webnovel

Ujian Tante Siska

Aku buru-buru turun dari ojek di depan gang dan langsung berlari menuju rumah. Sampai di rumah aku merasa heran, karena tidak biasanya jam seperti ini lampu di teras depan rumah belum dihidupkan. Perlahan aku membuka pintu pagar, lalu terdengar suara berisik dari dalam. Aku mematung di depan pintu utama, karena pintu sedikit terbuka, sehingga aku bisa mendengar keributannya. Aku bingung, ketika mendengar tangis Tante Siska pecah di ruangan tengah. Sedangkan Om Darmo sepertinya marah-marah. Dalam posisi seperti ini, aku jadi ragu mau masuk atau tidak. Karena disini aku hanya seorang keponakan, takutnya nanti malah dibilang ikut campur urusan mereka. Perlahan, aku memasuki rumah sambil mengucap salam, tapi tidak ada sahutan. Kuberanikan diri melangkah lebih cepat. Sampai di dalam, kudapati rumah sudah berantakan.

Terlihat vas bunga dan beberapa guci keramik pecah dan berhamburan di lantai. Aku kembali mematung di ruang tengah. Kini sudah tidak ada lagi orang di sana. Suara tangis terdengar dari dalam kamar Tante Siska, sedangkan Om Darmo tidak tahu ada di mana. Aku memasuki kamar dan menyambar handuk di belakang pintu, lalu menggantung tas di dinding. Setelah menyapu dan membereskan pecahan beling, aku berjalan ke dapur untuk mandi, karena di kamarku tidak ada kamar mandi. Sampai di dapur, aku melihat Om Darmo berdiri di depan pintu menghadap ke luar dengan rokok yang terselip di sela jarinya, sedangkan tangan satunya lagi menekuk ke atas memegang kepala yang bersandar di tiang pintu rumah. Aku melewatinya dari belakang, kemudian langsung mandi, karena waktu magrib akan habis. Om Darmo pun tidak menyapaku. Entah karena tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu.

Selesai salat, aku langsung menuju kamar Tante Siska. Perlahan, aku membuka pintu kamarnya. Kulihat dia menangis sambil memeluk kedua anaknya. Sinta sibuk menghapus air mata ibunya, sedangkan Bagus berusaha menenangkan. Melihatku, Tante Siska menghambur ke pelukan.

"Tante, tenang, ya," bisikku sambil mengusap-usap punggungnya.

"Om Darmo benar-benar berselingkuh, Rey!"

"Tante tahu dari mana?" tanyaku masih berbisik, lalu menuntunnya duduk di sisi ranjang.

"Tante dan Bagus datang ke bank untuk mengecek rekeningnya, karena uang bulanan yang selalu diberikan pada Tante selalu dikurangi. Ternyata, dia sering transfer ke seorang wanita yang bernama Cintya sebesar 10juta setiap bulan."

Tante Terisak dengan bibir yang gemetar. Aku bisa merasakan sakit luar biasa yang kini sedang dialaminya.

"Astagfirullah. Tante Istigfar, ya. Harus sabar. Tante percaya, 'kan, Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya. Badai pasti berlalu, Tante," ucapku seraya menghapus butiran bening yang sejak tadi mengalir di wajah sayu itu.

"Mbak Rey, aku kecewa sama Papa. Bukannya minta maaf, Papa malah bentak-bentak Mama," kata Bagus dengan mata berapi-api, marah.

"Biar bagaimanapun, dia orang tuamu, Gus. Doakan saja, semoga Papa segera mendapat hidayah. Kamu boleh enggak suka dengan sikapnya, tapi kamu enggak boleh membencinya. Manusia tempatnya khilaf dan salah. Kamu sabar, ya." Aku mengusap-usap punggungnya.

Bagus semakin mengepalkan tangannya, lalu membanting tubuhnya ke ranjang karena kesal. Sedangkan Sinta duduk di belakang Tante Siska, dia memeluk tubuh wanita yang melahirkannya itu sangat erat dengan deraian air mata. Ya Allah ujian sedang menerjang keluarga ini. Kuharap Tante Siska kuat dan bisa melewati badai ini.

"Ya sudah, Tante istirahat dulu. Tenangkan hati Tante. Dalam keadaan marah, setan begitu mudah menghasut kita. Jadi, Tante harus tenang, sabar, dan istighfar," kataku masih berbisik, takut Om Darmo mendengar dari luar.

Tante Siska menjawab dengan anggukan. "Terima kasih, ya, Rey," ucapnya ketika aku hendak menutup pintu kamar.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk perlahan. Sampai di kamar, terdengar Om Darmo mengeluarkan mobil dari garasi, lalu melesat pergi. Aku membuka gorden jendela kamar memperhatikannya dari dalam. Benar kata orang, kesetiaan seorang wanita diuji ketika si pria tidak memiliki apa-apa. Sedangkan kesetiaan pria diuji, ketika dia telah memiliki segalanya.

***

Aku bersyukur, hari ini Bos Koko pulang dari ibu kota. Sungguh, aku sedang malas melakukan banyak hal karena persoalan di rumah. Aku masih tidak percaya bahwa Om Darmo yang dulu sangat baik dan penyayang, kini berubah menjadi kasar dan suka main wanita. Aku menyandarkan kepala di meja kerja sembari memejamkan mata.

Wawan dan Karina melihatku dengan tatapan heran.

"Mbak!" tegur Wawan.

Aku diam saja, sedangkan Karina mendekatkan kursinya ke arahku. Kebetulan kursi kerja kami memiliki roda, jadi bebas mau pindah duduk kemanapun tanpa harus berdiri terlebih dahulu.

"Mbak, ada masalah apa?"

"Enggak ada," jawabku malas.

"Claimant ke supplayer ada deadline, loh, Mbak hari ini."

"Sudah kelar, tinggal kirim," kataku dengan mata masih terpejam.

Karina menghela napas, lalu kembali meluncur ke meja kerjanya. Tiba-tiba seseorang memberikan sebuah bantal berwarna pink, berbentuk hati ke arahku. Aku menoleh, mencari tahu siapa orang yang memberikan bantal tersebut. Bos Koko tersenyum. "Buat bantal, kalau mau tiduran," katanya masih menggendong ransel berwarna cokelat di punggung. Dia menunjukkan senyum sinis padaku.

"Eh, hehehe. Maaf, Pak," jawabku tersenyum samar.

"Enak saja tiduran, kerja!" katanya dengan mata membulat.

Dengan cepat, aku menuju lemari kaca tempat penyimpanan kumpulan map yang berisi surat-surat penting. Aku memeriksanya satu persatu. Yang kuingat, claimant ke supplayer sebagian sudah aku selesaikan, tinggal kirim saja.

"Kerjain promosi hadiah, kalau claimant sudah pada kelar. Bukannya malah tiduran!"

"I-iya, Pak," sahutku terbata-bata.

Dengan cepat aku mengambil karung yang berisi kumpulan cangkang minuman ringan yang ditutupnya tertulis: Rp. 500,- , Rp. 1.000,- , Rp. 1.500,- dan lain sebagainya. Aku menghitung jumlahnya. Setelah tahu jumlahnya, langsung kubuat surat pengantar.

"Rey!" panggil Bos Koko tiba-tiba, ketika aku sedang mencetak surat pengantar.

"Iya, Pak?" Aku menoleh ke arahnya.

"Sini dulu kamu!" perintahnya sambil melambaikan tangan, memintaku mendekat.

Aku yang sedang sibuk mencetak surat pengantar menghentikan kegiatan, lalu melangkah ke mejanya.

"Saya ada beli parfum di sana. Wanginya enak banget. Kamu saya belikan yang baunya seperti ini."

Ish!

Baru saja marah-marah, sekarang malah suruh dekat-dekat! Maunya apa, sih? batinku kesal. Aku pun menerima botol parfum mungil yang disodorkan olehnya, lalu kusemprot beberapa kali ke tangan, dan mencoba mencium wanginya. Sebenarnya aroma parfum tersebut cukup enak, tapi aku terkejut melihat harga yang tertera dibotolnya.

"Pak, botol sekecil ini harganya 3,6 juta?" tanyaku tidak percaya.

"Iya, karena ini merek terkenal, Rey."

Aku yang biasa memakai parfum seharga lima belas ribuan setiap hari, hanya bisa menggelengkan kepala.

"Sekarang, coba saya mau lihat ponsel kamu sebentar."

Kenapa dia mau lihat ponselku? Ragu, aku mengambil ponsel di meja kerja, lalu kembali menuju ke hadapannya.

"Untuk apa, Pak?" tanyaku heran sembari memberikan ponsel di tangan.

Bos koko belum menjawab. Dia mengambil ponselku, lalu mengeluarkan kartunya. Hal itu membuat dahiku semakin berkerut, bingung. Belum usai kebingungan ini, dia membuat mataku semakin membulat tidak percaya. Bos koko melemparkan ponselku begitu saja ke kotak sampah, seperti barang rongsokan setelah mengeluarkan kartunya. Dia membuka ranselnya dan mengambil sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Melihat gambar di depan kotak, sepertinya itu sebuah ponsel. Dia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya.

"Ini buat kamu. Ponsel keluaran terbaru."

Kulihat ada logo separuh apel di kotaknya. "Ta-tapi, Pak."

"Sudah, ambil dan duduk sana. Kembali bekerja!"

Dengan aku ragu menuju ke meja kerja. Beberapa kali aku menoleh ke belakang, merenungi nasib ponselku yang harganya tidak seberapa itu. Jujur saja, sayang banget kalau dibuang begitu saja. Meskipun harganya murah, tapi aku membelinya dengan uang hasil keringatku sendiri. Aku duduk di kursi kerja. Dengan wajah menunduk, kupandangi ponsel baru ini, lalu kembali menoleh ke samping, memperhatikan ponselku yang lama yang sudah teronggok di kotak sampah. Karina dan Wawan terlihat mengulum senyum di meja mereka masing-masing. Bos koko membelikan Karina dan Wawan parfum yang sama, tapi wanginya berbeda. Hanya aja ada yang membuatku bertanya-tanya. Mengapa hanya aku yang dibelikan ponsel, sementara mereka tidak?

Waktunya jam makan siang, aku sangat menantinya. Setelah Bos koko keluar ruangan, dengan cepat aku menuju kotak sampah, berniat mengambil ponsel yang dibuang Bos koko tadi pagi. Namun terlambat, kacanya pecah karena terempas mengenai tembok sebelum masuk ke kotak sampah. Aku duduk di lantai, di samping kotak sampah dengan wajah tertunduk lesu, menahan kesedihan.

"Sudahlah, Mbak. Sudah rusak begitu, buang saja!" kata Karina mendekatiku.

Aku diam saja, dalam hati masih sangat menyesalkan sikap bos yang seperti menganggap sepele barang murahan. Padahal, aku membelinya dengan hasil kerja kerasku sendiri.

"Mbak, pakai yang baru saja. Enggak usah dibikin pusing, ah!" lanjut Wawan.

Aku masih diam saja.

"Kami pulang dulu, ya. Mau makan siang di rumah saja. Mbak mau makan di mana?" tanya Wawan.

"Mbak mau turun ke bawah saja, nemuin Mbak Vita."

"Oke," jawab mereka singkat, kemudian Wawan berlalu meninggalkan kami berdua di ruangan.

"Ya sudah, kami duluan, ya!" Karina penepuk pundak dan langsung mengejar Wawan yang sudah berjalan lebih dulu. " Wan, nebeng!" teriaknya yang masih terdengar olehku.