webnovel

Paman Memanjakanku Setiap Hari

Bagaimana jadinya anak berumur 18 tahun telah bercinta dengan paman temannya yang berumur 30tahun? Alana Kanigara adalah pemilik Klub Mentari. Ia baru saja mendapatkan sponsor dari seorang pria yang katanya adalah paman Jessica, temannya sendiri. Dengan sangat yakin Jessica berkata pada Alana bahwa dengan bantuan sponsor pamannya, Klub Mentari akan bersinar semakin terang! Tapi siapa sangka, ternyata paman Jessica adalah pria sama yang telah memadu cinta dengan Alana saat Alana mabuk?! Bagaimana nasib Alana kedepannya? Apakah Angga akan menjadi pasangan serasi dan bertanggungjawab bagi Alana? Atau apakah dia tidak ada bedanya dengan om-om mesum dan pria hidung belang lainnya?

Writing_Minerva · 若者
レビュー数が足りません
421 Chs

Satu Malam Denganmu

Dia adalah seorang pria tampan dengan potongan rambut hitam pendek. Lampu di dalam mobil menyala, bahkan sinar lampu yang kekuningan itu membuat wajahnya terlihat tampan dan elegan dari samping. Alis yang tebal membuat sepasang matanya yang tajam terlihat mempesona. Hidungnya mancungnya yang indah menambah pesona pria itu.

Bibir tipis itu berwarna merah karena terkena tetesan darah dari hidungnya.

Alana mengusap darah segar itu membuat tangannya juga berwarna merah. Dia langsung menarik badan Angga mendekat!

"Ma-maaf, aku tidak sengaja, Paman! Aku kaget tiba-tiba Paman mendekat seperti tadi"

Angga tidak berbicara, hanya memandangnya diam.

Melihat hidungnya yang mimisan, Alana mengambil beberapa tisu dan langsung memberikannya kepada Angga. "Pertama, hentikan pendarahannya dulu!"

Angga mengambilnya dan menyeka darah di hidungnya dengan santai.

"Ah.. Paman ingin pergi ke apartemen sakit saja?" Alana bertanya dengan gugup. Cedera yang dia buat begitu serius karena sampai membuatnya mimisan seperti itu. Dapat dia lihat darah merah membasahi kemejaja juga.

"Tutup pintunya."

Angga berkata dengan dingin.

"Oh!" Alana buru-buru menutup pintu mobilnya.

Angga menatapnya dan melanjutkan berkata, "Pakai sabuk pengamanmu."

"Oh, ya!" Alana buru-buru mengambil dan memakai sabuk pengamannya dengan cepat..

Angga menyandarkan kepalanya di kursi, mengambil ponsel dan mengetik sebuah nomor, lalu menyerahkan ponsel itu ke Alana. "Katakan pada Jessica bahwa kau akan beristirahat bersamaku malam, menginap di apartemenku dan tidak kembali ke asrama dulu" ujarnya.

"..." Alana ragu-ragu dengan itu.

Angga menunjuk ke hidung pria itu yang disumbat tisu dan berkata, "Kau harus ke apartemen sakit dulu, lalu aku akan kembali ke asrama. Bagaimana kalau mimisanmu bertambah parah?"

Alana menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Paman, apakah kau sudah sudah menjemput Alana?" suara Jessica terdengar di balik telepon.

"... Jess."

"Ini aku! Alana!"

"Eum..." Alana masih ragu-ragu untuk mengatakannya.

Angga tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi hanya meletakkan tisu bekas darahnya di kotak sampah. Pria itu dapat melihat banyak sekali darah di tisunya!

"Um … jalanan begitu macet tadi, Paman ... kata paman ... aku boleh menginap di apartemennya dulu..."

"Oh, baiklah! Kebetulan air di asrama sedang mampet! Kau tidak akan bisa mandi di sini, Lana."

"..." Alana melirik Angga dengan sedikit tidak nyaman. Dia melihat Angga yang tersenyum kecil.

Wah, bisa-bisanya dia tersenyum dengan tidak bersalah seperti itu! batinnya jengkel.

Juga air di asrama mampet! Dia tidak tahan kalau tidak mandi sehari saja! Bagaimana ini?!

Setelah selesai berbicara dengan Jessica, Alana menyerahkan kembali ponselnya ke Angga.

"Paman ... kau merasa lebih baik?" tanya Alana khawatir.

"Aku harap begitu." Ekspresi wajah Angga membuat Alana kembali merasa bersalah.

"Kau terlihat kuat, tapi bisa k.o juga hanya dengan satu pukulan ..." gumam Alana sambil menoleh ke arah jendela di sampingnya..

Angga tidak tersinggung mendengar perkataan gadis itu, dan hanya mengangkat bahu tidak peduli. Kemduian berkata, "Bagaimanapun juga, aku ini lebih tua darimu. Kau seharusnya lebih menghormati orang yang lebih tua darimu, kan? Bagaimana bisa kau memukulmu sepert tadi?"

Pria itu sengaja menekankan kata "tua" yang membuat Alana semakin merasa bersalah.

Sesampainya mereka di apartemen Angga, Alana sudah jatuh tertidur di kursinya.

Dia tidur dengan kepala miring dan mulutnya sedikit menganga.

Angga tertawa kecil melihatnya.

Gadis kecil ini sangat manis saat tertidur seperti itu, batinnya.

"Alana ..." ucapnya tanpa sadar.

"Apa? Dimana ini …"

Anehnya Alana terbangun saat mendengar namanya disebut. Angga hanya diam tidak menjawab.

Angga menoleh kepadanya dengan ekspresi biasa kembali. "Kita sudah sampai."

"... Oh."

Alana melepaskan sabuk pengamannya. Begitu keluar dari mobil, dia dapat merasakan hawa dingin yang menusuk kulitnya menyebabkan gadis itu langsung menggigil kedinginan.

Angga melepaskan mantelnya dan memakaikannya ke tubuh Alana.

Alana tertegun sejenak, dan tanpa sadar tangannya ingin menolak mantel itu, tetapi Angga sudah memeluknya dan berjalan ke gedung apartemen dengan Alana berada di sekeliling lengannya. Dia tidak melepaskannya pegangannya sampai mereka memasuki lift.

Tubuh Alana menegang. Dia merasa sikap dan sentuhan dari Angga terlalu berlebihan.

Dia memandang pantulan dirinya dari kaca lift. Rambutnya yang berantakan dengan wajah pucat itu membuatnya terlihat menyedihkan.

Alana memergoki Angga juga menatapnya dari kaca lift. Tatapan matanya masih tertuju padanya dan dia tersenyum kecil. Dapat dia rasakan elusan tangan besar orang di sampingnya.

"..."

Dia seharusnya merasa jijik saat disentuh seperti itu. Namun, dia benci mengatakan bahwa dia tidak menyukai sentuhan pria ini.

Jika dia tidak tidur di kamarnya malam itu dan berakhir melakukan "itu", mungkin pria itu hanya akan menjadi paman sahabatnya. Tidak lebih dari itu dan bahkan Alana akan mengaguminya juga seperti Jessica yang selalu mengagumi pamannya.

Mengagumi ketampanannya yang luar biasa, sopan santunnya, kemampuannya yang luar biasa, dan hal-hal mempesona lain dari pria itu.

"Paman ..." ujarnya pelan.

"Ya?"

"Aku pikir kau menjadi lebih baik padaku."

"..."

"Jika kau berpikir aku akan luluh dengan sikapmu yang baik seperti ini, kau salah besar. Jika tidak ..."

Alana medongakkan kepala sedikit dan menatapnya tajam seperti sedang mengancam.

Pintu lift terbuka, dan Angga keluar lebih dulu.

"Jika tidak?" tanyanya.

Alana mengikuti keluar, mendengus, dan berkata dengan sengit, "Aku akan memberi tahu Jessica kalau kau kau berbuat jahat padaku, bahkan memberitahu semua orang! Agar satu Indonesia juga tahu, kalau kau itu sebenarnya orang yang jahat! "

"Oh? Apa kau berani bilang begitu?"

Alana menyilangkan kedua tangannya di dada dan berkata, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Awas saja kalau kau macam-macam denganku!"

Angga hanya memerhatikan Alana yang mengancamnya seperti itu, namun dia tidak merasa terancam sama sekali.

Dia sekarang tahu mengapa Jessica bisa berteman dengan gadis ini.

Sifat mereka sangat mirip ...

"Itu bagus."

Angga menjawab singkat, lalu membukakan pintu dan memasuki ruang apartemennya.

Bagus katanya?

Alana berkedip dan memandang Angga dengan ekspresi tidak percaya. Mengapa kata-kata itu terdengar aneh?

Lupakan, dia sudah menjelaskannya pada pria itu!

Memikirkannya membuat Alana menjadi lebih rileks, dan mengikuti masuk ke dalam ruangan.

Pemanas dalam apartemen itu menyala, membuat ruangan itu hangat. Berbeda ketika dia berada di luar.

"Mau makan apa?" tanya Angga sambil melepaskan mantelnya.

"Aku tidak lapar. Jangan khawatirkan aku. Aku mau tidur dulu." jawab Alana pelan.

Angga melihatnya memasuki kamar Jessica. Dia dapat mendengar dengan jelas suara pintu yang terkunci.

Dia menggelengkan kepala saat berpikir bahwa sifat mereka memang sama ..

Begitu Alana berbaring di ranjang, kepalanya menjadi pusing, dan perutnya sedikit mual. Dia memiringkan tubuhnya dan menyelimuti dirinya. Mencoba untuk membuatnya nyaman.

Alana tidak tahu berapa lama dia tertidur, hingga sebuah suara membangunkannya.

"Lana, bangunlah."

"Um ..." Alana membuka matanya dan melihat wajah Angga di depannya, "Paman ..."

"Kau demam. Apa ini sudah waktunya kau minum obat?" tanyanya

"Iya..."

"Kau bisa duduk?"

Alana mengerutkan keningnya saat tahu tubuhnya sangat lemah untuk sekedar duduk, "Makanlah dulu, minum obatnya, lalu tidur."

"Baik..."

"Oke, jangan bergerak."

"Paman..." panggil Alana pelan.

"Ya?"

"Aku… jelas-jelas sudah mengunci pintu kamarnya. Bagaimana kau bisa masuk? Aku sudah berkata kalau aku hanya ingin tidur? Apa yang kau lakukan di kamar seorang gadis di tengah malam seperti ini?"

Alana memang masih lemah, tapi otaknya masih bisa berpikir jernih!