webnovel

Adaptasi

Dara terbangun saat merasakan sesuatu melingkar di pinggang. Mata cantik itu mengerjap beberapa kali dan terkejut saat mendapati Ciara tertidur di sampingnya. Wanita itu bertanya dalam hati kapan putrinya ini masuk ke kamar mereka? Mungkin tadi malam dia terlalu lelah, sehingga tak menyadari saat si mungil itu masuk. Tapi, tunggu dulu!

Tiba-tiba Dara menyadari sesuatu hal. Ada satu lengan lagi dengan posisi yang sama sedang memeluknya. Saat dia menoleh ke belakang, tampaklah wajah sang suami sedang terlelap. Dia menutup mulut, lalu pelan-pelan menggeser tangan besar itu. Bukannya melepaskan, Dewa malah semakin erat merengkuh istrinya. Kini posisi wanita itu terjebak di tengah dan tak bisa bergerak.

"Mas." Akhirnya Dara menepuk lengan suaminya karena sudah tak tahan ingin ke kamar mandi.

"Apa, sih? Masih ngantuk juga," racau Dewa setengah sadar dengan mata yang masih enggan terbuka.

"Lepasin aku," pinta Dara.

"Gak mau. Enak gini aja." Rengkuhan laki-laki itu semakin erat. Dewa bahkan membenamkan wajahnya ke tubuh Dara.

Dara menggerutu dalam hati. Akhirnya dengan sedikit kasar, dia menyentak lengan Dewa. Wanita itu langsung turun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi.

Setelah membersihkan diri, Dara mengambil mukena lalu menunaikan dua rakaat yang terlambat, karena hari sebentar lagi akan terang.

"Mas, bangun. Mas gak subuhan?" tanya Dara sembari berbisik karena takut membangunkan Ciara.

"Ntar aja." Dewa menggeliat lalu kembali memejamkan mata. Dia bahkan mengambil guling dan memeluknya erat.

"Astagfirullah."

Dara mengucap istigfar dalam hati karena tak habis pikir dengan kelakuan suaminya. Wanita itu menggeleng, lalu mencoba lagi.

"Mas udah mau siang. Subuhan dulu," ulangnya sambil mengguncang tubuh itu.

Dewa membuka mata dan tersenyum saat melihat sosok ayu Dara dalam balutan mukena. Rasanya seperti mimpi kalau ada bidadari sedang berdiri di hadapannya. Lelaki itu bergegas bangun dan mengambil wuhu, saat menyadari bahwa istrinya sedang menatap dengan garang.

Dara yang sudah selesai melipat mukena, langsung menuju dapur untuk membuat sarapan, meninggalkan DEwa dan Ciara di kamar. Entah apa menu yang disukai oleh penghuni rumah ini, dia belum tahu sama sekali. Juga, apa saja kebiasaan mereka setiap harinya. Wanita itu masih menduga-duga sekaligus mencoba memahami. Semoga saja dia bisa cepat beradaptasi.

Tangan mungil Dara sibuk mencari sesuatu di dalam lemari es. Masih ada beberapa boks berisi bekal makanan dari ibunya, tetapi mungkin itu untuk makan siang saja. wanita itu mencari lagi. Ternyata ada banyak makanan instan siap saji. Dalam hatinya bergumam, kasihan Ciara jika diberi makanan seperti itu terus.

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Dara memilih untuk membuat nasi goreng dengan telur dan sosis sebagai isinya. Lalu, wanita itu menghangatkan ayam kecap dari boks hingga kuahnya menjadi kering sebagai lauk. Tidak ada sayur. Jadi, nanti kalau si bibik datang dia akan pergi ke pasar dan belanja bahan segar.

"Harumnya. Mama masak apa?" Ciara muncul bergandengan tangan dengan Dewa.

Dara menoleh dan membalas pertanyaan itu dengan tersenyum, lalu menarik kursi untuk putrinya.

"Coba lihat," ucap Dara saat meletakkan semangkuk besar nasi goreng dan ayam.

Mata Ciara berbinar melihat sajian di meja. Dara mengambilkan bagian untuk putrinya, juga untuk Dewa.

Pada saat meletakkan piring di depan suaminya, tangan mereka tak sengaja bersentuhan.

Sepertinya Dewa sengaja melakukan itu. Terbukti saat Dara hendak menarik tangan, jemarinya malah digenggam erat. Laki-laki itu menatap istrinya dengan lekat, berharap akan dibalas. Namun semua harapannya sia-sia. Dara tetap cuek dan kembali menyendok nasi.

"Mama sama Papa kok pegangan tangan?" tanya Ciara dengan polos.

"Biar romantis," jawab Dewa asal, yang sukses membuat rona di wajah Dara memerah karena malu.

Setelah mengambil bagiannya sendiri, mereka makan dalam diam. Ciara yang memimpin doa kali ini. Suaranya lantang dan fasih saat mengucapkannya.

"Piringnya jangan dicuci. Sebentar lagi Bibik datang buat bersih-bersih," cegah Dewa saat melihat istrinya hendak menyalakan keran air.

Mereka sudah selesai makan dan Ciara memilih untuk menonton film kartun kesukaannya yaitu Barbie.

"Terus aku ngapain?" tanya Dara kebingungan.

"Ya istirahat aja. Temani Ciara main. Atau temani papanya juga boleh," ucap Dewa menggoda.

Dara mengabaikan ucapan itu, lalu membersihkan tangan dan menuju ruang keluarga. Dia ikut menonton bersama dan sesekali menanggapi saat Ciara bercerita mengenai kisah putri yang bertemu dengan pangeran.

Dewa mengekori istrinya, lalu duduk di sebelah Dara. Laki-laki itu dengan cuek malah melingkarkan lengan di bahu istrinya.

"Bagus ya filmnya?"

"Iya, Pa. Itu mereka pegangan tangan. Kayak mama sama papa tadi," tunjuk Ciara.

"Kalau cinta memang begitu," jawab Dewa santai.

Dara membuang pandangan saat mendengar ucapan Dewa. Sepertinya lelaki ini sengaja berulah di depan putrinya sekaligus memanfaatkan kesempatan.

"Papa cinta, kan, sama Mama Dara?"

"Iya, cinta," kerlingnya.

"Kalau sama Mama Laura, Papa cinta gak?" tanya Ciara lagi.

Dewa tersentak. Mengapa Ciara menanyakan hal itu disaat seperti ini. Dia menjadi tak enak hati. Namanya juga anak-anak, apa yang mereka rasakan itu yang diucapkan.

"Cin ... ta juga."

"Gak boleh cinta dua-duanya, Pa. Kan pangeran cuma sama satu putri. Jadi Papa cinta sama Mama Dara aja," ucap Ciara polos.

Mereka berdua saling berpandangan kemudian tergelak. Dara menutup mulut, sementara Dewa mengusap wajah berulang-kali.

"Iya. Papa cuma cinta sama Mama Dara."

Dewa mengerling istrinya lagi. Sementara itu, Dara berpura-pura tidak tahu sambil terus menatap layar televisi, padahal dalam hati berdebar tak karuan.

Mereka asyik menonton saat terdengar bel pintu berbunyi. Dara melepaskan tangan Dewa kemudian berjalan ke depan untuk membuka pintu.

"Nyonya," sapa seorang wanita paruh baya yang kemudian langsung masuk ke dalam.

"Bibiiikkk ...." Ciara berlari dari dalam dan memeluk si Bibik.

Melihat itu hati Dara terenyuh. Sungguh kasihan sekali anak ini. Di usia yang masih kecil harus kehilangan sosok ibu. Lalu, terobati dengan hadirnya Laura, yang kemudian harus berpulang untuk selamanya.

Boleh dibilang, Laura yang selama ini menjadi sosok mama bagi Ciara, karena anak itu tumbuh di bawah pengasuhan wanita itu. Mengapa mereka berpacaran cukup lama? Itu karena dia tak mau melangkahi Dara. Ketika Dewa mendesak, akhirnya Laura bersedia.

"Apakah aku sanggup menjadi ibu yang baik dari anak yang bukan darah daging sendiri?"

Dara bergumam dalam hati. Jika dibanding dengan Laura, tentu saja dia masih kalah jauh. Sekalipun dia seorang guru, mendidik murid tentulah berbeda dengan mendidik anak.

"Mama kok melamun? Ayo, masuk! Temani Cia nonton lagi," ajak Ciara.

Dara tersentak dari lamunan dan mengangguk.

"Bibik katanya mau bikinkan kue. Ya kan, Bik?" tanya Ciara.

"Iya. Nanti kalau kue udah jadi, Bibik anterin sama teh hangat. Gimana?" tawar wanita paruh baya itu.

Ciara mengangguk senang lalu menarik tangan Dara kembali ke dalam. Mereka kembali menonton untuk beberapa saat dan membuatnya menjadi bosan. Namun wanita itu menyadari bahwa telah terikat dengan keluarga ini. Entah dalam jangka waktu yang lama atau hanya sementara.