"Psstt, katanya dia anak dari pemilik yayasan. Tapi sayang, tidak bisa di harapkan." Ucap seorang perempuan berseragam dengan emblem nama sekolah yang paling terkenal di sana,
"Benarkah?! Ahh sayang sekali ya, padahal wajahnya tidak buruk."
"Iya iya, ku dengar dia selalu membuat masalah dan menjadi peringkat terakhir di kelas."
"Tapi aku juga iri dengan orang-orang yang bisa membuatnya mengeluarkan uang loh, meski sifatnya begitu dia juga memiliki sisi baik."
"Haha, iya saking baiknya hanya bisa diam saat dia di bodohi. Seperti orang dungu,-"
"Sstt kau ini! Pelankan suaramu,"
Niel sang tuan tubuh mengeratkan pegangannya pada tas yang tersampir di bahunya. Bahunya terlihat layu dengan wajah yang hanya mampu menatap ke tiap keramik yang ia lalui, telinganya telah terbiasa atas ucapan bisik-bisik yang begitu sering ia dengar hingga mampu menebak apa yang akan mereka keluarkan selanjutnya. Baik perempuan ataupun laki-laki, yang ia tahu bahkan dewan pendidik juga terus merendahkannya bak sampah tanpa melupakan dirinya yang berstatus sebagai anak dari ketua yayasan tempat mereka berkerja ataupun mengenyam ilmu.
Salahkan sang ayah yang begitu baik hingga memasukan seorang perempuan jahat dan membuatnya harus menerima cemoohan dari orang lain, ibunya telah lama mati dan masih harus menerima keluarga baru yang di bawa oleh ayahnya. Menjadikan Niel tumbuh sebagao pribadi yang rendah hati tanpa kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Bahkan sejak awal ia telah menyadarinya, sesaat setelah ibu dan anak itu masuk ke kediaman megahnya. Di saat itu pula semuanya berubah, ayahnya terus di halangi untuk berbincang dengannya oleh sang ibu tiri, belum lagi saudara tirinya Liam terus berulah dan menjebaknya hingga tak lagi ada yang memperdulikannya selain para pelayan yang memang takkan bisa di gantikan yang telah lama menemaninya. Bahkan sesaat sebelum mendiang ibunya meninggalkan dirinya seorang diri,
'Tapp... tapp,'
Langkah kaki menggema di penjuru arah, menandakan jika bangunan yang ia masuki merupakan sebuah bangunan luas yang minim akan kehadiran manusia. Langkah gontainya terus membawa Niel ke tempat yang ia tuju, tempat teraman yang tersisa. Kamarnya sendiri,
'Cklekk, Krieettt'
"Ma, aku pulang..."
Jemarinya meraba sisian dinding yang tak jauh dari kenop pintu berada, sebelum memberikan pencahayaan ke dalam ruangan luas dengan nuansa megah bak istana. Dinding putih beraksen keemasan itu menyapa indera pengelihatannya untuk pertama kali, Niel menatap tepat ke arah figura besar yang berada tepat di atas kepala ranjang king size miliknya.
"Aku masih mendapatkan perlakuan buruk seperti biasa, tapi sama seperti biasa ma.. aku tetap diam, tak apa. Niel sudah berusaha,"
Ia dudukkan pantatnya ke atas tempat tidur empuk yang biasa menemani tidurnya,
"Tidak apa," ucapnya lagi sembari menatap susunan keramik yang takkan berubah selama apapun ia memandang di sana.
"Aku... sudah berusaha,"
Begitu pula suara 'brukk' samar akibat sang empu tubuh yang menghempaskan dirinya sendiri ke atas kapas lembut yang menjadi alasnya berbaring itu melanjutkan ucapannya. Niel menatap langit-langit kamar dengan lukisan langit cerah dengan kapas yang begitu kontras di sana.
"Namun aku tak bisa berbohong ma... Niel, lelah.. sangat,-"
"Kalau begitu.. izinkan aku untuk membantumu, saudaraku ter-sayang." Gumam suara yang masih bisa ia dengar dengan samar di sana.
Niel teramat tahu, hanya ia yang bisa membuka pintu kamarnya. Tidak untuk pelayan ataupun sang kepala keluarga sendiri, karena itulah. Liam selaku saudara tiri Niel menyemprotkan sebuah gas beracun lewat air conditioner agar menyebar ke dalam kamar sang kakak dan terhindar dari tuduhan secara langsung, Niel sendiri mengetahuinya dari gerak gerik yang di lakukan para bawahan Liam. Itulah mengapa dirinya tidak panik sama sekali, inilah yang ia inginkan.
Tidak perduli jika usianya masih begitu belia, ia lelah dan alangkah baiknya jika Niel pergi bersama sang ibunda.
Ia pejamkan manik indahnya, membiarkan kelopak matanya menutup. Membuat helai panjang yang lentik di sana sebagai tirai sutra yang takkan bisa di tolak siapapun.
Membiarkan gas beracun mengisi paru-parunya dengan perlahan,
'Aku tak ingin apapun lagi, biarkan aku tidur dengan tenang. Aku ingin ibuku, hanya itu. Dan aku ingin ...'
***
'Ting!!'
'Ingatan berhasil di masukan, memeriksa keinginan sang tuan tubuh.'
'Ting!!'
'Misi telah ditentukan, membuat sang tuan tubuh kembali mendapatkan kehormatannya dan menyingkirkan tokoh Antagonis.'
Manik itu membuka,
"Begitu rupanya,"
Ia tatap sekitar ruangan yang benar-benar bertolak belakang dengan kamar yang biasa ia jadikan tempat beristirahat, namun sesaat setelahnya mulai tersadar jika dirinya tidak bisa bermalas-malasan.
"Yosh, Tupai. Apa yang aku dapatkan jika menyelesaikan misi pertamaku ini? Lalu jika aku gagal, apa mendapatkan hukuman?" Ucapnya bertanya pada seekor tupai dengan dua gigi depan yang menonjol.
"Jika kau berhasil menyelesaikan misi tepat waktu, kau akan mendapatkan 50 poin untuk mengisi tabung kehidupan. Tapi jika kau gagal dan melanggar aturan, poinmu akan di kurangi sebanyak 15 poin."
"Apa-apaan itu?! Benar-benar tidak adil!! Aku ingin,-"
"Kau tidak bisa menentang apa yang dijatuhkan padammu, ekhm akan aku lanjutkan. Lalu jika kau gagal, kau akan di lemparkan ke dunia lain dengan alur cerita yang berbeda pula." Ucap sang Tupai panjang lebar,
"Ahh begitu rupanya,"
"Lalu jika kau berhasil menemukan misi tersembunyi, poinmu akan di gandakan dua kali lipat dari nilai awal. Semakin banyak mendapatkan misi rahasia maka poinmu akan semakin banyak,"
"Ahh begitu rupanya, ku rasa cukup sepadan dengan hukuman-hukuman yang menunggu di belakang. Terima kasih Tupai, aku akan menjalankan misi ini dengan sungguh-sungguh!" Ucap Niel dengan percaya dirinya.
"Tunggu, jangan terlalu percaya diri seperti itu. Kau akan di hadapkan dengan berbagai halangan yang ada di depan nantinya,-"
"Tupai," ucap Niel dingin, sontak saja hal itu membuat Ios tersentak kaget.
"Aku bukanlah orang yang lemah seperti itu, jadi kau tak perlu khawatir. Aku bisa mengatasi semuanya, kau,lihat saja dan serahkan padaku ini."
Terdengar bunyi suara dada yang di tepuk, membuat Niel yang tak menyadari sesuatu yang janggal mulai beransur sadar.
"Tunggu!!"
Ia ulangi acara penepukan dadanya sebelum menarik paksa kemeja yang melekat di tubuhnya,
"Dadaku, di mana..."
"Aku mau jelaskan tapi kau terus menyela perkataanku, jadi selamat berkageat ria." Ucap sang tupai pergi memalingkan wajahnya.
"Tunggu-tunggu!! Ini tidak benar,"
Dan benar saja, sesaat setelah ia menyadari apa yang ada di selengkangannya merupakan benda berbeda dari kepunyaan dirinya yang lama membuat Niel kaget setengah mati dengan mata membola dan juga raut wajah yang tidak percaya.
Pasalnya dua buah gumpalan daging yang biasa ia busungkan dengan bangganya di hadapan para perempuan itu tak lagi bertengger manis di sana, malah selengkangannya terasa sesuatu telah menempel di sana. Benda panjang menjuntai dengan benda yang ia pastikan tidak akan menyentuhnya atas dasar apapun.
"TUPAI SIALAN!! APA YANG KAU LAKUKAN PADA TUBUH INDAHKU!??" Teriak Niel murka, sedangkan Ios yang merasa tidak ada yang salah hanya memakan kuaci yang ia ambil dari sistem.
Bersambung.