webnovel

Yang Tertinggal

Sejauh kita berjalan, sejauh itu pula kenangan akan tercipta.

Aku yakin, bahkan ketika ku fikir perjumpaan kita adalah sebuah kebetulan, itu sama sekali bukan, kita hanya tertakdir untuk bersua.

Aku menghela nafas panjang sejenak, setelah rutinitas sekolah mulai mencuri segala waktu yang kumiliki, warna kulit ku yang sering ku elu-elu kan indahnya, karena ia bersinar, bersih dan cerah itu mulai mengkhianati ku, ketika warna nya perlahan menjadi bayangan gelap samar yang agak kurang merata seperti lukisan abstrak sang maestro. Aaakh !!! tak pelak lagi persiapan agenda barbeque untuk ucapan selamat datang anggota baru pramuka juga mulai dengan kejam mengambil satu-satunya hal bagus yang ku miliki sebagai seorang cewek pubertas yang juga mengharapkan sebuah kisah cinta indah bak telenovela.

Namun, ku abaikan segalanya, bahkan ketika rambut ku semakin bertambah awut-awutan karena harus setiap hari bergerilya di bawah terik nya matahari, ini lah perjuangan itu dan tentu saja sang pejuang tidak pernah sendirian. Ada mereka, kaka kelas yang juga dengan semangat mempersiapkan agenda ini.

Aku sebenarnya cewek rumahan, yang tidak suka panas-panasan, tapi untuk sesuatu dan lain hal, aku lebih suka lelah dari pada harus berada di rumah. Ku akui, being a girl scout is not the thing that I really want, jujur ku katakan bahwa ini hanya menjadi alasan ku agar aku bisa selama mungkin untuk tidak berada di rumah.

Sekolah dan teman-teman membuat ku merasa lebih seperti menjadi manusia while at home, I am not.

"Bunga!! bagaimana kesiapan acara inti barbeque scot kita?". seru gadis manis, berkulit tan yang eksotik, berambut sebahu, dikepang asal dan terlihat eksentrik. Tapi lebih dari itu, entah bagaimana caranya dia terlihat cantik! seruan Dhia menghentakkan ku dari pelarian fikiran yang sering terbang nggak karuan. Aku tersadar, dan kembali kepada realita bahwa 2 hari lagi agenda itu akan dilaksanakan dan masih ada beberapa hal lagi yang belum benar-benar siap, memastikan sang pembaca puisi sudah 100% siap di tengah megahnya api unggun nantinya, aku benar-benar menghayati setiap proses ini, karena puisi ini benar-benar spesial! Aku menengok, mencermati buliran keringat yang ikut menjadi saksi perjuangannya dalam persiapan ini. "semua siap, kecuali puisi nya" Sahut ku, "tapi, jangan khawatir dia hanya terkadang lupa di salah satu atau dua bagian, sepertinya dua atau tiga kali latihan lagi dia akan siap membuat mu terpana" Aku nyengir, menunjukkan deretan gigi ku yang rapi. "oke, pastikan besok sudah 100% beres yaa! ini penting, kesuksesan agenda kita kali ini akan menjadi batu loncatan untuk mengadakan even sastra di sekolah kita!" seru Dhia sangat berenergi, kemudian dia mendekatkan mulutnya ke telinga ku dan berbisik "bukan hanya anak-anak yang mengklaim dirinya sangat pandai berhitung saja yang bisa berjaya, bahasa, sastra, budaya, seni itu sama penting dan memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk sukses dan berhasil". Ah Dhia, ia juga sama frustasinya dengan ku, dengan segala tingkah polah dan daya pikir orang-orang yang sering gagal paham itu. "tentu saja!" jawab ku meyakinkan.

Aku memang bukan peramal, dan kita juga tidak boleh mendahului takdir melalui anggapan-anggapan kita yang terlalu rendah menilai kuasa Tuhan, dengan segala justifikasi yang sering merugikan diri sendiri. Namun, terlepas dari segala justifikasi yang ku khawatirkan hanya untuk menyenangkan diri ku sendiri. Hati, senantiasa memiliki jalannya untuk merasakan, mendeteksi sebuah getaran, frekuensi hingga kekuatan sebuah tatapan mampu membuat mu menyimpulkan sesuatu yang boleh jadi di luar dari jangkauan!

keasyikan kami bercengkrama, ku rasa tengah diamati oleh sepasang mata, yang sejurus nampak menerka-nerka jenis perbincangan apakah yang sedang kami diskusikan berdua.

Aku melayangkan pandangan ku pada sebuah sudut, tempat dimana sang pemilik pandangan itu berada. Aku kecewa, ☹ benar-benar realita pahit yang selalu bertolak belakang dengan ekspektasi dan segala praduga, otak ku yang penuh dengan cerita buaian indah para kisah bergenre cinderella, seorang putri cantik yang tanpa sengaja beradu pandang dengan sang pangeran mempesona, jatuh cinta untuk kemudian bersama dan hidup bahagia selamanya. Oke, sayangnya kisah ku benar-benar bukan kisah cinderella. mata kami pun bertemu, dan bagai seorang detective mata ku menilai, cowok itu terlihat pendek dengan sweater biru ukuran ekstra besar dipadu padankan dengan celana seragam sekolah SMA abu-abu, yang kurasa belum disetrika. Ia menatapku sesaat untuk kemudian segera melemparkan pandangannya kesudut lain. Dia benar-benar cowok besar jika dikomparasikan dengan aku yang memiliki tinggi hanya sekitar 145 Cm dengan berat badan sekitar 40 kg.

Ahh... nampaknya, aku hanya terlalu sering menonton drama, ku abaikan tatapan itu, meski ku rasa cowok itu terlihat menyimpan duka, di mata nya.

sekali lagi, istirahat kali ini hanya berlalu begitu cepat untuk mengurus segala keperluan agenda barbeque itu, beberapa hari masuk sekolah entah mengapa seolah terasa sudah berbulan-bulan. Aku melangkah gontai kehabisan energi, menuju tempat duduk ku yang terletak di barisan ke dua dari tempat duduk paling depan dan baris ke 3 dari dinding sebelah kanan lemari kelas. Belum satu minggu, sehingga pembelajaran masih belum seaktif biasnya, banyak jam pelajaran bebas dan juga banyak penghuni kelas yang memilih untuk masih meliburkan diri di rumah. Aku benar-benar tidak teliti karena seluruh fokus dan perhatianku tercurah pada acara barbeque nanti, sampai pada aku melihat sesuatu yang nampak familiar di atas meja yang terletak di pojok kelas sebelah kanan dari pintu masuk. "sweater biru ekstra besar?" gumamku.

Aku masih bertanya-tanya, mengapa bisa ada di sini? bukannya itu nampak seperti sweater yang dikenakan cowok besar itu? bukannya cowok besar itu kaka kelas ku ya? terasa familiar wajahnya.

Semula, aku berfikir mungkin dia hanya menitipkan barangnya di kelas orang lain. Hingga ketika bunyi bel tanda masuk kelas terdengar, semua penghuni kelas masuk, termasuk dia, menggeser kursi dan duduk tepat di belakang meja yang ada sweater biru ekstra besar itu.

keheranan ku semakin menjadi-jadi, karena dia tetap tidak beranjak meski guru wali kelas kami masuk dan mulai mencek kehadiran kami semua. Hingga sebuah nama disebutkan. "Jatsu Ra Galang". dan sebuah suara terdengar "hadir", aku menolehkan pandangan ku ke arah suara tersebut. Dan suara itu adalah milik cowok besar itu.

Jatsu? dan dia satu kelas dengan ku? sejauh yang ku ingat, nama ini ada dalam buku Orientasi siswa baru milik ku ketika masih kelas X. Aku mendadak ingat, cowok besar itu merupakan salah satu anggota OSIS! itu kan rasanya mengapa wajahnya amat familiar.

Belum hilang keterkejutanku, karena aku baru melihatnya di kelas ku hari ini, barangkali merasa ada orang yang terheran-heran seperti ku, tiba-tiba dia memerangkap pandanganku, sekilas aku dan dia bersitatap, barangkali itu lah sebabnya, mengapa terlihat ada duka di mata itu. Itu adalah mata yang kalah, merasa jengah dengan kenyataan yang terasa menyesakkan. Hey, bukannya dia anak yang baik? kenangan itu membawaku jauh ke satu tahun lalu ketika aku masih kelas X, Jatsu yang juga ikut Acara Training Leadership for Students (TLFS), terlihat dia yang sangat percaya diri menyampaikan definisi serta makna dari kepemimpinan itu sendiri.

Aku mengiba, dan aku amat sering menemui teman-teman yang tidak berhasil naik level, kebanyakan dari mereka atau semua dari mereka yang aku ketahui, tidak akan pernah melanjutkan nya di sekolah yang sama, mereka akan pergi, membawa luka kegagalan itu, bukan menghadapinya dan mengulang dari garis awal lagi.

Bukankah? bagi kebanyakan dari manusia, itu memalukan? lalu bagaimana dengan mu jatsu?

Everything happens for a reason, and one day I would like to thank you that for being left. ☺