Dara mundur ke belakang saat Dewa semakin mendekat. Posisinya kini berada di sudut ruangan dan tak bisa bergerak ke arah mana pun. Wanita itu masih berusaha menahan emosi karena amarah yang meluap.
"Mas udah janji!" teriak Dara.
"Iya benar. Tapi apa salahnya? Kita udah halal."
Dara menggeleng. Dengan bibir gemetar dia berucap, "Kita udah sepakat. Apa Mas mau memanfaatkan aku?"
Dewa terdiam lalu tersenyum pahit. Ada nyeri yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. Mereka berdiri berhadapan dan saling menatap.
"Aku udah ngorbanin diri demi kebahagiaan Cia. Kenapa Mas menuntut sesuatu yang udah kita bicarakan sejak awal. Kalau tau jadinya begini, lebih baik gak usah!" ucap Dara lagi.
Dewa tersentak. Ucapan Dara tadi benar-benar menohok hatinya. Dia tak membalas apa pun. Wanita jika sedang marah memang lebih baik didiamkan hingga reda dengan sendirinya.
"Mulai sekarang aku pindah ke kamar Cia." Dara mengambil buku-buku yang berserakan di lantai dan memasukkan ke dalam tas dengan cepat. Dia juga memasukkan baju-baju ke dalam koper dan hendak berjalan keluar kamar saat tubuhnya ditahan.
"Maaf, Ra," ucap Dewa dengan tulus. Sepertinya dia harus menahan semua hasrat hingga nanti Dara benar-benar bisa menerima.
Dara menatap suaminya dengan geram karena merasa dipermainkan. Dewa mulai berani bersikap seenaknya. Padahal dia yang banyak berkorban untuk mereka.
"Aku mengerti kebutuhan Mas. Tapi tolong hargai aku." Dara tak dapat melanjutkan ucapan saat air mata mulai menetes.
Dewa mencoba merengkuh tubuh mungil itu untuk meminta maaf, tetapi Dara menolak. Wanita itu kembali membereskan baju dan memasukkan ke dalam koper. Tak ada jaminan dia akan tetap aman jika dia masih berada di kamar ini. Bisa saja suaminya melakukan sesuatu.
"Kamu tidur aja di kamar Ciara. Tapi ... barang-barang tetap disini."
"Nanti Mas jebak aku lagi!" tuduh Dara geram. Napasnya naik turun karena berusaha menahan diri.
"Ya Allah." Dewa mengusap wajah berulang kali lalu mengembuskan napas dengan kasar. Posisinya saat ini begitu serba salah. Lelaki itu ingin meminta hak sebagai suami, tetapi malah seperti hendak menodai istrinya.
"Nanti Cia curiga." Dara menatap wajah suaminya dengan lekat untuk mencari kebenaran dari ucapan lelaki itu.
"Tolong." Dewa memasang wajah memelas agar Dara mempercayainya.
Dara kembali meletakkan koper lalu mengambil tas, dan benar-benar meninggalkan suaminya sendirian. SEmentara itu, Dewa termenung setelah kepergian istrinya. Lelaki itu teringat akan kebahagiaan dulu bersama Laura. Jika tidak karena kecelakaan itu, mungkin mereka sudah hidup bahagia sekarang. Entah mengapa, saat ini dia merasa sedang dipermainkan oleh takdir.
***
"Pagi, Papa. Mama." Ciara duduk di meja makan dan menatap sajian dengan mata terbelalak. Ada banyak makanan enak di meja dan dia bebas memilih.
"Cia mau makan apa?" tanya Dara lembut. Sekalipun kemarin malam dia berselisih paham dengan Dewa, tetapi pagi ini wanita itu kembali bersikap biasa saja.
"Mie goreng," Ciara menunjuk satu mangkuk yang berisikan mie goreng seafood lengkap dengan sayuran.
Dewa sendiri sudah makan sejak tadi bersama Dara, tetapi saling mendiamkan satu dengan yang lain. Berulang kali lelaki itu melirik istrinya, tetapi diabaikan. Akhirnya dia memilih untuk mengalah dan melanjutkan makan dalam suasana yang canggung. Untunglah sekalipun marah, Dara tetap menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Segini cukup?" tanya Dara yang menghentikan makan dan mengambilkan bagian untuk putrinya.
"Cukup Mama." Ciara langsung membaca doa dan melahap makannya dengan senang.
"Bibik mana? Kok gak ikut makan?" tanya Dara kepada Ciara karena setelah memandikan anak itu, si Bibik tak kelihatan.
"Paling bersih-bersih halaman depan," jawab Dewa tanpa melihat istrinya.
Dara menoleh ke arah suaminya dan berkata, "Kok gitu? Harusnya Bibik makan sama-sama kita. Bukannya dari dulu dia udah ngurus Cia dari kecil?" tanya Dara keheranan.
Melihat istrinya sudah mulai melunak, Dewa mengucap syukur dalam hati. Ternyata Dara bukan tipe pendendam yang mengungkit-ungkit masalah yang sudah lewat.
"Bibik emang gitu. Nanti juga kalau lapar makan sendirian. Kamu mau Mas anter ke sekolah?" bujuk Dewa.
"Aku pinjem motor Mas aja. Motorku baru diantar besok," jawab Dara.
"Alhamdulillah." Dewa mengucap syukur karena Dara sudah tak marah lagi.
"Apa?" tanya Dara dengan mata mendelik. Wanita itu merasa aneh saat suaminya mengucap syukur karena motornya belum diantar.
"Gak apa-apa. Kalau gitu motor kamu gak usah diantar. Pake aja motor yang ada aja," kata Dewa sambil menyodorkan piring. Masakan istrinya ini benar-benar enak. Dia tak menyangka jika wanita itu pintar mengolah makanan.
Dara mengambil piring Dewa dan mengisinya kembali hingga hampir penuh. Wanita itu tak dapat berkata melihat melihat porsi makan suaminya. Lelaki itu termasuk kurus, tetapi makannya cukup banyak.
"Makasih kalau gitu, Mas."
"Di sini juga motornya jarang dipakai. Bibik kalau ke pasar naik angkot, jalan kaki ke depan," lanjutnya.
Mereka melanjutkan makan dan berbincang. Sesekali Ciara ikut menanggapi pembicaraan orang tuanya. Anak itu juga ikut bercerita mengenai kegiatannya di sekolah. Setelah selesai, Dara menyusun piring-piring di wastafel dan mencuci tangan dan mengambil tasnya.
"Aku jalan duluan ya, Mas. Katanya hari ini ada rapat abis upacara." Dara berpamitan. Seperti biasa, mencium tangan Dewa karena ada Ciara di depan mereka.
"Cia ikut Mama naik motor, boleh?" tanya anak itu yang sedari tadi diam memerhatikan orang tuanya berbicara.
"Sama Papa aja dulu, ya. Nanti Mama telat," jawab Dewa.
Ciara menekuk bibir dan kecewa. Melihat itu Dara mencoba membujuk.
"Pulangnya nanti Mama jemput. Kita bareng. Tapi Cia tungguin di sekolah sampai Mama datang. Oke?" Dara memegang pipi putrinya.
"Oke," jawab anak itu senang. Seperti biasa, mereka mengaitkan jari kelingking tanda telah sama-sama berjanji.
"Mas--" kata Dara sedikit ragu.
"Ya?"
"Kayaknya aku mau ke rumah Ibu bawa Cia. Kan udah janji kalau weekend mau main ke sana. Cuma karena pada sakit jadi batal." Dia meminta izin.
"Tapi gak nginep, kan?"
Dara menggeleng dan berkata, "Agak malam dikit pulangnya. Tadi aku udah minta Bibik beresin baju ganti Cia. Udah dalam tas aku."
"Hati-hati," kata Dewa sembari mengusap kepala Dara. Lelaki itu sengaja memanfaatkan momen ini untuk menyentuh istrinya.
"Iya."
"Maaf soal yang kemarin malam," sesal Dewa.
Dara mengangguk sebagai jawaban. Setelah memasang jaket dan helm, motornya melaju meningglakan rumah.
***
"Wah pengantin baru udah masuk kerja."
Dara disambut ucapan itu saat tiba di sekolah.
"Cuti udah selesai," jawabnya.
"Gimana rasanya jadi istri? Seru, kan?" tanya Riri, sahabatnya.
Sejak awal mengajar, mereka sudah dekat karena memang cocok dan seumuran. Dara mengajar Bahasa Indonesia sedangkan Riri mengajar Bahasa Inggris.
"Biasa aja."
"Ih, kok gitu, sih? Emangnya Mas Dewa gak nafkahin kamu?" goda Riri.
Astagfirullah. Dara mengucap dalam hati. Kenapa orang-orang senang sekali menanyakan sesuatu yang privasi kepada pasangan yang baru menikah.
"Rahasia," kata Dara sambil mengedipkan mata.
"Kamu beruntung bisa dapat suami baik kayak gitu,"
Setelah beberapa kali bertemu dengan Dewa, sebelum mereka menikah, Riri bisa menyimpulkan jika lelaki itu cukup bertanggung jawab. Dia juga yang meyakinkan Dara untuk menerima pinangan itu.
"Alhamdulillah."
Mereka berdua bersisian menuju ruang rapat. Saat asyik bercerita, ponsel Dara berbunyi. Wanita itu mengambilnya dari dalam tas dan mengecek notifikasi. Ternyata ada sms dari m-banking. Dia terbelalak saat melihat nominal yang tertera. Ini sama dengan gaji pokoknya sebagai guru honorer di sekolah ini.
"Ada apa?" tanya Riri penasaran.
"Ada yang transfer uang. Tapi dari siapa? Apa gajian kita dipercepat?"
"Masa, sih? Tapi aku kok belum masuk," jawab Riri.
Dara terdiam sejenak lalu teringat akan sesuatu hal. Nanti Mas transfer uang bulanan buat jajan kamu.
Bibir Dara mengukir senyum manis. Ternyata suaminya menepati janji. Padahal dia tak berharap banyak soal itu.
"Hayo kenapa senyum-senyum?"
"Dari Mas Dewa ternyata," kata Dara dengan wajah berseri.
"Asyik. Kalau gitu traktir aku makan. Ya, ya, ya?"
Dara mengangguk tanda setuju. Begitu tiba di ruang rapat, mereka langsung duduk sembari menunggu acara dimulai. Wanita. Kadang-kadang hatinya memang mudah ditaklukkan dengan sesuatu yang bernama materi.