webnovel

OUR JOURNEY

Judul sebelumnya: Rumitnya Persahabatan [REVISI] Entah berapa lama lagi kita dapat bersama. Intinya, waktu yang aku habiskan bersama kalian sangat berharga bagiku. Selalu ada canda dan tawa serta duka di setiap perjalanan kita

Enjizoo44 · 若者
レビュー数が足りません
134 Chs

Bab 129

Malam ini, Nicholas tidur di sebelah istrinya setelah sekian lama. Biasanya, dia akan tidur di kantor untuk menghindari Raya yang selalu saja mengamuk kepadanya. Selain itu, dirinya merasa terancam dengan kehadiran Josh yang belakangan selalu terlihat bersama Raya.

"Sayang, boleh peluk?" Tanya Nicholas.

"Peluk sekretaris kamu aja sana, ngapain balik kesini?" Balas Raya sarkas.

"Ini kan rumah aku," kata Nicholas, berharap jika Raya akan merengek kepadanya. Diluar dugaan, Raya bangun dan menatap Nicholas remeh.

"Oh iya, aku lupa kalau ini rumah kamu. Maaf, karena udah 8 bulan aku numpang di sini." Raya turun dari tempat tidurnya, mengambil baju yang ada di lemari dan memasukan baju-baju itu ke dalam koper.

"Kamu mau kemana? Raya!" Teriak Nicholas memegang tangan Raya kuat.

"Peduli apa kamu, ha? Aku juga bisa kok nyari tempat tidur yang lebih nyaman dari di sini! Masih banyak tempat yang bisa aku jadiin tempat pulang!" Teriak Raya dan menghempaskan tangan Nicholas.

"Sayang, jangan kaya gini dong. Iya aku minta maaf, aku salah." Nicholas terus memohon kepada Raya yang makin mempercepat gerakannya.

"Sayang, please jangan tinggalin aku."

"Terserah aku mau ninggalin kamu! Selama ini sikap kamu ke aku gimana? Baik nggak? Capek tahu nggak sih Nik! Aku bertahan sama kamu bukan karena aku cinta sama kamu, itu karena Papa aku nggak ngizinin aku cerai sama kamu! Ada Mama sama Papa kamu juga!" Teriak Raya menatap Nicholas penuh amarah.

"Iya, maaf. Aku salah, sayang."

"Emang kamu salah! Ada yang bilang kamu bener di sini? Minggir! Biarin aku pergi malam ini!"

Nicholas mengunci pintu kamarnya dan membuang kuncinya ke luar melalui jendela.

"Kamu nggak bisa pergi Ray, kalau mau pergi besok aja biar aku anter. Please jangan gini," ucap Nicholas. Berlutut di hadapan Raya.

"Nik, sumpah. Aku bingung sama jalan pikiran kamu. Kamu boleh ngilang berhari-hari sedangkan aku nggak boleh. Kenapa sih?"

"Karena aku sayang sama kamu, Ray. Aku cinta sama kamu!"

"Bullshit! Dulu juga bilang gitu, tapi sekarang apa? Apa ada bukti yang menunjukan kalau kamu emang beneran cinta sama aku?" Tanya Raya sambil menunjuk dirinya.

"Emang awal kita pacaran, sampai kita pindah ke Jepang semuanya manis. Tapi setelah itu? Ya sama aja kamu kaya cowok lain, moodyan, marah-marah nggak jelas. Aku pikir setelah kita nikah kamu mau berubah, tapi ternyata aku salah. Kamu sama aja kaya Nicholas yang egois!"

"Ray, aku janji akan berubah."

"Kapan?"

Nicholas diam dengan tatapan melasnya. Raya yang lelah akhirnya menyerah, dan kembali berbaring ke tempat tidur.

"Ray aku…."

"Jangan sentuh aku! Aku udah kasih kamu kesempatan tapi nggak kamu ambil!"

Nicholas menghela napasnya, tidur di sebelah Raya yang sedang memunggunginya. Nicholas menyesal pernah menyia-nyiakan Raya, itu bukan kehendaknya tapi kehendak hatinya yang belum bisa menerima orang baru di kehidupannya. Belum bisa menerima status baru. Setelah lama berpikir, Nicholas memejamkan matanya, dan tertidur setelah lama bergulat dengan pikirannya.

Fajar menyingsing, menyilaukan Nicholas yang tidur menghadap tirai langsung. Raya sengaja membuka tirai kamarnya agar dia tidak perlu repot-repot membangunkan Nicholas.

Nicholas sudah sepenuhnya sadar, saat melihat Raya duduk bersandar di kepala kasur. Memainkan handphonenya.

"Raya, kamu udah bangun?"

"Cepet buka pintunya, aku mau keluar."

"Kamu libur hari ini?"

"Mau nggak mau harus libur, nggak bisa buka pintu gara-gara kamu."

"Aku nggak punya kunci serep, gimana dong?" Nicholas tersenyum lebar.

"Yaudah nggak usah keluar selamanya. Kita diam aja disini sampe jadi tulang belulang." Nicholas tertawa mendengar penuturan Raya.

"Apa? Kenapa ketawa?" Teriak Raya.

"Kata-kata kamu lucu, bikin mood aku jadi naik. Tunggu ya aku chat Nathan dulu." Nicholas memunggungi Raya dan mengutak-atik handphonenya.

"Nathan masih kerja, kemungkinan nanti sore kita baru bisa keluar. Yang lain juga masih pada kerja."

"Aku minta tolong Josh aja."

"Jangan!"

"Kenapa? Kalau kamu nggak mau keluar yaudah, kamu tinggal aja sendiri di sini."

"Sayang, aku nggak mau mobil Josh lewat di depan rumah aku. Paham?"

"Emang jalan itu punya kamu?"

"Iya, Mama sama Papa yang ikut biayain pembuatan jalan di depan rumah kita."

Raya menegak salivanya, kaya sekali keluarga Nicholas hingga bisa membiayai pembuatan jalan.

"Pokoknya kita tunggu aja Nathan, kamu laper nggak?" Nicholas menarik tubuh Raya kedalam dekapannya.

"Lepas nggak!"

"Nggak, kamu milik aku seutuhnya!"

"Beliin aku makan, aku belum sarapan. Tega kamu ngebiarin aku kelaperan pagi-pagi."

"Iya, kamu mau makan apa?" Tanya Nicholas.

"Mau mentai."

"Iya, siap!"

"Gimana cara kamu beli? Kan pintunya kekunci."

Tanpa berkata banyak, Nicholas bangun dan mengambil drone. Menerbangkan drone itu sebentar.

"Mau ngerekam apa kamu, Nik?" Tanya Raya.

"Bukan ngerekam, mau ngambil pesenan kamu."

"Bang Udin!!!! Mentai dua ya!!!" Teriak Nicholas.

"Nik, ngapain teriak-teriak?" Tanya Raya.

"Tenang, udah biasa. Cuma kamu belum pernah ngeliat aku kaya gini. Dulu, waktu masih remaja aku sering kaya gini sama Nathan sama Nayara juga. Mau coba? Sini."

"Nggak."

"Udah ayo sini, nggak usah malu-malu." Nicholas menarik paksa tangan Raya.

"Ayo teriakin pesenan kamu."

"Nggak!"

"Ck! Nggak usah malu-malu dibilangin. Biasanya juga malu-maluin."

"Siapa tadi nama penjualnya?" Tanya Raya, bersiap berteriak.

"Bang Udin, dia jual makanan Jepang sama nasi uduk modifikasi." Jawab Nicholas.

"Nasi uduk modifikasi gimana tuh? Enak nggak?" Tanya Raya.

"Enak, bilang aja kamu mau nasi uduk modifikasi."

"Okay," Raya menarik napasnya dan berteriak keras.

"Bang Udin! Nasi uduk modifikasi satu ya!!!!"

"Nasi uduk modifikasi teh apa neng?" Tanya Bang Udin.

"Nasi uduk modifikasi yang abang jual lah."

"Nggak ada menu aneh-aneh begitu neng."

"Nik?"

Nicholas sudah menenggelamkan kepalanya di pinggiran kasur, menahan tawanya. Raya menarik leher Nicholas karena jika ingin menarik baju Nicholas, Raya tidak bisa karena Nicholas tidak memakai baju.

"Maaf sayang, lucu banget kamu mau aja di tipu."

"Seneng bikin aku malu?" Tanya Raya dengan tatapan serius.

"Ha?" Nicholas menghentikan tawanya.

"Pesenin aku nasi uduk modifikasi sekarang! Harus sekarang!" Raya kembali ke atas kasur dan memainkan kembali handphonenya.

"Sayang, kan Bang Udin udah bilang nggak ada nasi uduk modifikasi."

"Bodo amat! Kamu tadi yang bikin aku mesen nasi uduk modifikasi, kepingin beneran sekarang! Cariin!" Teriak Raya.

"Huh, nyesel aku."

Mau tidak mau Nicholas memesan dengan susah payah nasi uduk modifikasi yang Raya minta. Tak lama kemudian, drone Nicholas sudah naik sampai ke kamarnya.

"Nih, makanannya udah dateng. Ayo makan," kata Nicholas. Raya turun dan duduk di sofa kamarnya.

"Cuci tangan dulu." Raya menurut, diikuti Nicholas di belakangnya.

"Nih, nasi uduk modifikasinya. Lauknya kari Jepang buat gantiin rendang nasinya terbuat dari Jepang," kata Nicholas membuka bungkus yang tadi ia pesan.

"Makasih, mentai punya ku mana?" Raya masih berucap dengan nada kesal.

"Ini kanjeng ratu. Silahkan di makan," kata Nicholas memberikan Raya sendok plastik yang tadi ia minta dari Bang Udin.

"Thanks. Kamu juga makan mentainya! Jangan ngelihatin aku gitu!"

Nicholas akhirnya menikmati makanannya. Tanpa mereka rasa, matahari sudah semakin terik. Namun, Nathan belum juga datang untuk membukakan pintu.

"Kenapa kamu nggak nyuruh pekerja kamu aja?" Tanya Raya yang sudah duduk di atas ranjangnya sembari melihat Nicholas membersihkan bekas makannya tadi.

"Nggak ada pekerja, mereka dateng pas Mama sama Papa ada di sini atau mau ada perkumpulan keluarga aja." Nicholas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Drone Nicholas kembali naik, membawa ember yang sudah penuh berisi makanan. Bahkan, drone Nicholas tidak bisa terbang seimbang. Raya dengan malas mengambil ember itu dan drone Nicholas.

"Nik, makanan buat siapa?" Tanya Raya saat Nicholas sudah keluar dari kamar mandi.

"Buat kamu lah, buat siapa lagi dong? Aku tuh tahu kalau kamu suka banget ngemil." Nicholas naik ke kasur dan merebahkan dirinya.

"Thanks kalau gitu."

"Sayang, nggak bisa ya kamu maafin aku kali ini?" Tanya Nicholas.

"Kalau kata maaf bisa nyelesaiin masalah, gunanya hukum apa? Gunanya balas dendam apa?"

"Tapi…"

"Untuk sekarang aku belum bisa maafin kamu, itu konsekuensi. Siapa suruh kamu nyia-nyiain aku? Makan tuh sekarang!" Raya pergi ke jendela, melihat matahari yang indah.

"Peluk ya?" Tanpa menunggu jawaban Raya, Nicholas mendekap tubuh Raya dari belakang. Menghirup harum khas tubuh Raya.

"Matahari nya cantik ya?" Kata Raya ikut menggenggam tangan Nicholas.

"Iya, kaya kamu." Raya menggeplak tangan Nicholas.

Dubrak!

Raya dan Nicholas serentak menoleh ke arah pintu.

"Ehh sorry sorry. Lanjutin." Nathan menutup kembali pintunya.

"Papa, ada apa?" Sania menarik gagang pintunya sehingga pintu kembali terbuka.

"Sania…" Raya berlari mendekati Sania dan langsung menggendongnya.

"Tante Raya ngapain berdiri di sana?" Tanya Sania.

"Lagi lihat matahari, kita lihat bareng yuk?" Raya membawa Sania ke jendela untuk melihat matahari.

"Gue udah nyuruh Lo dateng sore aja, ngapain datengnya siang-siang?" Tanya Nicholas.

"Harusnya Lo berterima kasih karena Gue datengnya lebih awal. Lo belum makan 'kan?" Balas Nathan.

"Udah, noh." Nicholas menunjuk bekas makanannya dengan dagu.

"Ohh Bang Udin?" Nathan yang kenal dengan ember khas warung Bang Udin paham dan mengangguk.

"Sekarang gimana? Mau Gue kunciin lagi Lo berdua?" Tanya Nathan.

"Nggak usah, habis ini Mama mau balik. Kita di suruh makan malam dirumah." Jawab Nicholas menolak.

"Akhirnya setelah sekian lama, Gue bisa ngerasain masakan buatan Mama lagi." Nathan tersenyum senang.

"Sana keluar, biar Sania Raya pinjem dulu. Tania mana btw?"

"Tuh di bawah sama Freya, buruan ya turun. Kita beli daging wagyu dulu. Sania, sama tante Raya jangan bandel ya. Papa mau turun ketemu Bunda."

"Siap pak bos!"

"Anak pinter, titip ya Ray."

"Iya, serahin aja semuanya ke Gue Nath."

Nathan menutup pintu kamar pasangan itu lalu turun kebawah menemui istrinya.

"Mana Sania?" Tanya Freya yang sedang bersantai.

"Sama Raya dia. Makan apa Tania?" Nathan duduk di sebelah Tania lalu menoel-noel pipi putrinya.

"Pa! Jangan ganggu Tania, Tania nggak suka!" Bentak Tania dengan wajah sarkasnya.

"Wihh, udah berani bentak Papa ceritanya? Nanti mau jadi anak durjana?"

"Durhaka." Freya menatap julid ke arah Nathan.

"Biasa aja kali matanya!"

"Nayara sama William jadi kesini 'kan?" Tanya Freya.

"Jadi, nanti sore. William masih kerja, Nayara juga lagi ada urusan di perusahaan."

"Aku nggak sabar ngelihat Nayara. Udah lama banget nggak ketemu sama dia. Rumah dia aja jauh banget dari pada yang lain. Setiap kumpul juga nggak pernah dateng semenjak nikah. Apa Nayara nggak dikasih kumpul sama William, Nath?"

"Kurang tahu, tapi kayanya nggak mungkin nggak dikasih. William memang posesif tapi nggak sampe ngebatesin pergaulan Nayara juga. Palingan dia nggak ada waktu aja kali."

"Iya mungkin kaya gitu."

"Oh iya, Mama sama Papa bakal balik hari ini. Sekalian kita makan di sini aja nanti."

"Oma bakal pulang, Pa?" Tanya Tania.

"Iya, nanti malem. Tania kangen nggak sama Oma?" Kata Freya dan memangku putrinya.

"Kangen dong, mudah-mudahan Oma bawa mainan banyak kaya dulu lagi."

"Kalau Oma bawa mainan, bagi ya sama Sania. Nggak boleh egois, oke?"

"Tapi Sania kan udah banyak punya mainan, Pa."

"Kalian 'kan saudara, harus berbagi. Kalau nggak mau berbagi nggak akan Bunda kasih hadiahnya. Bunda kasih Mika aja, gimana?"

"Iya deh, Tania bakal bagi sama Sania." Dengan wajah terpaksa Tania mengiyakan syarat yang diberikan Freya.

"Memang, kamu tuh pawangnya anak-anak." Nathan memberikan dua jempol kepada Freya.

Tinn tinn

"Itu Oma kayanya, ayo samperin."

Nathan mengambil alih Tania dan mengajak Tania ke depan rumah untuk melihat siapa yang datang. Diikuti Freya yang berjalan di belakangnya.

"Sania…" Sherina berlari kecil dan memeluk cucunya.

"Kangen banget sama Sania. Tania mana?" Tanya Sherina.

"Tania lagi main sama Om Nicholas. Opa mana nek?"

"Opa di sini." Rivano menampakan batang hidungnya dari balik mobil.

"Kangen ya sama Opa? Cium dulu."

"Ayo salim dulu sama Opa sama Oma," kata Nathan.

"Ayo kita masuk. Oh iya Freya kamu nggak masak kan?" Tanya Sherina.

"Nggak Ma."

"Biar Mama yang masak masakan spesial buat kalian semua. Nayara sama William udah dikasih tahu kalau kita dateng?"

"Udah dong, ya kali nggak dikasih tahu. Mereka nanti sore kesini."

"Okeii."

"Mama, udah nyampe aja. Baru aja tadi mau Niko telpon supaya bisa jemput Mama," ucap Nicholas yang baru saja turun bersama Raya dan Sania.

"Oma!" Pekik Sania lalu berlari ke arah Sherina.

"Halo Sania, apa kabar?" Sherina menggendong Sania.

"Baik, kalau Oma?"

"Oma baik sayang. Sapa Opa dulu yah," kata Sherina.

"Mau masak apa Ma buat malam ini?" Tanya Nathan dan langsung memeluk pinggang ibunya itu.

"Nggak ribet, cuma mau masak kare, sate telur puyuh, sama hati ampela. Kesukaan kamu, Niko, sama Nayara pokoknya ada semua."

"Asik. Udah bertahun-tahun belum nyoba masakan Mama lagi. Bikin yang enak ya Ma."

"Emang pernah Mama masak nggak enak?" Nathan menggeleng kemudian membiarkan Sherina, Freya, dan Raya mulai memasak.

"Gimana kabar kalian, anak-anak Papa?" Tanya Rivano. Merangkul bahu putra-putranya.

"Baik dong Pa. Papa sendiri gimana? Masih kuat jalanin perusahaannya?" Tanya Nicholas.

"Masih lah! Nggak lihat ini otot tangan Papa makin besar?" Rivano memperlihatkan otot-otot besar miliknya.

"Wihh kalah kita Nik. Punya Gue nggak segede itu." Nathan memencet otot ayahnya.

"Nik, minggu ini Papa minta tolong sama kamu buat urus kantor di Afrika selama seminggu bisa? Papa harus kontrol kesehatan soalnya," kata Rivano.

"Kenapa nggak Nathan aja? Kan dia yang warisin perusahaan Papa," tanya Nicholas.

"Dia juga pergi bareng kamu, Nathan udah tahu soalnya dia ikut meeting waktu itu. Gimana setuju nggak?"

"Niko ok ok aja kalau dikasih job, di sini juga masih ada bawahan Niko yang bisa diandalkan. Kapan berangkatnya, Pa?"

"Santai, hari minggu besok kamu berangkat. Kalau mau ajak Raya gapapa."

"Kalau Freya?"

"Ajak aja, mereka juga perlu liburan."

Mereka bertiga seperti biasa selalu membicarakan tentang bisnis setiap kali bertemu. Sementara di dapur, para wanita sedang sibuk membuat makanan dan sesekali mengobrol juga.

"Ma, nanti Freya mau shoping sama Bunda. Mama ikut ya, Lo juga Ray," kata Freya sambil terus memotong bawang.

"Kita juga ikut Bunda," rengek Tania.

"Iya kalian juga ikut."

"Raya nggak bisa ikut kayanya Ma, ada urusan soalnya."

"Yah, sayang banget. Padahal ini harusnya jadi shoping kita yang official. Yaudah deh, kalau ada urusan mau gimana lagi."

"Maaf ya Ma, lain kali pasti Raya ikut."

"Nathan, telpon Nayara nitip beliin bahan-bahan. Mama udah kirim ke dia list nya, tapi belum di jawab," teriak Sherina.

"Kenapa nggak nyuruh pembantu aja Ma? Kasihan Nayara nanti dia kecapean," kata Rivanno.

"Dia juga sekalian ke swalayan, ini udah bilang kalau dia telat. Telpon aja, minta tolong."

"Iya iya."

Nathan pun melakukan apa yang disuruh Sherina. Nayara juga sudah mengangkat telephone dari Nathan. Kini, ia dan William sedang berada di swalayan.

"Berat nggak Will?" Tanya Nayara yang berjalan sambil mengalungkan tangannya di lengan William.

"Nggak, cuma segini doang mah gampang. Biasanya aku gendong kamu dari ruang tamu ke kamar juga."

Nayara lebih suka tidur di sofa dari pada di kamarnya. Maka dari itu, William harus selalu siaga untuk menggendong Nayara ke kamarnya agar tidak kedinginan.

"Kan aku udah bilang, nggak usah di gendong. Aku lebih nyaman tidur di sofa dari pada di kamar," ucap Nayara.

"Tapi nanti kamu masuk angin. Di ruang tamu nggak ada jendela, jadi udara lebih gampang masuk. Lagi satu, nanti kalau ada nyulik kamu gimana? Aku harus nyari kamu lagi."

"Kan ada Grey yang jaga, jadi kamu nggak perlu khawatir sama keselamatan aku. Grey kan pinter duel."

"Bukan masalah pinter duelnya, Sayang. Kamu istri aku masak dilindungi sama Grey. Harusnya aku dong yang lindungin. Pokoknya, kamu gapapa tidur di sofa, nanti aku temenin yah." William memegang pinggang Nayara dengan tangan satunya yang mendorong troli.

Setelah tiga puluh menit berkeliling swalayan, mereka akhirnya kembali ke mobil. Di dalam mobil, sudah ada Grey yang stand by di kemudinya. Awalnya ia ingin mengikuti pasangan itu, tapi pasangan itu menolak dan hal hasil Grey di perintah untuk duduk di dalam mobil.

"Grey, bantu masukin barang belanjaan Gue," kata William.

"Banyak banget, bos."

"Kan buat sekeluarga. Udah, ayo kita jalan."

Grey pun kembali ke kursi kemudi dan melajukan mobilnya. Di belakang, ada William yang memberi Nayara pundaknya untuk tidur.

"Nayara sering tidur, apa itu pengaruh hamil ya Grey?" Tanya William.

"Kayak nya iya deh Bos. Soalnya waktu kakak saya hamil, dia tidur mulu. Terus lebih suka makan yang manis-manis gitu."

"Berarti normal yah? Gue cuma takut kalau Nayara sakit. Soalnya dia produktif banget. Tumben lihat dia di kasur mulu sepanjang hari."

"Nggak, itu normal Bos. Nyonya Nayara kan harus bawa bayi setiap waktu, nutrisinya juga dibagi dua sama calon bayi. Jadi wajar lah lemes."

"Gitu kali."

Mereka sampai di rumah Sherina.

"Lo balik aja duluan, Grey. Nanti Gue telphone kalau ada perlu sama Lo," ucap William.

"Siap Bos!" Grey pun melajukan mobilnya dan pergi dari sana.

"Putri Mama akhirnya dateng juga. Sini-sini duduk hati-hati," kata Sherina lalu memeluk Nayara.

"Will, duduk sini," panggil Rivano dan merangkul menantunya itu.

"Gimana kabar kalian, hm? Nggak nyangka kalau kalian juga bakal ngasih Mama cucu." Sherina tak henti-hentinya mengecup pucuk kepala Nayara.

"Kamu baik-baik aja kan Nayara? Ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Rivano.

"Nggak Pa. akhir-akhir ini Naya sering ngantuk berat. Boleh nggak Naya tidur dulu sebentar sebelum makan malam?"

"Iya, William anter Nayara ke kamarnya yah. Selamat tidur putri Papa." Rivano mengecup kening Nayara dan membiarkan Nayara ke kamarnya.

"So sweet banget William," celetuk Raya.

"Niko emang nggak ya Ray?" Tanya Sherina.

"Sweet kok Ma, dia mah perfect." Kata Raya lalu menatap Nicholas dengan sebal.

"Bisa aja kamu tuh Ray." Sherina tertawa mendengar jawaban menantunya.

William perlahan membaringkan tubuh Nayara. William menutupi tubuh Nayara dengan selimut, lalu duduk di pinggir kasur dan memeluk tubuh Nayara.

"Ngantuk banget ya? Maaf ya udah bikin kamu kaya gini," kata William.

"Hmm, gapapa. Tapi Will, aku nggak bahagia sama kehamilan ini. Aku jahat ya?" Tanya Nayara menahan tangisnya.

"Kenapa?" William tetap tenang dan menjaga intonasi suaranya. Padahal jauh di lubuk hatinya, dia sedih mengetahui bahwa Nayara membenci janinnya.

"Bukan selalu, tapi kadang-kadang. Kadang-kadang aku bahagia bisa hamil. Aku takut Will. Aku sayang sama anak kita."

"Iya iya aku tahu, itu mungkin karena kamu masih mau nikmatin masa muda kamu. Iya aku paham, gapapa." Sedikit lega mengetahui fakta jika Nayara hanya merasa seperti itu sebentar.

"Aku jahat ya, Will?"

"Nggak, kamu masih mau ngerawat janinnya. Kamu nggak jahat, wajar ngerasa gitu sayang. Udah jangan dipikirin. Tidur aja, nanti setelah bangun pasti ngerasa lebih baik." William mengusap bahu Nayara yang membelakanginya.

Nayara berbalik lalu memeluk tubuh William erat.

"Aku capek Will, badan aku selalu lemes. Aku nggak suka sama keadaan aku yang sekarang." Nayara menangis kecil di pelukan William.

"Berarti kamu cuma nggak suka sama kondisi kamu, bukan sama bayi kita. Gapapa, jangan nangis. Nanti bayi kita ikut sedih ngelihat Mamanya nangis. Nanti dia dendam lagi sama aku karena aku dikira yang nyakitin kamu. Diem ya."

"Will aku pusing." Nayara merintih pelan.

"Iya itu karena kamu nangis. Tenangin diri kamu ya."

William terus mengusap bahu Nayara dan sesekali mengecup kening Nayara. Perlahan, akhirnya mereka berdua tertidur. Bahkan dalam tidurnya, William mengeluarkan air mata karena memikirkan kondisi Nayara. Apa Nayara akan menderita karena dirinya? Apa Nayara akan selalu merasa seperti ini? Bahkan William bermimpi Nayara mencoba membunuh janinnya di hadapannya. Begitu pedih.

"Ahh!" William tersadar dengan napas yang memburu.

"Bangsat! Ternyata cuma mimpi!" William mengusap wajahnya gusar.

Dilihatnya, Nayara masih tertidur tenang dengan senyuman dan tangannya setia memeluk perutnya. Sebenarnya bukan Nayara bermaksud membenci janinnya, tapi rasa benci itu kadang muncul dengan sendirinya dan membuat tubuh Nayara melemah. Itu juga penyebab Nayara selalu mengantuk akhir-akhir ini. William kembali tertidur di sebelah Nayara.