Berbekal rasa takut sang paman, maka Ren pun bisa tinggal menetap di rumah tersebut. Ini karena paman Win ingin Ren memulihkan kemampuan bicara anak dan istrinya.
"Ahh … silahkan saja jika Tuan hendak tinggal di rumah saya." Paman Win mendadak menjadi hormat terhadap Ren, tak mau lagi bersikap sembarangan karena dia merasa Ren menakutkan dan memiliki kekuatan aneh.
Tidak buruk, menurut Ren. Dia tidak keberatan tinggal di tempat tersebut karena saat ini dia juga tak tahu harus pergi ke mana dan meneduh di mana. "Baiklah jika itu yang kau tawarkan padaku. Sekalian saja aku bisa mengawasi kalian, jika sikap kalian baik dan menyenangkan, maka aku bisa mengembalikan kemampuan bicara anak dan istrimu."
Ya, itu memang yang diharapkan oleh paman Win. Oleh karenanya, dia mempersilahkan Ren untuk menetap di kamar manapun yang dia inginkan.
Ren tak mungkin satu kamar dengan Fei. Dia merasa itu sangat tidak pantas karena mereka berlainan jenis dan sudah sepantasnya memang begitu. "Aku ingin kamar sendiri. Bagaimana jika kamar dia?" Telunjuk Ren mengarah pada Nai.
Segera, Nai menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menolak, meski wajahnya membawa rona takut. Dia tak ingin kamarnya direnggut.
Sayangnya, paman Win mendelik ke putrinya, memberi tanda agar Nai patuh saja demi bisa lekas bicara kembali seperti semula. "Boleh! Boleh, Tuan! Silahkan saja!" Paman Win sudah seperti penjilat. Tapi demi anak dan istri, dia mampu melakukan apapun. "Ahh, Bu, cepat bereskan kamarnya Nai!" perintahnya ke sang istri.
Bibi Wen kesal sekali, tapi dia sadar bahwa dia tak boleh menyinggung perasaan Ren atau entah apalagi yang bisa menimpa dirinya. Maka, tak mau mendapatkan celaka lainnya, bibi Wen pun berjalan ke kamar putri kandungnya dan menyeret Nai pula untuk bersama-sama membereskan kamar itu.
"Ingat, aku tak ingin ada lagi orang di rumah ini yang menindas Fei. Kalau kalian berani melanggar, maka … yah, coba saja kira-kira nanti apa yang akan kalian dapatkan jika melakukannya." Ren menatap arogan ke paman Win.
Melirik Ren dengan wajah ketakutan, paman Win menjawab, "Tidak akan, Tuan. Kami tidak berani. Kami berjanji tidak akan mempersulit Fei," ucapnya sembari meringis canggung.
Lantas, Ren menoleh ke Fei. "Nah, Fei, sekarang kau bisa tenang di rumah ini."
Fei mendekat ke Ren sambil berbisik lirih dengan sikap ragu-ragu, berkata, "Mas Ren, apa ini tidak keterlaluan?"
"Apanya yang keterlaluan?" tanya Ren.
"Yah, kalau Mas mengambil kamar Nai, lalu Nai tidur di mana?" Fei rupanya memikirkan hal demikian.
Sungguh membuat Ren gemas saja. Untuk apa masih berbaik sikap dengan orang yang telah jahat terhadapnya? Ren tak habis pikir. "Yah, dia hendak tidur di mana, itu bukan urusanku."
Lalu, Fei berjalan pelan ke pamannya dan berkata pelan, "Paman, nanti Nai biar tidur di kamarku saja. Aku akan tidur di sofa tengah."
Baru saja sang paman akan menjawab iya, namun Ren sudah memotong terlebih dulu, "Tidak! Tidak boleh! Fei tetap tidur di kamarnya sendiri. Nai bisa tidur di sofa tengah atau tidur dengan orang tuanya!"
Paman Win terkesiap. Mereka harus tidur bertiga? Tapi … apakah istrinya bersedia? "Y-Ya sudah, biar … biar Nai tidur dengan Paman dan Bibi, yah Fei. Kau … tetap saja di kamar, jangan melawan Tuan, yah!"
Meski begitu, Fei masih terlihat iba. Namun ketika dia melirik ke Ren, lelaki jadul itu sudah memberikan tatapan tegas padanya, pertanda Fei tak diperbolehkan menentang yang telah dia tetapkan.
Benar-benar lelaki yang menakutkan, menurut Fei.
Tak lama, bu Wen dan Nai selesai membereskan kamar Nai. Mereka nampak syok ketika mendengar dari pak Win bahwa mereka harus tidur bertiga di kamar utama.
Segera ucapan gagu bu Wen diburaikan wanita itu karena protes. Namun, suaminya lekas memberi kode agar bu Wen tak usah banyak omong lagi daripada membuat marah Ren.
Nai menghentak-hentakkan kakinya akibat kesal harus tidur berdesakan dengan orang tuanya. Ia masih sempat melirik sengit ke Fei sebelum masuk ke kamar utama diikuti ibunya.
"Ahh, Tuan, silahkan nikmati istirahatnya. Kalau butuh sesuatu, bisa ketuk kamar saya." Paman Win berbasa-basi ke Ren sebelum menyusul masuk anak dan istrinya ke kamarnya sendiri.
"Hm." Ren menjawab dengan gumaman dan membiarkan tiga orang itu masuk ke kamar utama. Lalu, dia menoleh ke Fei. "Kau sudah makan malam?"
"Um, sudah." Fei menganggukkan kepala.
"Sungguh?" Tatapan tajam Ren seakan menembus hingga ke jantung Fei, menginginkan kejujuran gadis itu.
"A-Ahh … sudah, se-sedikit." Akhirnya Fei menyerah dan memberikan jawaban apa adanya.
"Buatlah sesuatu di dapur, sana." Ren duduk santai di sofa tengah, kaki direntangkan lebar bagai raja nan jumawa.
"Tapi … bahan makanannya …."
"Ada apa dengan bahan makanannya? Tidak ada?"
"A-Ada, Mas … cuma … itu … itu punya bibi …."
"Tsk! Ambil saja dan gunakan seinginmu."
"Tapi, Mas, nanti bibi—" Fei berhenti bicara karena tatapan tajam Ren sudah menusuk ke matanya, membuat Fei menundukkan kepala sembari meremas ujung kaos longgarnya.
"Hghh …." Ren menghela napas. Dia terlupa bahwa Fei gadis yang rendah kepercayaan dirinya, selain itu juga penakut dan lemah mental, termasuk lemah hati.
Tak ingin Fei merasa tertindas olehnya, Ren pun bangkit dari duduknya dan menghampiri Fei yang masih berdiri tak jauh darinya. Ia mulai melunakkan suaranya, "Fei, tak perlu ragu jika ingin mengambil bahan makanan di dapur. Jika kau ragu karena itu milik bibimu, maka aku akan minta ke dia."
Hati Fei sedikit lega mendengar nada suara lembut Ren. Ia mengangguk saja atas pengaturan Ren.
Lelaki jadul itu pun berjalan ke depan pintu kamar utama, mengetuk di sana. Ketika pintu dibuka oleh paman Win, Ren segera bertanya, "Apakah bahan makanan di dapur boleh digunakan Fei untuk santap makan dia?"
"Tentu! Tentu saja boleh, Tuan!" Paman Win tidak berpikir dua kali dan langsung saja mengiyakan. Kepalanya mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu." Ren berjalan kembali ke Fei untuk mengatakan persetujuan dari si paman.
Paman Win menutup pintu dan berusaha menenangkan istrinya yang protes karena dia mengiyakan bahan makanan digunakan Fei. "Sudah, Mih, jangan melawan tuan itu. Kau harus pulih dulu, mengerti? Kau juga, Nai, bersikap baik saja pada mereka agar gagumu sembuh!"
Baru saja Pak Win selesai menenangkan anak dan istrinya yang kesal, pintu kembali diketuk. Beliau bergegas kembali membukakan pintu dan seperti yang diduga, ada Ren berdiri di sana, mengembangkan senyum mencurigakan. Atau … seringai?
"Ya, Tuan?" Paman Win bertanya. Di hatinya ada perasaan tak enak.
"Paman, bagaimana jika istrimu saja yang memasak untuk Fei? Atau putrimu?" Ren bertanya yang lebih terdengar seperti perintah absolut di telinga paman Win.