webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · 歴史
レビュー数が足りません
240 Chs

43. Tinggal Gelanggang

Purna mengambil kembali pedang miliknya yang masih dalam dekapan si mata-mata yang telah dibunuhnya. Diangkatnya pedang itu, Purna memperhatikan seksama sambil membolak balik pedangnya, dia mengernyitkan dahi, "Yaaaah... Kotor lagi...," keluhnya ketika melihat pedang miliknya kembali dilumuri darah.

Saga Winata menyeletuk, "Dasar pelit... Pedang sudah diberi ke orang malah diminta lagi."

Purna pun seketika menjatuhkan pedangnya dan membalas celotehan Saga, "Oh iya, lupa. Bisa kena penyakit gondok aku."

***

"Baik. Latihan dicukupkan saja untuk hari ini. Silakan kalian kembali melanjutkan kegiatan masing-masing...!" seru Saga kepada barisan anak buahnya.

Mereka pun membubarkan diri dan melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Saga tak ingin hanya bersantai sementara anak buahnya sibuk. Dia lalu mengambil sebuah kapak untuk membelah-belah potongan kayu Waru yang akan dijadikannya sebagai kayu bakar untuk keperluan memasak atau membuat api unggun malam nanti.

Purna membantu beberapa anak buah Saga untuk menggotong mayat para mata-mata. Diletakannya mayat itu beralaskan daun pisang. Darah mayat itu masih mengucur hingga mengenai permukaan tanah yang dilaluinya. "Kamu tolong gali kuburannya secara terpisah, ya," pinta Purna kepada rekannya yang sudah siap memegangi cangkul.

"Kenapa mereka tidak dikuburkan secara bersamaan saja, Kang Purna. Supaya lebih gampang," ujar rekannya itu.

"Hussst... Jangan, sendiri-sendiri saja. Mereka juga layak dikubur dengan penghormatan yang baik."

"Tapi, Kang. Mereka kan mata-mata," ujar rekannya sambil mulai mencangkuli tanah.

"Siapapun mereka, sebagai manusia kita harus memberikan pemakamannya dengan hormat. Apalagi mereka bekerja untuk negara. Mereka setia kepada negaranya. Lagipula mereka dibunuh bukan karena mereka melakukan dosa, kan? Tapi cara kita saja untuk melindungi diri."

"Ya sudah kalau begitu. Jadi, apa sekalian kita bungkus juga mayat-mayat ini dengan kain?"

"Tidak perlu, kalian lucuti saja pakaiannya lalu bersihkan dengan air mengalir. Di sekitar sini ada sungai. Ajak rekan yang lain untuk membantu," ujar Purna sambil turut menggali tanah kuburan dengan cangkulnya.

Sedang rekannya menimba air di sungai, rekannya yang lain sudah mulai melucuti pakaian mayat-mayat itu sampai telanjang bulat. Sebuah tato lambang Tentara Telik Sandi tergambar di dada kanan mayat tersebut. "Kang, lihat ini!" bisik rekannya itu.

"Iya, itu lambang Telik Sandi," Purna menjelaskan. "Ini kamu tolong lanjutkan, aku akan menyimpan pakaian mereka." purna menyerahkan cangkul yang semula dipakainya untuk menggali. Kini beberapa rekannya yang lain tengah datang membawa beberapa gentong air untuk membersihkan mayat-mayat.

Sebelum dikubur, purna mengambil kantung buntelan yang mengikat di pinggang si mayat. Isinya adalah kepingan-kepingan emas. "Hihi... Lumayan...," gumamnya. Rekannya yang lain pun melihatnya turut meringis senang. Purna menghampiri Saga yang tengah sibuk membelah-belah kayu. Dia berdiri tepat di sisi Saga sambil menari-nari menunjukan kantung buntelan yang dijarahnya dari si mata-mata. Saga tertawa kecil melihat tingkah Purna.

"Lumayan..., bisa ditukar sapi di pasar," ujar Purna memamerkan beberapa keping emas di telapak tangannya.

"Pasar? Haha... Pasar mana? Kita di tengah hutan belantara begini kok bilang pasar."

"Lho? Memangnya kita mau di sini saja? Ya jelas tidak," tutur Purna sambil mengikat kantung berisi kepingan emas itu di pinggangnya.

"Memang kita mau ke mana lagi?" tanya Saga mengernyitkan dahi. Diletakkannya kapak yang semula dia pakai untuk membelah kayu.

"Persediaan makanan kita hanya cukup untuk lima hari. Paling tidak, kita harus bertahan hidup sampai situasi aman. Sudah dua pekan kita tidak merampok. Tidak ada pemasukan." Purna meniup-niup debu pada batang kayu besar seraya tangannya mengusap-usap kayu itu sebelum didudukinya.

"Iya... Kita mau ke mana?" tanya Saga menegaskan.

"Ke mana saja yang penting bisa makan."

Saga kemudian turut duduk di samping Purna. "Sudah dengar berita, kan? kalau gerombolan Ki Menyawak dibantai oleh prajurit patroli di Lembah Gampit? Jadi, tidak mungkin kita melakukan perampokan dalam waktu dekat. Mereka pasti bisa saja memasang umpan lagi demi memburu kita."

"Kalau situasinya serba kepepet dan memungkinkan, bisa jadi kita tetap merampok. Tetapi untuk sementara waktu, kita cari pasar untuk membeli beberapa bahan makanan. Kalau memang tidak memungkinkan, kita bisa berburu binatang saja di sekitaran hutan ini. Ya penting anak buahmu tidak kelaparan."

"Kira-kira pasukan Patroli Kerajaan mencari kita kemana ya?" tanya Saga heran.

"Itu sudah aku perhitungkan, Saga. Kemungkinan mereka mengira kalau kita pergi meninggalkan Tanah Jawa, bisa melalui Pelabuhan Ratu di laut selatan, atau pelabuhan Sunda Kelapa di laut utara. Dua-duanya mengarah ke barat. Itulah kenapa sekarang kita memilih untuk lari ke timur laut dari arah istana."

"Bagaimana kalau mereka juga sudah bisa menebak keputusan kita untuk lari ke arah berlawanan?"

"Bisa jadi ada kemungkinan mereka menebak kita lari ke arah berlawanan, tetapi keyakinan mereka kecil. Mereka lebih meyakini kalau kita lari ke arah barat. Untuk itu mereka pasti menyebar pencarian, sebagian ke barat sebagian ke timur. Itu pun dibagi-bagi lagi ke pelosok. jadi mereka tidak mengerahkan penuh satu kompi pasukan ke satu arah."

***

Pagi-pagi sekali, pertemuan mendadak militer sedang berlangsung di markas tentara besar. Pertemuan itu hanya dihadiri oleh segelintir orang. Yaitu, Pangeran Ragasuci, Patih Adimukti, Senopati Citra Wayang, serta tujuh orang Rakryan Rangga.

Pangeran Ragasuci memimpin pertemuan yang tidak dilangsungkan dengan cara duduk itu. Mereka semua berdiri menghadap ke arah meja yang telah dihamparkan selembar peta Tanah Jawa. Mereka seperti sedang merencanakan sesuatu yang besar. Yaitu operasi pencarian gerombolan rampok Saga Winata.

Sang Pangeran pun membuka pertemuan.

"Baik, langsung saja. Terlepas dari ketidaktahuanku akan permasalahan di lingkungan istana, terus terang, aku benar-benar tidak habis pikir soal peristiwa kemarin. Dan peristiwa itu membuat Tumenggung Aria Laksam sendiri pergi meninggalkan istana, kemungkinan untuk waktu yang lama. Sebab itu aku dibebani tanggung jawab oleh Ayahanda Prabu menggantikan Tumenggung Aria untuk mengatur operasi pencarian buronan kelompok perampok yang dipimpin Saga Winata. Aku sengaja mengajak Paman Patih di pertemuan ini karena aku membutuhkan banyak informasi tentang seluk beluk negeri ini dari pengetahuan serta pengalamannya."

"Hamba siap membantu kapan saja, Pangeran!" ucap Sang Patih memberi hormat.

"Bimbing aku, Paman." Pangeran Ragasuci membalas sikap hormatnya. "Kemarin, Tumenggung Aria berpendapat bahwa ada kemungkinan kelompok Saga Winata lari ke luar tanah jawa. Meskipun kelihatannya Tumenggung menyimpan sesuatu dari balik pemdapatnya itu, aku pikir tetap ada kemungkinannya."

Ragasuci menancapkan sebuah bendera kecil pada lembar peta tepat di bagian bertuliskan Sunda Kelapa.

"Tetapi, pendapat Paman Lembu Bodas juga ada benarnya. Mereka tidak mungkin melalui daerah Pakuan," lanjut Pangeran dengan memberi tanda silang pada bagian peta yang bertuliskan Pakuan. "karena itu akan sangat jauh jalan yang ditempuh. Maka kemungkinannya adalah, mereka akan melewati Jayagiri." Ditancapkannya lagi bendera kecil di area yang bertuliskan Jayagiri.

"Maaf, Pangeran. Bagaimana kalau mereka tidak melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. tetapi mengarah ke Pelabuhan Ratu di pantai selatan." Senopati Citra mengambil bencera kecil lalu menancapkannya pada bagian Pelabuhan Ratu. "Jika begitu, maka jalan melalui Pakuan itu sangat masuk akal." dilingkarinya nama Pakuan pada peta.

Mahapatih kemudian mencabut bendera yang menancap pada wilayah Pelabuhan Ratu. "Pelabuhan Ratu hanya diperuntukan untuk melabuhkan kapal milik tentara Pajajaran, keluarga Raja Pajajaran atau Tamu Negaranya. Tidak diperuntukan bagi masyarakat sipil."

Kemudian seorang Rakryan Rangga turut mengambil bendera kecil dan menancapkannya pada daerah Pakembangan. "Maaf, Pangeran. Menurut hamba mereka tidak pergi kemana-mana. Melihat dari kelihaiannya yang selalu bisa lari dari jangkauan Tentara Patroli kita, pastinya mereka juga ahli strategi. Tidak semudah tebakan kita," ucap salah seorang Rakryan Rangga berkumis lengkung itu. "Bagaimana kalau mereka sudah mengira bahwa kita berpikir kalau mereka kabur dari Tanah Jawa. Tentu mereka berharap kita menghentikan pengejaran. Maka mereka mengambil arah berlawanan. Yaitu, ke sisi timur."

"Kenapa harus Pakembangan, Paman?" tanya Pangeran.

"Pakembangan adalah hutan belantara yang jarang dijamah orang. Mereka bisa memilih tempat itu untuk bersembunyi," sambung Mahapatih. "Bukan begitu, Rakryan?"

"Benar sekali, Gusti Patih."

Pangeran pun berpikir sejenak. Pandangan matanya mengarah ke langit-langit. Sesekali memperhatikan lembar peta yang menghampar di mejanya.

"Kalau begitu kita pencar pasukan!" seru Pangeran Ragasuci sambil meraih beberapa bender kecil untuk siap ditancapkan ke beberapa wilayah pada peta.