webnovel

Bab 14

Pagi itu, sinar matahari menyinari kota dengan lembut, tetapi Alif merasa gelisah. Meskipun seminar kemarin berjalan sukses, bayang-bayang Zeta masih menyelimuti pikirannya. Dalam sekejap, suasana bahagia yang diharapkannya berubah menjadi keraguan yang mengganggu. Dia duduk di meja, menatap halaman jurnalnya yang kosong, seolah halaman itu merefleksikan perasaannya yang terombang-ambing.

Ketika suara pintu dibuka, Mira masuk dengan senyuman cerah. "Alif! Aku mendengar kabar baik tentang seminar kita. Banyak orang merasa terinspirasi oleh kisahmu!"

"Terima kasih, Mira," jawab Alif, tetapi suaranya tidak menunjukkan semangat yang sama. "Tapi, aku merasa seperti Zeta bisa kembali kapan saja. Aku masih meragukan diriku sendiri."

Mira duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alif dengan lembut. "Setiap orang memiliki momen keraguan. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya. Ingat, kamu tidak sendirian. Kita semua di sini untuk mendukungmu."

Senyuman Mira membuat hati Alif terasa lebih hangat. Dia mengingat semua orang yang telah berbagi kisah mereka dengan penuh keberanian, dan itu memberinya semangat untuk terus berjuang. Dia menulis beberapa kalimat di jurnalnya: "Meskipun Zeta berusaha merenggut kepercayaanku, aku akan melawan dan tetap berjuang."

Hari berlalu, dan Alif memutuskan untuk mengunjungi tempat yang dulu sering dia kunjungi ketika merasa bingung—sebuah taman kecil yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah. Dia merasa bahwa alam bisa memberinya ketenangan.

Di sana, dia duduk di bangku dan menutup matanya, membiarkan angin berbisik lembut di wajahnya. Suara burung yang berkicau membuatnya merasa damai. Namun, saat dia mulai merenungkan semua yang telah terjadi, bisikan Zeta kembali muncul. "Kamu hanya melarikan diri dari kenyataan. Siapa yang akan peduli pada ceritamu? Kamu tidak lebih baik dari sebelumnya."

Alif menggigit bibirnya, berjuang melawan suara itu. "Tapi aku punya dukungan. Dan aku ingin membantu orang lain. Mereka butuh suara seperti aku."

Namun, Zeta tidak berhenti. "Tapi bagaimana jika mereka menganggapmu lemah? Bagaimana jika mereka tidak mau mendengarkanmu?"

Ketika ketidakpastian itu terus berputar di kepalanya, tiba-tiba seorang gadis kecil muncul di depannya, membawa bunga segar di tangannya. "Kakak, maukah kakak membeli bunga ini? Mereka sangat cantik!"

Alif terkejut, tetapi senyum gadis kecil itu memancarkan keceriaan. "Bunga itu memang cantik," ujarnya, berusaha tersenyum meski hatinya masih berat. "Apa namanya?"

"Itu bunga matahari! Mereka selalu menghadap ke arah matahari, karena mereka ingin selalu bahagia," jawab gadis itu ceria.

Alif tertegun mendengar penjelasan sederhana itu. Dalam sekejap, dia merasa terhubung dengan bunga matahari yang selalu mencari cahaya. "Kalau begitu, aku akan membelinya," katanya sambil mengeluarkan uang dari saku.

"Terima kasih, Kak!" gadis kecil itu melompat kegirangan. "Semoga bunga ini bisa membuat kakak bahagia!"

Setelah membeli bunga, Alif mengamati bunga matahari itu dengan seksama. Terlepas dari semua badai dan kegelapan, bunga itu tetap tumbuh menghadap cahaya. Dia merasa ada pelajaran yang berharga dalam kesederhanaan itu. Mungkin dia juga harus terus mencari cahaya, meskipun Zeta ada di sekitarnya.

Saat pulang ke rumah, Alif menempatkan bunga matahari itu di meja kerjanya. Melihatnya mengingatkan dia untuk tetap menghadapi harapan dan kebahagiaan. Dia mulai menulis di jurnalnya: "Aku adalah bunga matahari yang berjuang melawan kegelapan. Setiap hari adalah kesempatan untuk tumbuh lebih kuat."

Beberapa hari kemudian, Alif dan Mira merencanakan sesi berbagi di komunitas lokal. Dia merasa antusias dan lebih siap untuk berbagi, tetapi ketidakpastian tetap ada. Momen-momen keraguan muncul lagi, dan saat malam tiba sebelum acara, Zeta kembali menggoda.

"Apakah kamu yakin orang-orang ingin mendengarkan cerita seorang pecundang sepertimu?" Zeta menantang.

Namun, Alif sudah menyiapkan jawabannya. "Aku bukan pecundang. Aku berjuang, dan aku ingin memberi harapan pada orang lain. Jika aku bisa menginspirasi satu orang saja, itu sudah cukup."

Keesokan harinya, saat acara dimulai, Alif merasakan kegugupan yang menggelora di dalam dirinya. Namun, dia teringat pada gadis kecil dengan bunga matahari. Dia memasang senyum dan melangkah ke depan.

"Selamat pagi semua. Hari ini, saya ingin berbagi perjalanan saya tentang kesehatan mental dan bagaimana kita bisa saling mendukung satu sama lain." Suaranya mantap meski di dalam hatinya masih ada keraguan.

Saat dia berbicara, dia mengungkapkan perjuangannya dengan Zeta, dan bagaimana dia belajar untuk tidak membiarkan suara negatif itu mengendalikan hidupnya. Dia berbicara tentang harapan, keindahan persahabatan, dan pentingnya berbagi cerita. Setiap kali dia melihat wajah-wajah yang penuh perhatian di depannya, rasa percaya diri semakin tumbuh.

Setelah sesi, banyak orang mendekatinya untuk berbagi cerita mereka. Alif merasa terharu saat mendengar kisah-kisah yang penuh perjuangan, tetapi di dalamnya juga ada kekuatan dan harapan. Dia memahami bahwa mereka semua adalah bagian dari komunitas yang saling mendukung.

Ketika acara berakhir, Mira menghampirinya dengan mata bersinar. "Kamu luar biasa! Semua orang terinspirasi olehmu."

Alif tersenyum, tetapi hatinya dipenuhi rasa syukur. "Aku tidak bisa melakukannya tanpa dukunganmu. Tanpa kalian, aku tidak akan pernah bisa berbicara seperti ini."

Mira merangkulnya. "Kita adalah bunga matahari yang saling mendukung. Jangan pernah lupakan itu."

Setelah hari yang penuh emosi itu, Alif kembali ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Dia menatap bunga matahari di mejanya dan merasakan kehangatan baru di dalam dirinya. Dia telah belajar untuk menerima diri sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Di halaman terakhir jurnalnya, dia menulis: "Kita semua memiliki suara, dan kita layak untuk didengar. Dalam perjalanan ini, aku telah menemukan harapan yang terlahir kembali, dan aku akan terus berjuang untuk kebahagiaan dan untuk orang lain."

---