Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Alif semakin terjebak dalam pergulatan batin antara harapan dan ketakutan. Meskipun seminar yang dia lakukan beberapa minggu lalu mendapat respon positif, dia tetap merasa ada yang hilang. Di malam-malam sepi, Zeta masih berkeliaran dalam pikirannya, berbisik kata-kata keraguan dan kebencian.
Suatu sore, saat Alif beristirahat di ruang tamu sambil membaca buku tentang kesehatan mental, ponselnya bergetar. Ternyata pesan dari Mira.
Mira: "Alif, ada acara bincang-bincang tentang kesehatan mental di kampus. Mereka mencari pembicara. Aku percaya kamu bisa melakukannya! Mungkin ini kesempatan untukmu."
Alif menatap pesan itu, ragu sejenak. Tiba-tiba Zeta muncul, menginterupsi aliran pikirannya. "Kamu benar-benar percaya diri bisa berbicara lagi? Bukankah kamu takut? Apa yang akan orang-orang katakan ketika mereka mengetahui betapa lemahnya kamu?"
Alif menggelengkan kepala, berusaha mengusir suara itu. "Tidak, aku tidak bisa membiarkanmu mengendalikan hidupku lagi," gumamnya. Dalam hati, dia tahu bahwa kesempatan ini bisa menjadi jalan untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang berjuang melawan demon internal mereka.
Setelah berpikir panjang, Alif membalas pesan Mira, menyatakan bahwa dia akan ikut serta. Dalam persiapannya, dia kembali menulis di jurnalnya, merinci tema yang ingin dia sampaikan. Dia ingin fokus pada pentingnya dukungan sosial dan cara menjalin komunikasi yang baik dengan mereka yang berjuang dengan masalah kesehatan mental.
Hari acara tiba, dan Alif merasa campur aduk antara semangat dan ketakutan. Di atas panggung, dia melihat kerumunan orang yang terdiri dari mahasiswa dan dosen. Melihat mereka mengingatkan dia pada seminar sebelumnya, saat dia berbicara dari hati dan mendapat sambutan hangat. Namun, kali ini, rasa khawatir kembali mencekam.
Dia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju. "Selamat sore semuanya. Saya Alif, dan hari ini saya ingin berbicara tentang pentingnya komunikasi dan dukungan dalam kesehatan mental."
Satu per satu, Alif berbagi pengalamannya. Dia menceritakan bagaimana Zeta telah menghantuinya dan bagaimana perjuangan itu mengajarinya untuk tidak sendirian. Dia menekankan bahwa mengajak orang lain untuk berbagi adalah kunci untuk mengatasi stigma seputar kesehatan mental.
"Setiap orang punya cerita, dan mendengarkan cerita satu sama lain bisa membawa kita lebih dekat. Kita tidak bisa memecahkan masalah ini sendirian. Mari kita bangun komunitas yang saling mendukung," tuturnya dengan penuh keyakinan.
Setelah sesi tanya jawab, seorang mahasiswi berdiri. "Apa yang bisa kita lakukan jika teman kita tidak mau berbicara tentang masalah mereka?" tanyanya.
Alif tersenyum, mengingat pertanyaan serupa di seminar sebelumnya. "Cobalah untuk mendekati mereka dengan lembut. Tawarkan untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Kadang-kadang, kehadiran kita saja sudah cukup untuk memberikan rasa aman bagi mereka."
Setelah acara selesai, Alif merasakan beban di pundaknya berkurang. Banyak mahasiswa mendekatinya, berbagi pengalaman mereka dan mengucapkan terima kasih. Dalam momen itu, Alif merasakan koneksi yang mendalam dengan mereka.
Namun, saat dia kembali ke rumah, Zeta kembali hadir dalam benaknya. "Kamu tidak melakukan hal ini untuk membantu orang lain. Kamu hanya ingin perhatian, bukan?"
Alif mencoba untuk tidak mendengarkan. Dia pergi ke jendela dan melihat ke luar. Malam itu, bulan purnama bersinar terang, menyinari kegelapan yang mengelilinginya. Dia teringat pada semua yang telah dia lalui—bagaimana dia berhasil mengatasi rasa sakit dan menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Alif menerima telepon dari Mira. "Alif, ada seseorang yang ingin berbicara denganmu. Dia seorang penulis yang mengkhususkan diri dalam kesehatan mental, dan dia sangat terkesan dengan apa yang kamu sampaikan di acara kemarin."
Alif merasa sedikit ragu. "Penulis? Apa maksudmu? Aku hanya berbicara dari pengalaman pribadiku."
"Dia ingin tahu lebih banyak tentang perjalananmu. Mungkin ini bisa jadi peluang untukmu!" jawab Mira dengan semangat.
Setelah sepakat untuk bertemu, Alif merasa sedikit berdebar. Dia ingin berbagi lebih banyak tentang Zeta dan bagaimana dia berjuang untuk mengatasinya, tetapi dia juga khawatir tentang bagaimana orang lain akan menanggapinya.
Saat mereka bertemu di kafe, penulis tersebut memperkenalkan dirinya sebagai Rudi. "Aku sangat tertarik dengan cara kamu bercerita. Banyak orang yang mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami, tetapi tidak semua bisa berbicara tentangnya."
Alif merasa sedikit lebih tenang. Rudi mendengarkan dengan seksama saat Alif menceritakan perjalanan hidupnya. "Mungkin, aku bisa menulis tentang pengalaman ini. Tapi aku takut, Rudi. Takut akan penilaian orang lain."
Rudi tersenyum. "Setiap penulis pasti merasakan ketakutan itu. Tapi ingat, keberanian terletak pada kemampuan untuk berbagi, meskipun kita tidak yakin akan reaksi orang lain. Terkadang, kata-kata kita bisa menyentuh hati seseorang yang sangat membutuhkannya."
Alif merasakan semangat baru muncul di dalam dirinya. Mungkin, berbagi cerita tidak hanya akan membantu orang lain, tetapi juga membantunya menemukan kedamaian dalam jiwanya. Dia bertekad untuk melanjutkan penulisannya, mengekspresikan semua yang dia rasakan, termasuk perjuangan melawan Zeta.
Malam itu, dia duduk di mejanya, menulis dengan semangat yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Kata-kata mengalir seperti air, dan dia menemukan kenyamanan dalam proses tersebut. Di setiap kalimat, dia merasakan beban yang perlahan menghilang.
Saat menulis, Alif mengingat bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk bertumbuh dan belajar. "Aku bukan hanya sekadar nama di antara kerumunan. Aku adalah suara bagi mereka yang tidak bisa berbicara, dan itu adalah kekuatan yang harus kupertahankan," tulisnya di halaman terakhir.