webnovel

Home

Celine terdiam menyentuh gagang pintu. Ia menghambuskan napasnya berkali-kali menahan sesak yang kembali berlomba-lomba datang memenuhi rongga dadanya, seolah berebut pasokan okeigen tanpa jeda disana.

Akhirnya ia memutuskan membuka lebar-lebar pintu kayu tersebut, maniknya bergulir menyapu seluruh bayang yang terlihat abu temaram. Beberapa bagian terlihat karena cahaya matahari menelusup masuk dari pintu yang dibukakannya.

Sambutan hampa pertama kali menyapa. Untuk ukuran rumah yang cukup besar rasa-rasanya tidak mungkin membereskannya seorang diri. Selepas pulang les ia tak bisa beristirahat melepas penat.

Celine segera menyalakan saklar lampu samping kiri dekat pintu. Tangan kanannya meraih gagang sapu yang berada dalam rak lemari.

Pikirannya kembali menerawang pada saat ia berusia 10 tahun.

"Sayang kau sudah pulang? Coba ceritakan pada mommy apa yang terjadi di sekolah, hmm" ucapnya sembari mengusak rambut sang anak.

"Apakah menyenangkan?"

Bibirnya mengerucut sebal "Aish mom, aku gak suka rambutnya jadi berantakan kan" Celine melepaskan tas gandong berbentuk tazmania berwarna cokelatnya yang seperti boneka. Terdapat bentuk hati ditengah yang biasa ia gigit saat merasa gemas.

"Lagipula aku ini sudah dewasa tahu. Kau memperlakukanku seperti balita" sambungnya.

Orang yang menyebut dirinya sebagai mommy tadi terkekeh "Anak gadisku sudah beranjak dewasa ternyata, beruntung sekali Tuhan memberikan mommy gadis cantik dan pintar sepertimu" Ia mengais Celine dipangkuannya dan menggesekkan kedua hidung mereka sembari tersenyum. Sesekali saling menggoda dan tertawa bersama.

Ia terus menggelitik badan Celine membuatnya kelimpungan karena Celine terus saja menendang udara secara acak menahan rasa geli pada tubuhnya. Selang beberapa saat ia terjatuh dari atas sofa.

Celine mengerjapkan matanya untuk meproses apa yang terjadi. Ia masih terdiam lalu bangkit dari posisinya menjadi duduk diatas lantai.

"Huaa, mommy jahat huaa" jeritnya menghentakkan kedua kaki dan tangannya bersamaan.

"I'm sorry sweetie, mana yang sakit? Biar mom sihir agar sembuh" Ia mendekatkan diri memeluk anak semata wayangnya dan mengelus kepala Celine yang masih menangis. Dikecupnya kedua mata Celine yang berair.

"Sudah jangan menangis lagi nanti kau menyusut jadi bayi lagi mau? Kan katanya kau sudah dewasa. Harusnya jagoan mommy tidak menangis seperti bayi yang merengek minta susu begini kan"

Celine terus menggelengkan kepalanya lalu mengangguk. Ia tidak mau jadi anak kecil lagi, perlahan tangisannya mereda dan memeluk leher mommy nya.

"I love you"

"I love you too"

"I love you so much, mom"

"Aku sangat sangat menyayangimu"

"No, no i love you more than anything"

"Seperti apa? Seperti seluruh alam semesta dan isinya?"

"Mom, i'm just a kid. How can i know, how's big the universe is?" cemberutnya.

"Oow see? You said that. Mana ada orang dewasa bilang she's still a little kid" balasnya mengejek.

"Lupakan, pokonya Celine sayang mommy and Daddy sangat sangat besar sekali" Celine memejamkan mata sembari berjinjit membuka tangan membentuk lingkaran sebesar yang ia bisa memperlihatkan betapa besar dengan kedua tangan miliknya yang mungil.

"Hanya sebesar itu?"

Celine melepaskan pelukannya dan berlari menjauh, "Momm" rengeknya menggerakan bahu dan mengayunkan kedua tangan.

Sang mommy terkekeh kemudian berjongkok, merentangkan kedua tangannya dengan wajah memelas.

Celine memalingkan wajahnya sesekali melirik sang mommy. Ia terus merentangkan tangan dan bilang akan membelikan apapun yang dia inginkan termasuk baju balet seperti dalam pertunjukkan mistake waltz di panggung opera kemarin malam yang mereka tonton.

Celine tergoda dan akhirnya berlari lalu kembali membalas pelukan hangat sang mommy. Keduanya bangkit untuk makan siang bersama sembari bercanda.

Celine memakan sandwich dua potong dengan extra toping cheese juga salad sebagai pendampingnya. Setelah memakan beberapa gigitan ia sedikit menunduk, tenggorokannya terasa kering ia menelan sisa suapan tadi sedikit kasar.

Keheningan seperti ini membuat ingatan saat pulang dari gimnasium terus membayanginya,ia sedikit ragu unutuk membahas hal yang sedikit mengganggu konsentrasinya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

"Mom, they said i look like a pig"

Sedikit terkejut dengan pengakuan tiba-tiba itu, Alina menatap putri semata wayangnya, "You are special. No matter what they say, Kau adalah malaikat kecilku yang paling berharga"

"Itu kan menurutmu" cicitnya

Alina menjawab santai dan tenang agar Celine tidak terlalu terpengaruh, "Jangan terlalu dipikirkan mereka hanya anak-anak" diusapnya kepala Celine.

"Bagaimana bisa aku tidak memikirkannya? Mereka mengatakannya hampir setiap hari dan mempermalukanku di depan semua orang" Air muka Celine keruh terlihat sekali ia sedang marah.

Mengatakan manusia seperti hewan itu sudah keterlaluan, tapi tetap saja Alina merasa bingung. Atmosfirnya berubah dengan cepat, padahal sebelum makan mereka sempat bercanda dan tertawa.

Tiba-tiba Celine melemparkan sandwich ditangannya kelantai, Alina melihatnya melotot sembari memukul meja. Refleks membuat Celine terkejut.

"Aku tidak mengajarkanmu untuk menjadi kurang ajar! Jika kau merasa apa yang mereka katakan benar, maka hiduplah seperti yang mereka katakan!"

Sedikit menyesal dengan ucapannya, Alina berjongkok mengambil potongan sandwich di lantai yang sudah tidak berbentuk.

"Jangan pernah membuang makanan seperti itu lagi janji? Banyak orang diluar sana tidak memiliki tempat tinggal bahkan untuk makan saja mereka harus mencarinya di tempat sampah. Kalau kau tidak mau, jangan dibuang. Biar aku berikan pada orang yang lebih membutuhkan" Nada biacaranya melembut mencoba menyadarkan Celine, Ia berdiri tersenyum.

Tapi Celine bukannya tenang malah semakin tersulut emosi, ia merasa tersinggung ucapan Alina tidak membantu sama sekali. Ia berpikir sia-sia saja menceritakan pada orang lain. Toh hanya dirinya sendiri yang bisa dipercaya "Kau tidak tahu apa-apa"

"Stop it now. Don't crossed the line, Celine" Tunjuk Alina penuh penekanan. Bukannya Alina berpihak pada mereka, karena orang-orang seperti itu jika kita memberikan reaksi seperti yang mereka inginkan, pasti akan terus mengganggu. Jika dibiarkan mereka akan lelah sendiri dan berhenti.

Sekesal-kesalnya orang tua pada anak mereka, tidak akan sampai tega jika membiarkannya berlarut larut dalam kesedihan terlalu lama. Karena saat dikuasai amarah dengan pikiran negatif kita selalu memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang. Itu akan memperburuk keadaan.

Terakhir kali mereka bertengkar hebat saat Celine akan memasuki sekolah dasar.

"Besok ulang tahun mu bukan, apa keinginanmu?" Ucap Alina menekan egonya mencoba mengganti topik pembicaraan, mengembalikan kembali mood yang tiba-tiba menghilang. Agar hubungan mereka tidak renggang.

"Aku tidak ingin memiliki Ibu sepertimu"

Sapu yang dipegangnya jatuh membuat kesadarannya kembali. Ia menutup pintu sebelum mengambil sapu yang tergeletak dilantai dan kembali melangkah masuk ke dalam.

***

Jeffry membuka pintu kamarnya dan berbaring dikasur, ia megadah keatas memperhatikan langit-langit kamar. Tak sengaja pandangannya jatuh pada meja belajar.

Ia menghela napas dan mengambil benda tersebut asal. Melihat ayahnya sedang duduk nyaman sembari minum kopi depan tv yang menayangkan pertandingan ulang antara Real madrid dan Barcelona semalam.

Cukup aneh karena sang ayah adalah penggemar Liverpool. Katanya meski kita memiliki tim favorit, melihat kemampuan lawan juga sangat penting, dengan itu kita dapat berpikir rasional. Dan bisa membandingkan siapa yang lebih hebat.

Ibarat saat pertandingan kita hanya fokus pada diri sendiri tanpa memperhatikan teknik lawan apa yang akan terjadi? Lawan akan tahu kelemahanmu.

"Dad" Jeffry memanggil ayahnya sembari mengangkat tinggi-tinggi sebuah jas dan undangan yang ia temukan.

Teringat dengan sesuatu ia meletakkan kopi nya, "Oh iya aku lupa memberitahumu son, malam ini kita diundang makan malam oleh Mr. Smith. Kau senang?"

"Dulu kau menangis sampai mogok makan saat tahu Claire akan bersekolah di New York, Mr. Smith memutuskan Claire akan kembali bersekolah disini. Di sekolah yang sama denganmu"

Jeffry terdiam, "Aku sengaja membelikan jas baru untukmu. Kalau tidak mana mau kau memakai jas seperti itu. Nanti malam berpakaian yang rapih. Dia pasti merindukanmu, atau mungkin kau yang merindukannya" Ucap Julian menaik turunkan alis menggoda anaknya.

"Dad" Jeffry merengek, ayahnya ini suka sekali menggoda dirinya. Apalagi jika tentang Claire.

Sudah lama sekali sepertinya ia berada di New York, Claire dan Jeffry adalah tetangga sejak kecil. Claire memutuskan sekolah di New York saat kelas 5 sekolah dasar. Saat itu dia adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki.

***