Badai besar itu datang tanpa diundang. Daun-daun kering beterbangan tak beraturan dihempas angin ribut. Debu-debu turut mengotori udara, seseorang bahkan harus menutup pupil matanya supaya terhindar dari serangan debu yang mengganas.
Barisan pohon palem dan cemara di pelataran istana turut mengamuk memeriahkan badai angin di Kompleks Kedaton itu. Semua menjadi luluh lantak layaknya asa yang telah terlanjur porakporanda dari seorang Tumenggung yang dihinggapi kasih sayang buta.
Badai itu datang sebagai sambutan kalimat mantra yang sedari tadi diucapkan berulang-ulang oleh Tumenggung Aria Laksam. Mantra Ajian Gandarwara yang akan membuat tuannya menjadi memiliki kekuatan dan stamina meningkat tanpa terkuras. Ajian Gandarwara memang sangat cocok untuk membekali pertarungan bagi orang yang umurnya sudah tidak muda lagi.
Saat Sang Tumenggung mengamuk, pondasi kehikmatan acara pertemuan agung pun runtuh dalam sekejap. Lembu Bodas baru saja keluar dari Aula Istana dan bersiap menghampiri Aria Laksam meski kakinya sangat berat untuk melangkah akibat hembusan badai dari amukan mantranya yang semakin menjadi-jadi.
"Ayo Lembu Bodas, lawan aku...!" seru Tumenggung.
"Gaya bertarungmu sungguh pengecut, Laksam. Belum apa-apa sudah mengeluarkan ajian...!" balas Empu Lembu berseru. "Baiklah, Bukan cuma kamu yang punya!"
Empu Lembu Bodas mengeluarkan sebilah kujang dari werangkanya. Ditempelkannya kujang itu di dahinya sendiri. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Empu Lembu Bodas memiliki Ajian Awi-Awi. Yaitu sebuah kekuatan yang membuat si pemiliknya mengalami kepercayaan diri tinggi, kecerdasan naluri pertarungan, dan kecekatan dalam setiap gerakan.
Usai mereka saling mengaktifkan ajian masing-masing, keduanya kemudian saling menyerang satu sama lain. Aria Laksam menggunakan kerisnya untuk menyasar bagian kepala Empu Lembu. Sementara Lembu Bodas menahan setiap serangannya menggunakan senjata Kujang.
Meski ukurannya lebih kecil dari keris, namun Kujang memiliki daya pertahanan tinggi. Celah cekung pada pangkal kujang bisa digunakan untuk menggapit ujung keris sehingga serangannya terkunci dan keris semakin sulit untuk diarahkan. Bahan besi yang dipakai bukan sembarang besi, ditambah kekuatan ajian si pemegangnya semakin menambah energi magis pada senjata khas sunda itu.
Pertarungan berlangsung alot, belum ada satupun diantara mereka yang berhasil melukai lawannya. Tumenggung Aria lebih banyak mendominasi serangan, sementara Empu Lembu hanya mengandalkan teknik pertahanan diri. Ketika Kujang milik Empu Lembu Bodas bergesekan dengan keris milik Aria Laksam, sempat menimbulkan ledakan cukup keras sehingga keduanya harus terlempar beberapa meter ke belakang. Ledakan itu cukup mampu membuat rerumputan di titik pertarungan menjadi gosong dan tercabut sebagian.
"Berhenti!" seru tegas Mahapatih dari serambi istana. "Tidak boleh ada orang yang merusak lingkungan Kedaton, bahkan sehelai rumput sekalipun!" lanjut Patih.
"Maaf, Gusti Patih. Hamba harap Gusti tidak turut mencampuri ini," pinta Aria Laksam.
"Biarkan saja, Gusti Patih. hamba ingin melihat sejauh mana tingkat kebodohan Si Tumenggung gila ini," celetuk Empu Lembu Bodas.
Aria laksam kemudian mengacungkan kerisnya ke udara dan membacakan bisikan-bisikan mantra untuk membuka Ajian Kubah Biru. Yaitu ajian untuk membuat kubah pelindung supaya tidak ada orang yang bisa memasuki area tersebut. Siapapun yang melewati kubah pelindung itu badannya akan hangus terbakar.
"Gusti Prabu akan mengampuni kalian jika kalian mau berhenti dan saling memaafkan." seru Mahapatih berusaha melerai. Namun keduanya tak mengindahkan ucapan Sang Patih. Pertarungan dua pejabat besar istana itu justru berlanjut.
Senopati Citra Wayang sedang berada di menara benteng. Seperti biasa dia sedang mengawasi beberapa anak buahnya yang bertugas melakukan penjagaan. Dari atas menara, dia melihat ada sesuatu yang menyala-nyala dari arah pelataran istana. Sebagai seorang perwira, tugas untuk mengamankan istana adalah yang terpenting. Untuk itu bergegaslah dia menuju ke sumber cahaya dengan membawa beberapa anak buahnya.
Sedangkan pertarungan masih terus berlanjut tanpa ada salah satu dari mereka yang mau mengalah. Aria Laksam mengucapkan mantra baru untuk membekali kekuatan pada kerisnya sehingga kerisnya kini terlihat menyala-nyala kemerahan.
Empu Lembu Bodas tak ingin kalah, bak atraksi sulap, kujang yang digunakan kini bertambah menjadi tiga bilah. Dilemparkannya kujang itu ke arah Tumenggung. Keris Tumenggung berhasil menepisnya.
Jumlah kujang Empu Lembu terus bertambah dengan sendirinya, seiring bertambahnya bilah kujang, saat itu pula kujang dilemparkan ke Tumenggung Aria yang menjadi sasaran. Namun serangan kujangnya selalu berhasil dimentahkan oleh keris milik Tumenggung.
Senopati Citra Wayang datang dan bergegas mendekati mereka untuk melerai. Namun dia mengerang kesakitan ketika langkah kakinya memasuki kubah pelindung. Telapak kakinya terbakar dan menghanguskan terompak yang dipakainya.
"Hati-hati Senopati. Mereka dilindungi Kubah Biru!" ucap Mahapatih.
"Ada apa ini, Gusti? Kenapa jadi begini?" tanya Senopati panik.
Patih Adimukti diam dan memejamkan mata. Dia kemudian duduk dan bersila membacakan beberapa mantra. Setelah beberapa saat, telapak tangan Sang Patih bersinar mengeluarkan tiga butir bola api dan langsung ditembakan ke arah kubah pelindung. Seketika Kubah pelindung pun terbuka. Disaat bersamaan menimbulkan ledakan dahsyat hingga merobohkan beberapa pohon cemara dan pohon palem yang berada di sisinya serta membakar habis rerumputan di pelataran istana.
Tubuh Tumenggung Aria terlempar hingga menabrak tembok benteng Kedaton, sementara tubuh Empu Lembu Bodas terpental ke kolam teratai di sisi kanan bangunan istana.
Beberapa prajurit penjaga menghampiri Empu Lembu Bodas kemudian membantu mengentaskannya dari kolam. Sementara Tumenggung Aria menepis tangan prajurit penjaga yang hendak menolongnya. Tumenggung pun meraih kudanya sendiri kemudian menungganginya. Dia melajukan kuda dengan cepat dan pergi meninggalkan istana tanpa berkata-kata.
Sang Patih bangkit dari posisi silanya. Senopati Citra Wayang hendak mengejar Tumenggung, namun Sang Patih menahannya.
"Tidak usah dikejar, Senopati!" ucap Sang Patih.
"Kenapa, Gusti?"
"Dia tidak akan kembali dalam waktu yang lama, dan itu keputusannya sendiri. Kita harus hargai keputusan itu."
"Baik, Gusti...!"
***
Sore itu, saat cahaya merah dan embusan angin mulai mengusik lamunannya, saat bintang utara mulai menampakkan sedikit kelipnya, Saga Winata sedang memandangi perapian. Sementara itu ratusan anak buahnya sibuk mendirikan tenda untuk mereka tinggali sementara waktu. Sejak menjadi buronan, hidupnya terpaksa harus berpindah-pindah untuk menghindari kejaran tentara patroli dan juga sebagian besar pendekar yang memburunya.
Seseorang tiba-tiba duduk disampingnya hingga membuyarkan lamunan. "Mmmm.... Pahit sekali rasanya, Raden," ujar pria di sampingnya yang usianya sedikit lebih tua. Dia menyeruput secangkir kopi yang baru diraciknya sendiri.
"Persediaan tebu sudah habis," gumam Saga.
"Bukan bukan. Bukan kopinya yang pahit. Tetapi caramu melihat sekelilingm."
Saga kemudian melihat sekelilingnya, terlihat ratusan anak buahnya sedang sibuk mendirikan tenda, mengumpulkan kayu bakar, membuat perapian, mengasah senjata, dan merapihkan barang-barang keperluannya untuk bermalam.
"Iya mereka sibuk sedangkan kita duduk-duduk di sini," ujar Saga menanggapi.
"Bukan begitu, Raden."
"Sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan raden. Di sini kasta kita sama, Purna. Cepat sana, bantu mereka...!" perintah Saga sambil mendorong tubuh pria yang bernama Purna itu.
"Tidak mau." tolak Purna.
Saga melototnya tajam. "Aku pemimpinmu. Mau melanggar perintah?" tegurnya.
"Kalau aku melanggar perintah kamu mau apa? Mengeluarkanku dari kelompok? Memang itu yang aku mau."
"Tidak, aku akan mengeluarkanmu dari dunia ini."
"Silakan saja kalau berani," gurau Purna seraya tertawa meledek.
"Kenapa tidak?"
"Kalau aku mati, siapa yang menghiburmu? siapa yang mencerahkan kalutnya isi kepalamu? Siapa yang akan memupuk semangatmu, Saga? Kamu ini adalah orang paling menyedihkan di dunia. Aku ditakdirkan untuk melengkapimu."
"Jangan berlebihan, Purna. Kita tidak sedekat itu."
"Baiklah... baiklah...!" Purna meninggalkan Saga beserta cangkir kopinya.
"Tunggu, Purna...!" cegat Saga. "Apa rencana kita selanjutnya? Kita tidak harus selamanya dikejar-kejar tentara, bukan?" lanjutnya.
Purna menghentikan langkahnya dan tersenyum, kemudian kembali duduk didekatnya.
"Sudah kubilang, kesedihanmu akan sempurna tanpa aku," celoteh Purna sambil menyeruput kopinya kembali. "Aku tidak punya rencana apapun. Meskipun selama ini kesannya aku yang punya rencana. Padahal aku hanya ngelantur dan kamu percaya."
"Iya kamu benar. Aku tidak bisa hidup tanpa kejenakaanmu."
"Bukan hanya itu. Ingat siapa nama lengkapmu?" tanya Purna menunjuk dada Saga.
"Saga Winata."
"Siapa nama lengkapku?"
"...Purna Winata...."
"Siapa nama pemuda yang sedang meniup-niup perapian itu?" Purna menunjuk ke arah pemuda yang sedang berada cukup jauh di sisi api unggun.
"...Barda Winata..."
"Siapa nama gadis yang sedang memotong sayuran di sana?" Purna menunjuk ke arah wanita yang sedang di dapur.
"...Astria Winata..."
" Nah... itulah." ucap Purna sambil menyeruput kopinya kembali.
" Nah itulah... Nah itulah..., Itulah apa? Bicaralah yang jelas, Purna!"
"Kamu sendiri yang mengubah nama belakang kita semua menjadi Winata. Kita adalah kelompok Winata. Keluarga Winata. Mungkin di sana... di istana sana adalah keluarga kandungmu. Tetapi di sini... Di sini benar-benar keluarga nyatamu."
"Maka bagaimana, Purna?"
"Artinya dimana ada Winata, di situ ada kebebasan. Kamu tidak akan bisa hidup tanpa kita semua. Kamu tidak bisa hidup tanpa kebebasan."
"Tetapi sampai kapan kita dihantui rasa takut karena kejaran Tentara dan orang-orang yang memburu kita?"
"Kenapa harus takut? Santai saja, nikmati proses hidup."
"Heh, Kalau tidak takut, kenapa kita lari?" tanya Saga kesal. "Lihat sekelilingmu, Purna? Mereka juga ketakutan."
"Kita tidak lari karena takut. Kita lari karena kita bebas kemana saja yang kita mau. Para anak buahmu juga menikmatinya. Cuma kamu saja yang ketakutan."
Purna kemudian menyeruput kopinya kembali. Saga merebut cangkir kopi itu dan langsung meminumnya. Itu adalah seruputan terakhir. Saga mengosongkan isi cangkirnya. "Uekkkk... Cuiih...." Saga meludah, "Ternyata benar. Kopinya yang memang pahit."
"Nah... itu karena kamu tidak menikmatinya. Bagi yang terbiasa menikmati kopi tanpa pemanis, maka akan tetap merasakan nikmatnya rasa alami biji kopi."
"Sana..., racik lagi..." perintah Saga sambil menyodorkan cangkir bekas Kopi.
"Tidak Mau...!" bantah Purna.
***
Kita tidak lari karena takut. Kita lari karena kita bebas kemana saja yang kita mau