webnovel

Sikap Sombong Ibunya Very

Bu Vina hanya mendengkus kesal dan memalingkan muka.

Setelahnya, Very langsung menggeser tubuh untuk bersimpuh di hadapan Pak Rully Hendrawan, papinya. Pak Rully memberikan banyak nasihat kepada anaknya. Anak satu-satunya yang memilih bekerja di perusahaan lain daripada meneruskan perusahaannya sendiri.

"Jadilah suami yang baik dan bertanggung jawab, Nak!" nasihat Pak Rully kepada anaknya.

Very hanya menjawab dengan anggukan kepala. Baginya, sang Papa adalah satu-satunya orang yang bisa dipercaya, selain keluarga yang lain. Pria itu selalu diajarkan hal-hal yang baik oleh papanya. Keputusannya saat keluar dari rumah, mungkin cukup menyakiti hati sang Papa, karena anak itu adalah satu-satunya pewaris perusahaan.

***

Tanpa terasa, acara telah selesai. Setelah doa bersama, pihak keluarga Rey meminta para tamu dan saudara makan bersama dengan lauk-pauk yang sudah disajikan di meja. Bu Vina dengan cepat mengajak Pak Rully dan beberapa kerabat lainnya segera pulang. Tanpa pamit dan berbasa-basi, dia buru-buru keluar dari rumah menuju mobil. Padahal keluarga lainnya sudah bersiap mengambil makanan.

"Mi, kita makan dulu, lah. Enggak enak sama keluarga besan, udah disiapin makanan," tolak suaminya.

"Ih, Papi! Mami nggak mau makan di sini. Pasti nggak higienis! Mami mau makan di restoran saja!"

Tampak tergesa, Bu Vina menarik tangan suaminya. Sementara keluarga mempelai wanita merasa tidak enak. Pak Suseno selaku ayah dari Reynata menyusul mereka.

"Pak, Bu. Apa tidak lebih baik makan dulu? Sedikit saja, sebelum pulang."

"Saya bilang nggak perlu, ya nggak perlu! Kalian makan saja sendiri," sanggah Bu Vina dengan wajah kesalnya.

Kini mereka sudah ada di depan mobil mewah milik Pak Rully Hendrawan. Tepatnya di halaman rumah tetangga di depan rumah Siska.

"Mami, jangan seperti itu," kata Pak Rully sedikit berbisik. Setelah mengingatkan istrinya, dia kembali melihat ke arah Pak Suseno. "Kami sedang buru-buru. Semoga nanti ada waktu yang pas untuk kita bisa saling kumpul dan makan malam bersama," katanya seraya tersenyum.

"Ih, malas banget!" celetuk Bu Vina.

Cepat-cepat sang suami membukakan pintu mobil dan mendorong istrinya itu masuk. Dia tidak enak pada Pak Suseno dengan kata-kata istrinya yang ketus.

"Papiii, apaan, sih?" protes Bu Vina dari dalam mobil.

"Kalau begitu, saya pamit pulang, Pak. Salam buat keluarga lainnya. Maaf, tidak bisa pamit sama semuanya."

Pak Rully menunduk sopan, lalu sedikit berlari memutari kepala mobil dan masuk ke balik kemudi. Perlahan, rombongan mobil keluarga Very meninggalkan pekarangan rumah yang masih banyak dihadiri oleh orang-orang. Dari kejauhan, tampak Very berlari mendekati ayah mertuanya. Dia pikir, keluarganya akan makan bersama. Namun Very baru diberi tahu, kalau ternyata rombongannya sudah pulang.

"Di mana mereka, Pak?" tanya Very dengan dada naik turun, karena kelelahan berlari.

"Sudah pulang, Nak."

"Oh. Maaf ya, Pak. Mungkin Mami saya ada keperluan mendadak."

Pak Suseno hanya tersenyum samar.

"Kalau begitu, mari kita kembali ke rumah Tante Siska. Bapak sudah makan?"

Ayah mertuanya menggeleng.

"Ya sudah, ayo, Pak. Kita makan sama-sama," ajak Very dan Pak Suseno mengangguk setuju.

Sampai di kediaman Siska, pria itu melihat istrinya mencoba tersenyum saat bersama keluarganya. Sebenarnya dia tahu, jauh di lubuk hati Rey, gadis itu pastilah sedih dengan sikap maminya. Gadis yang baru saja dinikahinya itu hanya berusaha bersikap baik-baik saja. Dia terlihat riang mengajak main putrinya. Tiba-tiba Bu Leni datang, dan mengamit tangan anak bungsunya. Beliau mengajak Rey masuk ke kamar. Setelah Rey dan ibu mertuanya hilang dari pandangan, Very mendekati sang anak.

"Main sama Papa, ya," ajak pria itu sembari memangku anaknya yang cantik.

"Iya, Papa," sahut anaknya manja.

Sampai di kamar, Bu Leni mendudukkan putrinya di ujung ranjang.

"Nduk, jelaskan sama Ibu, sebenarnya apa yang terjadi? Tidak ada angin tidak ada badai, kenapa tiba-tiba melangsungkan pernikahan mendadak seperti ini? Dulu, kamu sendiri yang bilang, nggak mau menikah muda. Kamu baru 20 tahun, Nduk!"

"Bu, percaya sama aku. Ini sudah jalannya hidupku. Doakan saja aku bisa jadi istri yang baik, ya."

"Pasti Ibu mendoakanmu, tapi ... bagaimana bisa kamu menikah secepat ini? Atau jangan-jangan!!" Mata Bu Leni membulat sempurna menatap nanar pada anaknya. "Jangan bilang kamu hamil, Nduk!"

"Astagfirullah. Ibu nggak boleh suuzan. Sumpah, Bu, saya masih perawan. Jangankan tubuh saya, bibir saya saja masih perawan!" gerutu Rey kesal.

"Iya, iya, Ibu percaya. Ibu cuma heran, kenapa kalian nikah mendadak? Ibu juga jadi khawatir, melihat mertuamu yang judesnya melebihi kuntilanak itu! Ibu jadi nggak tenang besok mau pulang ke Sumatera. Nanti kalau kamu diapa-apain sama keluarga suamimu itu bagaimana?"

Bu Leni membelai lembut pipi putri bungsunya. Sorot kekhawatiran tergambar jelas di sana.

"Ibu ... percaya, aku bisa jaga diriku baik-baik!"

Rey memeluk tubuh ibunya. Bu Leni terisak, takut melepas anaknya. Sementara gadis itu hanya mampu mengusap punggung sang Ibu untuk menenangkan. Tiba-tiba, Siska masuk. Dia memandang Rey dan Bu Leni secara bergantian.

"Ini kenapa to, Mbakyu? Kok, mukanya sembap semua?"

Bu Leni segera melepas pelukan dan menghapus air mata.

"Aku curiga, Rey tiba-tiba ngabarin mau menikah. Setelah lihat keluarga dari pengantin pria, aku jadi takut nanti Rey diperlakukan semena-mena. Mentang-mentang mereka orang kaya, najis punya menantu yang sederhana kayak anak kita!" Bu Leni cemberut kesal.

Mata Rey membesar menatap Tante Siska sambil menggeleng samar. Dia memberi isyarat, supaya tantenya itu bisa menjaga rahasia, karena takut Bu Leni akan mengkhawatirkan keadaannya. Meskipun berat karena harus berbohong, akhirnya Siska menuruti keinginan Rey.

"Aku kenal sama suaminya, Mbak. Dia pria yang baik. Percayalah .... Buktinya, dia rela menjadi mualaf demi Rey. Dia pasti bisa menjaga Rey dari semua keluarga kayanya yang berniat jahat."

"Iya, Bu. Jangan terlalu dipikirkan. Oh iya, ini ada sedikit uang untuk tambahan modal jual nasi uduk di rumah."

Rey menyerahkan amplop berisi uang dari suaminya. Semalam, ketika Very bertandang, dia meminta Rey untuk memberikan amplop itu pada calon ibu mertuanya. Meskipun Rey sudah menolak beberapa kali, tapi pria itu memaksa. Bahkan, mengancam akan membatalkan perjanjian, jika terus saja ditolak. Akhirnya, dengan terpaksa Rey menerima.

"Uang dari siapa, Nduk?" tanya Bu Leni bingung.

"Dari menantu Ibu," jawab Rey tersenyum.

"Masyaallah. Suwon, loh. Ya, bilang sama suamimu."

Putrinya mengangguk seraya tersenyum, kemudian memeluk ibunya yang disusul oleh Siska.

***

Sementara itu, si suami yang ada di luar rumah sedang asyik mengobrol dengan keluarga besar Rey. Ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dekat dan berbaur dengan keluarga barunya. Buktinya, Very sudah terlihat akrab dan bercanda bersama. Meskipun dia kaya, tapi pria itu tidak menyombongkan diri. Dia tetap rendah hati, bahkan pokok pembicaraan hanya seputar pekerjaan Bapak Suseno di kampung halaman. Sedikitpun,Very tidak pernah membahas mengenai perusahaan keluarga dan pekerjaannya sebagai manajer utama di salah satu perusahaan bonafide di sini.

"Pak, terima kasih sudah mengizinkan saya menikahi Rey."

"Jangan berterima kasih sama saya, Nak Very. Berterima kasihlah sama Gusti Allah, yang sudah menentukan takdirnya. Tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini. Daun jatuh saja tanpa kehendak-Nya, tidak akan bisa."

"Iya, Pak. Semenjak saya lebih mendalami agama Islam ini, saya lebih mengerti arti hidup dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Saya jadi memiliki pegangan dan pedoman yang kukuh dalam hidup ini."

"Saya bangga dengan kamu, Nak Very."

"Terima kasih, Pak."

Begitulah perbincangan menantu dan mertuanya sore itu, di teras depan rumah Siska. Sementara itu, Zeze—putrinya Very, nampak asyik bermain bersama beberapa keponakan Rey di ruang tengah. Anak itu memang lincah, mudah bergaul, dan sangat pemberani, sehingga tidak mengalami kesulitan jika harus menyesuaikan diri. Tepat pukul 16.30, Zeze diajak pulang oleh pengasuh dan sopir pribadi yang ada di rumahnya. Bukan tanpa alasan, tapi anak itu memang tidak pernah mau menginap di rumah orang lain. Bahkan, di rumah neneknya sendiri, maminya sang Papa.

Malam tiba, semua orang sudah tertidur karena kelelahan. Rey bingung harus tidur di mana. Tiga kamar di rumah tantenya penuh sesak oleh keluarga yang datang. Jika tidur terpisah dengan suaminya, dia takut orang tuanya curiga. Hatinya gelisah, karena malam ini ia harus tidur satu kamar dengan bos juteknya.