," bujuk Dara.

"Loh, Dara. Kamu kok belum makan? Kasihan bayi," kata mama mertuanya dengan ekspresi kaget.

"Tadi pas dikabarin perawat, aku langsung izin kesini, Ma. Kelas terakhir aku titip teman. Syukurlah dia mau," jelasnya.

"Jaga kesehatan kamu sendiri. Sekalipun kondisi begini, anak di kandungan kamu juga utama." Nasihatnya lagi.

Dara sadar bahwa mungkin karena terlalu memikirkan banyak hal, dia abai terhadap diri sendiri.

"Ayo, Ma. Beli roti," ajak Ciara sambil menarik baju Dara.

"Sama nenek aja mau? Kasian mama nanti capek kalau jalan ke depan," tawar ibu Dara, tapi gadis kecil itu menolak.

Ciara menggeleng.

"Om temani, ya?" Kali ini Arya yang bersuara.

"Tapi sama mama juga," jawab Ciara.

Akhirnya mereka bertiga berjalan ke depan. Dara merasakan kakinya pegal sekali. Sejak tadi tak terasa karena terlalu bersemangat saat hendak melihat suaminya.

"Stop dulu. Kaki aku sakit," ucap Dara sambil duduk di kursi tunggu di depan salah satu ruang rawat inap.

"Kamu tunggu disini aja, Ra. Biar kakak yang temani Cia."

Arya membujuk keponakannya. Untunglah Ciara menurut. Mereka menuju kantin depan sambil bergandengan tangan.

Dara menarik napas panjang, lalu menyandarkan kepala. Matanya terpejam. Kepala berdenyut sejak tadi. Dia lelah. Sangat. Tangan mungil itu mengusap perut. Harusnya beberapa hari lalu jadwalnya periksa ke dokter kandungan. Lagi-lagi dia mengabaikanya.

"Ra?"

Mata wanita itu terbuka dan tampaklah tubuh menjulang Radit yang sedang berdiri menatapnya.

"Eh, hai!" sapanya.

"Kamu ngapain disini sendirian? Periksa?" tanya laki-laki itu keheranan.

"Besuk Mas Dewa," jawabnya jujur.

"Memang suami kamu kenapa?" Radit mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Koma."

"Loh?"

"Mas Dewa kecelakaan, Dit."

Dara menceritakannya semuanya secara detail kepada laki-laki itu. Radit terkejut karena tak menyangka ternyata Dewa sudah lama dirawat, padahal setiap hari dia berada di rumah sakit ini merawat pasien di poli.

"Sabar, Ra," ucapnya prihatin.

"Aku capek, Dit."

"Mau gimana lagi, Ra. Bukan kehendak kita juga kan jadinya begini?"

Wanita itu mengusap kedua mata yang kembali meneteskan airnya.

Radit menjadi iba. Tangan besarnya meraih kepala wanita itu dan mengusapnya singkat. Dulu, sewaktu sekolah dia juga melakukan hal yang sama jika Dara bersedih.

Dara sendiri terbawa suasana dan diam saja saat Radit melakukan hal itu. Mereka pernah dekat sebagai sahabat sehingga tidak ada rasa canggung. Wanita itu lupa dengan statusnya yang berbeda sekarang.

"Seingatku, Andara Putri itu cewek yang tegar dan kuat. Gak akan gampang menyerah," hiburnya.

Mendengar itu, Dara tertawa. Mereka melanjutkan perbincangan, hingga terdengar sebuah suara yang mengagetkan.

"Om ganteeeng!" Ciara berlari dan langsung duduk dipangkuan Radit tanpa malu-malu.

"Wah, ada Cia ternyata," kata lelaki itu senang.

"Cia beli roti. Om mau?" Anak itu menyodorkan sebungkus roti.

"Buat Cia aja. Om udah kenyang," tolak Radit halus.

Sementara itu,Arya menatap mereka dengan raut wajah masam.

"Kamu sama siapa, Ra? Kenapa gak kembali ke ICU?" tanya Arya dengan nada tak suka. Matanya menatap Radit dengan tajam.

"Eh kakak. Ini Doker Radit. Temanku," ucapnya.

Dua laki-laki itu bersalaman. Radit berpamitan karena merasa tak enak hati. Dia berjanji akan membesuk Dewa jika sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.

"Gak baik berduaan dengan lelaki lain saat suami lagi sakit, Ra. Memangnya kamu istri macam apa?" kata Arya dengan ketus dan berjalan meninggalkan mereka.

Wanita itu tersentak dan terdiam. Dia meraih tangan Ciara dan bergandengan kembali ke ruang intensive.