webnovel

Menolak Kebaikan

Pak Yan dan puteranya, Reihan atau Rei, pergi untuk menjemput Ren dan Fei sesuai yang sudah disepakati mereka dengan Ren sebelumnya.

Tak disangka-sangka, terjadi drama keluarga di depan Pak Yan dan Rei. Meski begitu, Pak Yan tetap tidak berubah niat dan masih dengan keputusan semula bahwa dia ingin memberikan salah apartemen dia ke Ren dan Fei sebagai balas budi atas pertolongan Ren.

Terjadi pergulatan kata-kata antara Pak Yan dan keluarga Paman Win dan akhirnya Pak Yan berhasil membungkam mereka semua.

Sementara, Rei sejak tadi juga diam. Sekarang, dia tahu seperti apa warna asli dari keluarga pamannya Fei. Tadinya Rei tak percaya ketika ayahnya sempat bercerita mengenai semua yang sudah dikatakan Ren sebelumnya mengenai perlakuan yang didapatkan Fei dari keluarga sang paman. Namun, sekarang dia dengan terang benderang melihat sendiri kenyataannya. Dia semakin iba dan simpati kepada Fei. Seketika, matanya teduh saat menatap Fei. Dia ingin melindungi gadis malang itu.

Akhirnya, drama keluarga pun berakhir dengan Pak Yan memanggil beberapa anak buahnya untuk membawa barang-barang Fei. Tapi karena barang Fei hanya sedikit saja, maka hanya 2 anak buah yang ditugaskan. Itu pun sekedar membawa 4 kardus ukuran sedang saja.

"Tinggalkan saja baju-baju yang dibelikan bibinya Fei. Aku sudah menyiapkan baju lebih layak untuknya." Titah Pak Yan seakan menjadi godam raksasa di hati Bibi Wen.

Nai menggigit bibirnya kuat-kuat menahan amarah dan dengki. Kenapa keadaan jadi berbalik terlalu jomplang begini? Kenapa Fei jelek itu malah dilimpahi banyak keberuntungan? Dia lebih cantik dan pantas untuk diperlakukan seperti tuan putri. Dia lebih layak hidup di apartemen ketimbang si upik abu Fei! Hati Nai bergemuruh akan sumpah serapah.

Nai dan orang tuanya hanya bisa secara kecut menatap kepergian Fei dan Ren menuju hunian baru yang pastinya jauh lebih nyaman ketimbang di rumah kecil begini. Kedengkian mereka kian memuncak meski tak bisa berbuat apa-apa.

Setelah semuanya, keadaan terasa hening usai Fei dan Ren pergi beserta barang-barang mereka berdua. Yah, lebih tepatnya barang-barang Fei, karena Ren tak membawa apapun selain baju jaman dulu. Meski pakaiannya saat ini merupakan milik sang paman. Tak apa, dia akan mengembalikan itu nanti melalui paket saja. Tak sudi dia kembali ke rumah itu lagi.

Sebenarnya, sebelum Pak Yan datang ke rumah paman, dia memang sudah menghubungi Pak Yan menggunakan telepon rumah paman. Tentu dia memakai ajian yang bisa membuat percakapannya dengan Pak Yan tidak akan terdengar orang sekitar. Selain itu, mengenai membaca diam-diam buku diary Fei juga hanya merupakan alibi Ren.

Sesungguhnya, dia telah memindai banyak memori Fei ketika waktu pertama dia bertemu Fei malam itu. Dari sanalah dia mencari waktu untuk mengaduk memori yang dia dapat dan menceritakan kepada Pak Yan.

Mengabaikan keluarga Paman Win yang mungkin saat ini sedang meraung kesal dan meratap dengki atas keberuntungan Fei, dua muda-mudi sudah tiba di sebuah apartemen besar yang tergolong mewah dimana tempat luxurius itu dinyatakan sebagai hak milik mereka sepenuhnya.

"Nanti, aku akan panggil pengacara untuk mengganti nama pemilik dari apartemen ini menjadi nama kalian. Jangan khawatir, semuanya bisa diatur dengan mudah." Pak Yan berkata sembari memimpin orang memasuki apartemen itu.

Seakan tak menggubris apa yang diucapkan Pak Yan, mata Ren dan Fei justru berkeliling menatap segala yang terpampang di depan, kanan, dan kiri mereka saat mereka melangkah ke bagian dalam apartemen.

Tidak bisa disangkal, Fei takjub akan hunian ini. Besar, mewah, dan terkesan sangat elit. Meski dia pernah mencicipi hidup berkecukupan saat masih kecil ketika ayah masih ada, namun kemewahan yang pernah dia rasakan di jaman ayahnya masih kalah jauh dari yang sekarang ada di sekitarnya.

Sedangkan Ren, dia masih memasang muka datar seakan biasa-biasa saja melihat berbagai benda di sekitarnya. Bagi dia yang merupakan pangeran sebuah kerajaan, ruangan semacam apartemen ini masih belum ada apa-apanya dibandingkan ruangan-ruangan yang ada di istana milik ayahandanya.

Namun, ketika dia menoleh ke samping, terlihat wajah kagum Fei sudah terpapar jelas mengenai apartemen ini. Dalam hatinya, dia bersyukur dia sudah melakukan hal benar untuk Fei dengan menjauhkan Fei dari keluarga beracun Paman Win.

Sampai di ruang tengah yang luas, Pak Yan mengajak mereka semua duduk di sofa besar. Itu sungguh sofa besar megah berwarna biru tua dari bahan beludru kualitas terbaik, sangat nyaman ketika diduduki. Ini berbeda jauh dengan sofa di ruang tamu sebelumnya yang menggunakan bahan kulit kualitas tinggi berwarna perunggu dan desainnya kokoh megah seolah mencerminkan pemilik tempat itu yang sama kokoh dan megahnya.

Ketika Ren dan Fei duduk di sofa ruang tengah sambil menyimak ucapan Pak Yan, 2 anak buah Beliau sudah berjalan ke arah dapur dan mereka menyiapkan minuman untuk yang ada di ruang tengah.

Fei merasa tak enak sendiri ketika melihat lelaki-lelaki berbadan tegap itu ternyata sigap membuat teh hangat untuk semua orang. Harusnya dia yang melakukan ini, tapi tak mungkin juga dia meninggalkan ruangan dan mengabaikan perkataan Pak Yan saat ini.

"Nah, sekiranya aku sudah banyak menjelaskan mengenai apartemen ini dan juga mengenai sekolah kalian besok, Ren tak perlu khawatir dan akan aku masukkan dia ke sekolah terbaik bersama Fei." Pak Yan menyudahi ucapan panjangnya dengan sebuah janji.

Memikirkan bahwa sekolahnya akan dipindah, Fei jadi tak enak hati sendiri. Bukankah sahabatnya, Lan sudah banyak berkorban untuk mengikuti Fei memilih sekolah yang sekarang? Lan bahkan berani menentang orang tuanya demi bisa tetap satu sekolah dengan Fei, untuk menjaga Fei.

Kalau Fei malah pindah sekolah secara tiba-tiba begini, alangkah buruknya dia terhadap sang sahabat. Lan pasti akan kecewa meski mungkin tidak akan ditunjukkan di hadapan wajah Fei. Seperti jika Fei menempatkan diri di posisi Lan yang ditinggal begitu saja, dia tak akan sanggup bertahan. "Anu ... Pak Yan ... bisakah ... um ... sekolahnya tak usah ... um ... tak usah pindah?" Sedikit gugup dan takut sambil ahak tundukkan kepala dan meremas ujung kaosnya, Fei mencoba meminta sesuatu ke Pak Yan.

"Heh? Kau yakin tidak ingin pindah dari SMA Harapan Luhur?" Kali ini Rei yang bersuara sembari wajahnya menunjukkan keterkejutan dia atas penolakan halus Fei ketika ayahnya hendak memindahkan gadis itu ke sekolah yang lebih bermutu tinggi demi masa depan Fei sendiri.

Mata Fei bertemu mata Rei dan itu membuat si gadis jadi malu dan menurunkan pandangannya sembari kepalanya terangguk dua kali sebagai jawaban.

Ren gemas. Apakah ada saraf di kepala Fei yang tersumbat atau bergeser tidak pada posisi semestinya? Bukankah Fei terlalu sembrono mengatakan dia tak ingin pindah sekolah. Bukankah dia mendengar dari Fei bahwa gadis itu pun dirundung di sekolahnya? Lalu kenapa menolak pindah?

"Tolong dimengerti, aku ... aku ingin tetap bersekolah dan menyelesaikan studiku di SMA itu saja. Maaf jika ini ... ini mengecewakan ... kalian ...." Fei makin tundukkan kepala, seakan takut menatap pandangan dari mereka semua.

Apakah Ren perlu memaksa Fei? Atau mungkin memakai ancaman?

nama sekolah Fei terpaksa diganti mjd nama SMA yg sekiranya gak ada di Indonesia, hehe ....

sipp! lanjutkan, terus membaca dan dukung buku ini, yak!

tengkyuu ....

Gauche_Diablocreators' thoughts