webnovel

Berubah Menjadi Cinderella

Bos koko meninggalkanku tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ia menitipkanku pada seseorang yang disebutnya Kak Mela ini. Wanita berwajah ayu itu memanggil tiga asistennya untuk mengurusku. Aku dibaringkan di sebuah ruangan khusus perawatan, menonton televisi yang menempel di dinding ruangan. Wangi aroma terapi terhirup di hidung, membuat perasaan nyaman dan hati tenang. Aku melewati beberapa perawatan seperti perawatan kuku, wajah, rambut, dan yang paling kuingat adalah perawatan waxing.

Waxing merupakan metode menghilangkan rambut di kaki yang mana dilakukan dengan cara menempelkan kain ke kulit yang sudah diolesi cairan khusus, kemudian ditempelkan. Saat kain sudah merekat dengan sempurna, pegawai langsung menarik kain tersebut dengan cepat. Alhasil, bulu halus pada kaki akan menempel pada kain itu. Kulit kaki jadi bebas bulu, halus, dan mulus. Rasanya memang luar biasa sakit. Aku sampai berteriak berulang kali. Ternyata, ingin menjadi cantik itu tidaklah mudah.

***

Pukul empat sore, Kak Mela memintaku mandi dan makan yang sudah disiapkan oleh salah seorang pelayan di ruangan atas. Aku masuk ke sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, kemudian langsung ke kamar mandi. Aku sedikit terkejut melihat airnya, ternyata airnya berwarna putih seperti susu. Ketika aku tanya pada salah seorang pelayan, dia menjelaskan ini memang disengaja.

Aku diminta mandi dengan air susu yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar. Aku mendekati bathtub, kemudian berjongkok di sampingnya. Iseng, aku mencoba mencicipi rasa air susunya terlebih dahulu. Karena rasanya tawar, aku kemudian meludahkannya dan segera berkumur dengan air keran.

Ah, orang kaya ada-ada saja!

Semoga seumur hidup cukup kali ini saja aku mandi susu, karena di luar sana bahkan banyak anak-anak yang tidak bisa minum susu. Mereka hanya diberi air tajin sebagai pengganti susu. Seperti tetanggaku di desa dulu. Aku melepas pakaian dan mulai masuk ke dalam bathtub untuk berendam. Tiba-tiba, aku ingat kejadian tadi malam. Aku menggigit bibir, saat sadar dengan apa yang telah aku lakukan. Ya, bukankah semalam aku menciumnya dengan penuh penghayatan? Benarkah itu hanya caraku untuk mengutarakan rasa terima kasihku padanya, atau aku memang ingin melakukannya karena aku merasa dia pantas mendapatkannya?

Bahkan pria itu seharusnya berhak mendapatkan lebih dari itu, karena aku sekarang adalah istrinya. Apa ... ah, aku memijat kening. Rasanya tidak adil buatnya, jika harus seperti ini. Bukankan aku akan berdosa, jika menolak? Namun, perjanjian itu? Bos koko juga belum melakukan khitan. Tanpa sadar, mata terpejam. Aku terjaga, saat pelayan membangunkan.

Buru-buru aku keluar kamar mandi. Namun, sebelumnya mengambil air wudu terlebih dahulu. Setelah kembali berpakaian dan selesai melaksanakan salat Ashar, aku memakan makanan yang telah dihidangkan di atas meja. Hanya tersedia dua potong daging di sana. Dari mana mau kenyang, kalau makan cuma segini? Huh! Setelah makan, aku kembali ke lantai dasar untuk menemui Kak Mela. Dia memilihkanku beberapa pakaian: dari yang paling seksi, sampai yang paling berkelas.

"Pilih saja, kamu mau pakai yang mana, Say?" tanyanya.

"Kalau bisa, yang ada lengannya, ya, Kak. Soalnya, aku takut masuk angin," jawabanku yang cukup membuat Kak Mela terpingkal.

Dia memilihkan baju yang ada lengannya, tapi rendah di bagian dada. Aku menggeleng. Sebagai penolakan. Kembali aku berjalan menyusuri setiap patung yang terpajang, memperhatikan satu per satu gaun yang terpampang. Pilihanku tertuju pada sebuah dress panjang berwarna cream dengan sedikit payet dan pattern di bagian dada. Di banding gaun lainnya, hanya baju ini yang terlihat lebih sopan. Sepertinya, pakaian ini pas di tubuhku yang tinggi semampai.

"Oke. Yang ini, ya?" tanya Kak Mela.

"Iya, Kak!" jawabku mantap.

Kemudian kami ke ruangan lainnya. Kak Mela membuka sebuah ruangan yang isinya terdapat beberapa lemari kaca yang berisi beraneka macam sepatu high heels, yang tersusun rapi di sana. Dia memintaku memilih salah satu. Aku ragu, karena aku jarang menggunakan sepatu seperti itu.

"Pilih saja. Enggak apa-apa," pintanya.

Cukup sulit memilih, karena semuanya tinggi. Aku takut jatuh dan malu, jika dilihat banyak orang. "Kak, memangnya aku mau dibawa ke mana, sih?" tanyaku penasaran.

"Kamu nurut saja. Kakak juga enggak tahu. Sudah ada pilihan, sepatunya yang mana?"

Aku mengamati sepatu high heels berwarna silver keemasan. Tidak terlalu tinggi, dan sepertinya nyaman dipakai. "Aku coba yang ini, deh, Kak," kataku sembari membuka lemari dan mengambil sepatunya.

***

Setelah salat Magrib, Kak Mela segera merias wajahku di depan cermin. Dia memintaku memejamkan mata, kemudian menyapu wajah ini dengan berbagai alat make-up yang ada. Setelah cukup lama, akhirnya selesai juga.

"Buka matamu," perintahnya setelah selesai.

Perlahan aku membuka mata, lalu menatap wajah dari pantulan kaca. Sumpah demi apa, aku bengong melihat wajahku sendiri. Aku terpana. Rasanya tidak mungkin aku bisa secantik cinderella. Kak Mela mengepang sebagian rambut bagian depan, kemudian menggelung semua rambut ke belakang, tidak lupa menyelipkan hiasannya.

"Cantik banget kamu, Sayang," ucapnya, kemudian menuntunku untuk berganti pakaian dan memakai sepatu yang telah kupilih tadi sore.

***

Aku berdebar menunggu kedatangan bos koko. Rasanya, persis seperti akan menghadiri acara pernikahan. Kemarin, ketika kami menikah, aku malah biasa saja. Namun, ini rasanya sungguh berbeda.

"Say, yuk, keluar! Very sudah nunggu di bawah," ajak Kak Mela membuka pintu.

Aku agak grogi melangkah keluar. Perlahan, kuturuni anak tangga. Kulihat bos koko sedang duduk di sofa dengan jas warna senada dengan gaun yang aku kenakan.

"Very, lihat ini, Cinderellamu sudah siap!" kata Kak Mela sedikit berteriak.

Bos Koko menoleh, kemudian berdiri. Matanya menatapku dengan saksama. Dia seperti terpana. Aku yakin, pasti wajahku sudah bersemu merah sekarang. Dua pasang mata itu terus menatap, tanpa berkedip sekalipun. Kak Mela tersenyum, lalu menuntun tanganku menuruni anak tangga.

"Aduh!" ucapku hampir terjatuh.

Bos Koko langsung berlari menaiki anak tangga, kemudian mengambil tanganku yang tadinya digenggam oleh Kak Mela. "Hati-hati, Rey," ucapnya lembut, seraya mengecup jemariku.

Ah, tatapan itu. Tolong jangan melihatku dengan tatapan seperti itu, Pak, hatiku meronta.

Dia kemudian membantuku turun. Sampai di bawah, bos koko menuntun jemariku agar berpegangan pada lengannya yang kekar.

"Kak, terima kasih sebelumnya. Kami berangkat dulu, ya?" pamitnya seraya menempelkan pipi kanan dan kiri pada Kak Mela.

"Sama-sama, Very. Hati-hati di jalan, ya. Gemas deh, lihat istrinya. Cantik banget."

Kak Mela menyentuh ujung daguku yang membuatku tertunduk malu. Bos Koko hanya tersenyum ramah, kemudian mengajak keluar menuju parkiran. Sampai di luar, bos koko menggelengkan kepalanya seraya tertawa kecil, kemudian menoleh ke arahku.

"Kita berangkat, ya, Sayang," ucapnya yang membuat aku menoleh dan mata membulat seketika. "Kamu cantik!" ucapnya, tapi kali ini dengan satu kecupan di pipi.

Tolong, ya Allah. Aku baper! Baper! Baper!