webnovel

Ikhlas

Dewa berjalan mendekati istrinya yang masih termenung di depan lemari. Sengaja dia berdiri di belakang wanita itu.

"Yang mas transfer tadi udah masuk?" bisiknya lembut. Kedua tangannya memegang bahu Dara dengan lembut.

"U-dah, Mas. Makasih," jawab Dara gugup.

"Dipakai buat apa?" tanya Dewa berbasa-basi.

Sebenarnya dia tak terlalu mempermasalahkan untuk apa uangnya digunakan. Bagi Dewa, nafkah yang sudah diberikan itu hak istri sepenuhnya. Terserah Dara mengaturnya.

"Traktir Riri makan siang, sama ngasih Ibu dikit. Nanti weekend mau ajak Cia jalan," jawab Dara gugup. Tangannya gemetaran sejak tadi.

Jangan tanya degup jantung, serasa hendak melompat keluar karena detaknya begitu kencang.

"Siapa Riri?" tanya Dewa lagi. Kali ini dia maju selangkah dan mereka sudah tak berjarak.

"Sahabat aku di sekolah."

Dewa menarik napas panjang lalu akhirnya berkata, "Ra..."

"Ya?"

"Mas udah menunaikan kewajiban sebagai suami. Kamu gak mau juga menunaikan kewajiban sebagai istri?"

Kata-kata itu membuat Dara semakin tak berkutik. Dia harus jawab apa?

Baju digenggamannya terlepas. Ketika menunduk dan hendak mengambil, Dewa malah meraih pinggangnya dan membalik tubuh mungil itu hingga kini posisi mereka berhadapan.

"Itu ...."

"Apa?"

"Kesepatakan ki-ta," ucapnya terbata.

"Lupakan yang lama. Gimana kalau kita bikin kesepakatan baru," bujuk Dewa.

Dia tak mau memaksa, namun berusaha membujuk agar istrinya luluh. Gampang-gampang susah, tapi Dewa yakin Dara bisa menerima semua ini.

"Maksudnya?"

"Kamu gak cuma jadi ibu buat Cia, tapi juga jadi istri buat aku. Bukan cuma status tapi buat selamanya. Kita mulai kehidupan baru. "

Dara menatap Dewa dengan lekat. Hatinya gamang. Entah apa yang dirasakan.

"Mas gak ingat Laura?"

"Ingat. Tapi dia udah tenang disana. Ikhlaskan. Kita yang akan melanjutkan hidup." Lelaki itu mengusap pipi istrinya.

Dara kembali menunduk.

"Aku mau ganti baju, Mas. Ini udah malam." Dia hendak melepaskan rengkuhan namun lelaki itu menahannya.

Malam ini Dewa tak akan melepaskan istrinya lagi. Rasanya sudah cukup dia bersabar.

Dua mata saling bertautan dengan perasaan yang bercampur aduk. Malam itu Dara menunaikan kewajiban sebagai seorang istri.

***

"Pagi."

Dewa duduk di kursi makan dan menatap istrinya dengan bahagia.

Melihat suaminya datang, Dara dengan cekatan mengambilkan makanan. Lalu meletakkan piring di hadapan Dewa.

"Papa kok senyum-senyum?" tanya Ciara saat melihat ekspresi wajah papanya yang terlihat berbeda hari ini.

"Papa lagi liatin mama. Cantik," puji Dewa yang membuat wanita itu merona seketika.

"Mama Cia memang cantik."

"Cia juga cantik. Papa sayang dua-duanya."

"Ayo cepat sarapan. Nanti telat. Papa antar Cia sekalian antar mama." Dara mengambilkan ikan goreng untuk tambahan Ciara.

"Kamu bisa jalan gak nanti?" tanya Dewa sambil megerling mesra kepada istrinya.

"Bisalah. Memangnya kenapa?"

"Ya gak apa-apa. Cuma tanya."

"Pelan-pelan, sih," lirihnya.

Itu membuat Dewa semakin senang. Dengan cepat dia menghabiskan isi piring kemudian mengambil tas dan menunggu di depan.

Dara memasangkan tas Ciara kemudian mereka berdua berjalan ke depan.

"Titip rumah ya, Bik." Pesannya sebelum berangkat.

"Hari ini mau masak apa?"

"Terserah Bibik. Diolah aja yang ada di kulkas. Saya juga pulang sore kayaknya. Ada kegiatan tambahan," jelas Dara.

Ciara melambaikan tangan kepada bibik saat berangkat.

Mobil Dewa berhenti di sebuah gedung sekolah di pusat kota. Ciara mencium kedua tangan kedua orang tuanya sebelum turun.

"Belajar yang rajin." Dara memeluk putrinya dan membukakan pintu.

Mobil kembali melaju dan berbelok ke sebuah jalan.

Setelah hanya berdua dengan Dewa, suasana menjadi hening. Berbeda saat ada Ciara tadi. Anak itu asyik bercerita segala macam sehingga mereka berdua tidak canggung.

Dewa melirik istrinya berkali-kali, sementara itu Dara berpura-pura memainkan ponsel.

Tanggannya mengutak-atik akun media sosial. Padahal pikirannya entah kemana.

"Kamu ngajar sampai jam berapa?" Dewa memulai pembicaraan.

Dara menatap suaminya sekilas.

"Sore kayaknya, Mas. Hari ini ada kegiatan di sekolah. Sosialisasi peraturan baru," jelasnya, kemudian menunduk lagi. Rasanya dia tak kuat menatap wajah Dewa. Malu.

"Terus ke rumah ibu?"

"Iyalah, ambil motor."

"Jangan malam pulangnya."

"Iya sebentar aja. Paling habis magrib. Masa' baru datang langsung pulang."

"Mas tunggu pokoknya."

"Memangnya kenapa?"

"Malam ini kamu tidur di kamar Cia atau di kamar kita?"

Dara membuang pandangan, berpura-pura menatap jalanan.

"Di ... kamar kita."

Dewa tersenyum menang. Lalu dia bertanya tentang kegiatan sehari-hari Dara di sekolah.

Tak terasa waktu berlalu, akhirnya mereka sampai juga di gerbang depan.

Dara meraih tangan sang suami kemudian menciumnya. Dewa mengulum senyum dan memberikan sebuah sentuhan lembut di kening istrinya.

"Makasih, Mas. Hati-hati di jalan."

Dara melangkahkan kaki memasuki sekolah. Tinggal 10 menit lagi dan dia harus cepat masuk sebelum bel berbunyi. Matanya masih mengantuk dengan tubuh yang terasa pegal.

Lalu dia tersenyum saat mengingat kebersamaan mereka.

"Hayo, pengantin baru senyum-senyum."

Tepukan di bahu membuat Dara kaget. Riri tiba-tiba saja muncul dari belakang dan mensejajari langkahnya.

"Kamu ini bikin kaget aja."

"Jalan sambil senyum sendiri itu mencurigakan."

"Kamu bisa aja." Dara mencubit pinggang Riri sehingga membuat wanita itu mengaduh.

"Jadi istri itu enak, ya. Ada yang transfer jajan sama nganterin kerja."

Eh?

Dara menatapa sahabatnya dengan penuh tanda tanya.

"Tadi aku lihat kamu dianter sama Mas Dewa."

"Motor aku dititip ke rumah ibu. Kemarin Mas Dewa jemput, khwatir Cia ketiduran pas pulangnya," jelas Dara.

"Cieee yang suaminya perhatian."

"Makanya kamu nikah juga."

"Belum, lah. Ntar aja."

Mereka berhenti di aula depan. Dara meletakkan telunjuk di finger print dan mengucap syukur karena tidak terlambat.

Di sekolah ini disiplin berlaku bagi semua orang. Dari guru, murid dan staf yang lain. Ada potongan uang makan jika sampai terlambat dan teguran khusus jika berkali-kali melakukannya. Namun, ada dispensasi untuk alasan tertentu.

Dengan begitu, suasana menjadi lebih tertib karena setiap orang tahu tugas dan tanggung jawab masing-masing. Guru juga mencontohkan dengan perbuatan, bukan hanya ucapan dan himbauan.

"Ayo jalan. Bentar lagi bel."

Mereka masuk ke ruangan guru, meletakkan barang-barang kemudian saat bel berbunyi, masuk ke kelas masing-masing.

Seharian ini, Dara lebih banyak duduk saat menjelaskan. Juga meminta murid mengerjakan soal-soal latihan karena badannya tidak enak. Berulang kali dia menguap. Untung saja tidak sampai ketiduran di kelas.

Setelah selesai mengajar, dia menuju ruang UKS.

"Kenapa, Bu?"

"Pusing. Boleh saya istirahat sebentar."

"Ibu mau obat?"

"Gak. Saya cuma mau tidur."

"Bukannya ada pertemuan sebentar lagi ya, Bu?"

"Saya udah izin kalau seandainya telat. Saya mau tidur sebentar aja."

Dara langsung merebahkan diri dan memejamkan mata. Tak lama dengkur halusnya terdengar.