webnovel

Hari Pertama ‘Pangeran’

Desir angin membelai lembut kulit Pangeran, dinginnya terasa menyejukkan, gelombang kabut mulai menyelimuti desa karena sore telah tiba. Gendhis dan Pangeran bergegas menyelesaikan urusan mereka, satu persatu rumah mereka datangi. Mulai dari yang hasil kebunnya dimakan pangeran hingga yang salah satu jemurannya diambil Pangeran, semuanya diganti dengan hasil menjual kepingan emas Pangeran. Semuanya kembali seperti semula dan warga desa mulai menerima kehadiran Pangeran ditengah-tengah mereka, namun tak sedikit pula yang bertanya tentang hubungan mereka atau bahkan dugaan-dugaan iseng penduduk desa yang sirik dengan kedatangan warga baru mereka.

"Kita ke Pak RT dulu, minta ijin buat kamu tinggal dirumah ku" kata Gendhis berjalan pelan mengikuti ritme langkah Pangeran.

"Untuk apa meminta ijin? Memangnya dia siapa? Aku Pangeran, tidak ada yang berani dengan ku" jelas Pangeran sedikit arogan.

"Heh, sadar. Ini tuh desa, bukan kerajaan kamu" jawab Gendhis sambil melambaikan tangan didepan wajah Pangeran.

Beberapa langkah ke depan sampailah mereka disebuh rumah dengan ubin merah khas jaman dahulu, diketuknya pelan pintu rumahnya yang terbuat dari papan dengan seikit ukiran disamping sisinya.

"Iya, sebentar" sahut seorang laki-laki dari dalam rumah sembari membuka pintu.

"Eh mba Gendhis, silahkan duduk mba" kata Pak RT mempersilahkan keduanya duduk dikursi kayu melingkar ruang tamu.

"Ada apa ya, mba?" tanya Pak RT membuka percakapan.

"Begini pak, saya mau minta ijin buat saudara saya tinggal disini selama beberapa bulan ke depan sampai keluarganya. Eh keluarga saya dari kota datang" jelas Gendhis yang hampir saja keceplosan.

"Boleh saja mba, asal pakai aturan dan adab yang ada ya mba" jawab Pak RT yang sedari tadi menjelajahi tubuh Pangeran dengan manik hitamnya.

"Namanya siapa, mas?" tanya Pak RT.

"Pangeran..".

"Pangeran, pak" jawab Gendhis memotong kalimat Pangeran.

Akan sangat memalukan jika Pangeran Arsana mengakui dirinya seorang pangeran di sebuah kerajaan, karena Gendhis masih belum sepenuhnya mempercayai Pangeran Arsana. Namun entah mengapa dirinya merasa bahwa Pangeran ialah sosok yang baik dan tidak mungkin akan melukai dirinya.

Awan menggelap dan angin masih berdesir lirih menyambut Pangeran dan Gendhis yang keluar dari rumah Pak RT setelah menyelesaikan urusannya dengan perijinan dan segala macamnya. Langkah demi langkah Gendhis dan Pangeran susuri jalan bebatuan menuju rumah, ditemani bunyi jangkrik dan serangga malam pertanda petang akan segera datang. Semilir angin tak hentinya meniupkan kesejukan desa yang jarang ditemui dikota-kota besar.

"Namaku Pangeran, hehe" kata Pangeran coba menggoda Gendhis.

"Hahaha, namaku Gendhis" jawab Gendhis sembari menjabat tangan Pangeran yang dan terus terkekeh bersama.

"Padahal namaku Arsana, bapak itu juga percaya saja dengan omongan mu. Hahahaha" jelas Pangeran yang teringat dengan wajah polos Pak RT mengenal dirinya dengan nama Pangeran.

"Sepertinya aku pernah mengenal wajah bapak itu, wajahnya seperti pelayan istana ku yang tidak bisa dengar. Iya, si telinga gajah. Karena dia punya telinga tapi tidak berguna, hahaha" kekeh Pangeran yang terus membicarakan Pak RT.

"Beneran? Tuli dong ya? Hahahaha, kocak. Oh ya, mau makan apa kita nanti malam?" tanya Gendhis lagi.soun

"Aku ingin yang panjang-panjang kuning seperti rambut, yang tadi siang kita makan" jawab Pangeran.

"Apasih? Oooh, mie?" tanya Gendhis teringat semangkuk bakso dengan mie kuning yang mereka makan siang tadi.

"Mie? Ya mungkin itulah, yang aku tau bentuk panjang dan bergelombang dan sering muncul di sebuah kotakan menyala di rumah mu" jelas Pangeran lagi.

"Ohhh, tv? Iya, namanya mie. Aku jagonya bikin mie yang enak. Ayo, masuk" ucap Gendhis sembari tangannya sibuk membuka kunci rumahnya.

Lama berjalan dengan bercerita memang tidak terasa melelahkan hingga mereka sampai dirumah dengan awan yang telah sepenuhnya gelap. Bunyi guntur dan kilatannya mengantar Gendhis dan Pangeran masuk kedalam rumah mereka. Gendhis bergegas membuka lemara pendingin kuno miliknya, dijelajahi isi kulkas yang tak terlalu rapid an hanya berisikan beberapa mie instan, telur dan hasil sayur kebun mereka. Kini saatnya Gendhis bergelut dengan dapur kesayangannya, diambilnya karet gelang yang melingkar di tempat aksesorisnya. Leher yang jenjang dengan sisa rambut yang menjuntai membuat Gendhis terlihat makin berkarisma. Tangannya dengan lihai meracik makanan yang akan ia santap malam ini bersama Pangeran. Selang beberapa menit, dua buah mangkok berisi mie instan tersaji diatas meja makan, Gendhis bersiap memanggil Pangeran. Namun dirinya lagi-lagi terkekeh lucu melihat tingkahnya yang ingin tampil cantik di depan Pangeran. Sungguh Gendhis yang aneh malam itu.

"Pangeran, mienya udah siap. Ayo, makan. Ntar nggak enak kalo udah dingin" belum selesai Gendhis memanggil. Dirinya dikagetkan dengan Pangeran yang berdiri didepannya menggunakan handuk dipundak dengan rambut yang setengah basah, Gendhis terpaku dan terpana dibuatnya.

"Apa ada? Duduklah" sapa Pangeran mengagetkan lamunan Gendhis.

"Ah, iya. Makanlah, cicipi masakanku" suruh Gendhis memperlihatkan mie instan dengan berbagai toping sayuran dan sosis instan yang biasa ia simpan di kulkan.

"Emmm, ini apa? Kenapa tidak ada bola dagingnya?" tanya Pangeran mencari gundukan bakso yang sebelumnya ia makan.

"Ini namanya mie instan kuah, kalo tadi bakso. Coba dulu" suruh Gendhis.

"Enak, wah. Ini enak, aku suka. Ini juga rasanya seperti bakso" jawab Pangeran dengan menekan kata 'bakso' yang baru ia pelajari.

Tangannya yang lembut mengusap kepala Gendhis, dengan mata yang berbinar menatap Gendhis dengan mulutnya terus mengunyah makanan yang ia anggap baru dilidahnya. Gendhis kaget dan matanya sontak terbelalak, pipinya memerah dan suasana dingin berubah panas. Dirinya seakan dipuji dengan kasih sayang yang lama tak ia rasakan sejak kepergian mediang kakeknya.

Seperti biasa, Pangeran bertugas mencuci piring setelah makan malam. Gendhis yang kelalahan pun mencoba membaringkan tubuhnya diranjang tua kamarnya. Semua pekerjaan sudah ia selesaikan dan kantuk menghampirinya karena hari ini terasa sangat melelahkan. Pangeran yang telah menyelesaikan pekerjaannya pun bergegas masuk kekamar dan bersiap tidur. Namun, betapa terkejudnya ia ketikan mendengar semuah tangisan kecil yang mengarah dari kamar Gendhis, dirinya bergegas bangkit dari tidurnya dan menghampiri Gendhis. Sesaat setelah Pangeran akan mengetuk, pintur kamar itu terbuka dan menyuguhkan pemandangan Gendhis dengan keringat membanjiri tubuh dan air mata yang menggenang dikelopak matanya. Dirinya kemudian memeluk Pangeran dengan sangat erat dibarengi dengan sambaran petir yang mengagetkan keduanya.