Aku menatap hamparan kebun karet dan sawit yang silih berganti sepanjang jalan. Meski telah jauh meninggalkan Tiara, tapi pikiranku masih tetap bersamanya. Apa ia akan baik-baik saja? Apa ia akan kembali dengan selamat? Apa ia sedang menangis atas sikapku? Semua pikiranku masih terpaut segala hal tentangnya. Ingin sekali aku menghilangkan pikiran menyebalkan ini. Namun, tetap saja melekat dan tak bisa hilang.
Sebenarnya, jauh dari lubuk hatiku, tidak tega meninggalkannya dan mengatakan hal-hal demikian. Tapi, rasa sakit ini telah membujukku untuk mengatakan. Rasa sakitku ingin melampiaskan kepada orang yang telah memberikannya.
Aku mengembuskan napas panjang pada kaca jendela mobil, hingga meninggalkan embun, lalu menatap kepulan debu yang membubung di belakang. Kebun sawit terlihat berbaris rapi sejauh mata memandang. Sepi sekaligus menjebak, seperti labirin. Ke mana mata memandang, yang terlihat hanya tanaman yang seragam dan jalan yang serupa.
Aku mengeluarkan ponsel, lalu mengecek jaringannya untuk menelepon Zian. Namun, setelah kupikir-pikir, aku mengurungkannya. Dengan memberitahu Zian, pasti akan menambah masalah baru lagi. Tiara pasti tidak akan senang kalau memberitahu masalah ini.
Aku menutup mata sambil memijit pelipis, sementara mobil terus terombang-ambing melewati jalan tanah kuning berdebu. Pak Arga yang mengendarai mobil hanya diam, tanpa bertanya sepatah kata pun. Ia pasti melihat pertengkaranku dengan Tiara sebelum berangkat tadi.
Aku membuka mata dan memandang lurus ke depan, menatap hamparan jalan tanah yang berkelok-kelok menjelajahi bukit. "Berapa lama lagi kita sampai di jalan raya, Pak?" tanyaku membuka suara setelah diam sejak berangkat. Sebenarnya aku sudah tahu, daripada suasana di mobil semakin canggung, jadi aku bertanya untuk sekadar mengisi kekosongan.
"Sekitar delapan kilo lagi kita sampai di penyeberangan. Setelah nyebrang, kita akan sampai di jalan aspal," ucap bapak bertubuh tambun itu tanpa mengalihkan wajahnya dari jalan.
Setelah percakapan singkat itu, aku kembali diam, sibuk dengan masalah yang sedang dihadapi. Sementara, matahari terus beranjak naik, menambah gerah siang yang cerah. Keadaan jalan semakin lama semakin lebar dan ramai. Meskipun kendaraan yang lewat sering truk-truk pengangkut karet dan sawit.
"Sebentar lagi kita akan sampai di penyeberangan," kata Pak Arga memberitahu setelah kami terdiam kembali.
Aku mengangkat kepala, memandang kapal yang mirip kapal kargo, tapi lebih sederhana, tanpa penghalang dan atap untuk mengangkut mobil dan motor menyeberangi sungai penghasil emas terbesar di Indonesia itu. Sungainya berwarna kuning pekat dan lebar. Karena belum ada pembangunan jembatan, jadi terpaksa kendaraaan menyeberang menggunakan kapal.
Aku mengecek ponsel dan mendapat pesan sosial yang bertubi-tubi. Ternyata sudah mendapatkan signal. Pertanda sebentar lagi akan sampai di dusun terdekat.
"Berapa kilo lagi kita sampai, Pak?" tanyaku sambil membuka pesan yang masuk satu persatu.
"Lima kilo lagi sampai di dusun pertama. Setelah itu, sekitar tiga puluh kilo lagi sampai di Rimbo Bujang," jawab Pak Arga sambil menempatkan mobil di antrian menyeberang. Rimbo Bujang adalah kecamatan di Kabupaten Tebo. Setelah dari Rimbo Bujang, aku akan naik travel menuju Pekanbaru yang berjarak sekitar tiga ratus kilo atau delapan jam perjalanan mobil.
Aku kembali mengembuskan napas panjang sambil memperhatikan kapal yang sedang merapat. Melihatnya, kadang aku merasa takut dan khawatir, bagaimana kalau kapal oleng dan meluncurkan motor dan mobil beserta orang-orang ke dalam sungai?
"Nggak usah cemas soal Tiara, ia udah sering ke sini. Dulu hampir setiap libur sekolah ia selalu ke kebun kakeknya." Pak Arga memandangku untuk pertama kalinya.
"Ya, Pak. Tiara sering cerita," jawabku singkat tanpa ingin melanjutkan percakapan membosankan tentang gadis itu.
Pak Arga juga tidak membalas perkataanku, jadi aku bisa terbebas tentang Tiara. Pak Arga berkonsentrasi menaikkan mobil sesuai aba-aba karena sekarang giliran mobil kami untuk menyeberang. Aku hanya memandang malas pada air sungai yang kuning dan berharap tidak terjadi apa-apa.
Setelah menyeberang tanpa ada kendala, mobil berjalan mulus di jalan beraspal. Sepanjang perjalanan, aku tetap memilih diam sambil menatap kebun-kebun warga dan hutan liar, di beberapa tempat, terdapat pemukiman. Setelahnya, jalan cendrung lurus menyusuri lembah dan bukit-bukit, sehingga memudahkan perjalanan. Hanya beberapa kali saja terdapat belokan yang bisa dihitung dengan jari.
Ketika melewati dusun pertama, aku menyalakan laptop untuk mengirim berkas-berkas penelitian melalui email karena jaringan sudah cukup stabil. Setidaknya, aku ingin mengirim lebih cepat informasi dan hasil observasiku selama beberapa hari ini.
Sebelum matahari tergelincir ke ufuk barat, kami telah sampai di Pasar Rimbo Bujang. Pak Arga mengantarkanku pada agen travel kenalannya, lalu aku mendapat antrian mobil tercepat berangkat ke Pekanbaru. Setelah itu, aku berpisah dengan Pak Arga. Sekali lagi, ia mengatakan kalau Tiara akan baik-baik saja. Aku hanya membalas dengan senyuman dan berterima kasih telah mengantarkanku.
Ketika sedang menunggu mobil berangkat, Tiara mengirimku pesan. Ia mengatakan bahwa sudah melewati penyeberangan dan dalam perjalanan menuju Rimbo Bujang. Aku memasukkan ponsel dengan malas tanpa membalas pesannya. Mobil mulai bergerak, aku hanya memandang matahari yang mulai menepi di sudut langit. Kami akan bertemu di Pekanbaru.