webnovel

Gendhis Yang Manis

Selesai membeli segala perlengkapan yang dibutuhkan Pangeran Arsana, Pangeran Arsana merasa takjub dengan lembaran uang ratusan ribu yang ia dapat dari hasil menjual kepingan emas miliknya. Dilipatnya beberapa lembar uang lalu diberikannya kepada Gendhis sebagai imbalan untuk Gendhis yang mau memberinya tempat tinggal dan makan selama beberapa hari kemarin.

"Apa nih? Nggak usah, mending buat bayar pakaian sama buah yang kamu ambil kemarin aja. Yuk" tolak Gendhis yang kemudian mengajak Pangeran Arsana pulang dengan menunggu mobil bak yang biasa digunakan warga desa saat ingin kembali dari kota.

"Untuk yang kemarin sudah aku sisihkan, ini untuk kamu belikan makanan dan keperluan lain" jawab Pangeran Arsana memaksa Gendhis menerima uang yang diberikannya.

"Nggak usah, aku masih ada uang kok. Lagian kamu yang lebih perlu, karna disini kan nggak ada keluarga kamu" jawab Gendhis yang masih enggan menerima pemberian Pangeran Arsana.

"Keluarga? Ah, iya. Aku harus mencari Pangeran Aksara" jawab Pangeran Arsana mengingat tujuannya datang ke desa itu.

"Nah, itu bisa kamu buat cari pangeran siapa tadi?".

"Pangeran Aksara, adik bungsuku" jawab Pangeran Arsana lagi.

"Tapi aku masih punya banyak kepingan emas" kata Pangeran Arsana.

"Kita tidak bisa bolak-balik ke kota, karena aku juga harus kerja. Lebih baik kamu simpen uang itu, nanti kalo aku butuh pasti aku minta kamu" jelas Gendhis.

"Benar ya?" tanya Pangeran Arsana.

Lama mereka menunggu mobil bak yang kosong, beberapa telah penuh terisi oleh penumpang dan tidak ada tempat untuk keduanya duduk dimobil. Pagi berganti siang, sudah saatnya jam makan siang. Tapi keduanya masih saja menunggu mobil bak dan membuat Pangeran Arsana merasa lapar, pangeran yang malu hanya diam dan menahan rasa laparnya. Dirinya terlalu malu untuk mengatakan pada Gendhis kalau dirinya kelaparan, namun tidak untuk perutnya yang terlalu jujur.

"Kruyuuuukkk!!!".

"Kamu laper?" tanya Gendhis sambil tersenyum meledek.

"Tidak" jawab Pangeran Arsana malu.

"Emmm, kita makan disana yuk. Kayanya enak, siang-siang makan yang berkuah-kuah. Sekalian nunggu mobil bak yang kosong" kata Gendhis menunjuk sebuah warung yang menjual makanan untuk sedikit mengganjal rasa lapar mereka berdua.

Keduanya berjalan meninggalkan tempat menunggu mobil bak dan beralih ke sebuah warung yang berada disebrang jalan. Pangeran Arsana hanya mengikuti langkah Gendhis tanpa mengetahui tempat yang ia tuju. Ia yakin bahwa Gendhis tidak akan mengerjai dirinya karena bagi Pangeran Arsana, Gendhis merupakan orang yang baik namun menyimpan banyak rahasia yang tidak diketahui banyak orang. Semuanya jelas terlihat dari sorot mata Gendhis saat memandang Pangeran Arsana.

"Ini apa? Kenapa bulat-bulat seperti ini? Ini bisa dimakan, tidak? Kenapa seperti ini?" tanya Pangeran Arsana kebingungan saat semangkuk bakso yang ia pesan telah disediakan.

"Udah, makan aja" jawab Gendhis sembari menambahkan saus, kecap dan sambal kedalam baksonya. Membuat sebuah citarasa pedas manis dan sedikit asam dari tetesan cuka yang ia tuang kedalam mangkok, makanan yang tidak mungkin ditolak siapa saja diberbagai negara itu memang terasa berbeda disetiap penjual. Dapat diracik sedemikian rupa sesuai selera dan cita rasa masing-masing pembeli. Namun betapa terkejutnya Pangeran Arsana saat mengunyah butiran bakso dengan rasa daging berpadu dengan tepung yang membuat tekstur bakso terasa kenyal dan renyah. Dirinya tidak megenali makanan yang baru saja ia nikmati, rasa yang tidak pernah ia temui sebelumnya.

"Bagaimana rasanya bisa seenak ini?" tanya Pangeran bingung.

"Enak, kan?" tanya Gendhis gembira.

"Kamu suka makanan ini?" tanya Pangeran lagi.

"Kamu tidak suka?" kata Gendhis balik bertanya dan sedikit melirik mangkok, harap-harap dapat menghabiskan makanan yang ia sukai.

"Tidak, aku suka. Aku suka daging" jawab Pangeran sembari menutup mangkok dengan kedua telapak tangannya. Seperti paham makna pertanyaan Gendhis.

Selesai satu mangkok bakso mereka habiskan, cukup kenyang untuk Gendhis yang bertubuh mungil. Namun, tidak untuk Pangeran yang kini menikmati mangkok ketiga baksonya. Pembeli yang keheranan hanya tersenyum tipis kearah Gendhis. Gendhis membalasnya dengan tersenyum kecut sembari menahan malu atas perbuatan Pangeran, rupanya Pangeran memiliki kecintaan terhadap bakso, sama seperti dirinya. Gendhis menatap Pangeran yang asyik menikmati bakso pun teringat akan mendiang kakeknya, kakek yang selama ini merawat dan membesarkannya dan memperkenalkannya dengan bakso. Rasa rindu sering kali menggelayuti pikiran Gendhis, namun ia coba menepisnya dengan mengisi waktu luangnya untuk berkebun dan memasak makanan kesukaannya. Setidaknya dapat melepaskan rasa rindunya terhadap kakeknya.

"Emm, dimana keluarga mu?" tanya Pangeran sembari mengelap mulutnya dengan kerah baju yang dipakainya.

"Iiiiih, jangan gitu. Ini, pakai ini" jawab Gendhis yang tidak ingin baju mendiang kakeknya kotor terkena kuah bakso yang tersisa dibibir Pangeran.

"Totalnya 60 ribu ya, mba" kata penjual bakso sembari membereskan bekas mangkok diatas meja.

"Ini, pakai ini saja" kata Pangeran memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu miliknya.

"Eeehhhh, nggak usah. Lagian itu kelebihan" kata Gendhis yang sibuk membuka tas dan mencoba meraih dompetnya didalam sana.

"Ini mas, segini saja. Ini juga kembalian kok" kata penjual memungut satu lembar uang itu dan bergegas mencarikan kembalian.

"Tidak papa, lagi pula kamu hanya makan satu periuk" jawab Pangeran santai.

"Oke, buat kali ini nggak papa. Tapi lain kali kamu harus lebih berhati-hati sama uang mu, karena kita kesini hanya satu bulan sekali atau bahkan satu tahun sekali" kata Gendhis.

"Baiklah, tenang saja. Aku cukup bijak mengatur uang" jawab Pangeran dengan memberikan sedikit penekanan pada kata 'uang' yang baru ia pelajari.

"Oh ya, aku tadi bertanya kepadamu. Dimana keluarga mu?" tanya Pangeran lagi.

"Ayo, itu ada bak bak an kosong" jawab Gendhis yang lagi-lagi tidak sesuai dengan pertanyaan Pangeran.

Gendhis meraih tangan Pangeran dan mengajaknya berlari mengejar mobil bak yang telah berhenti sepenuhnya disebrang sana. Dirinya kemudian menaiki bagian belakang bak mobil itu dengan sangat lihai, tak lupa pula dirinya membantu Pangeran menaiki mobil dengan mengulurkan tangannya. Keduanya duduk dibagian belakang mobil bak yang kosong dan hanya berpenumpang mereka berdua, angin yang cukup kencang membuat Gendhis kehilangan karet rambutnya. Rambut ikalnya tergerai dan sedikit melambai-lambai menutupi iris matanya. Pangeran seperti dibuat terpana oleh kemolekan paras ayu Gendhis yang memiliki kulit coklat dan alis yang tebal. Pangeran tak lekang memandangi Gendhis yang sibuk mengatur rambutnya, mereka pun menikmati perjalanan menuju desa diatas awan tanpa Pangeran menerima jawaban tentang asal muasal keluarga Gendhis.