webnovel

3. Mahkluk Misterius

*20 tahun kemudian*

Menjelang dini hari, Darmono berkendara sendiri menyusuri jalan di sebuah kota kecil bernama Mekar Sari. Kota ini adalah kota kecamatan, masuk dalam wilayah Kabupaten Sungai Putri.

Jarak dari kantor ke rumahnya tidaklah terlalu jauh, tetapi juga tidak bisa dibilang dekat. Sekitar satu kilo meter, dari pada naik mobil Darmono lebih menyukai naik motor.

Alasan sesungguhnya adalah, dia bisa melihat dan mengawasi situasi dan kondisi kota kecil ini

"Sepi dan gelap!" Darmono bergumam dalam hati, memang cukup aneh Mekar Sari ini meski judulnya kota, tetapi kondisinya sama seperti desa. Hal ini sudah terjadi sejak belasan tahun lalu, meski waktu berlalu kondisi kota ini masih sama dengan dua puluh tahun yang lalu.

Pepohonan yang tinggi dengan daun-daunnya yang rimbun, sengaja ditanam oleh pemerintah kota dua puluh tahun silam, dengan tujuan untuk meneduhi jalanan. Namun efeknya sekarang kalau malam hari daun dari pohon-pohon itu menghalangi cahaya lampu jalanan.

Selain itu, penampakannya bagaikan hantu-hantu raksasa dalam cerita seribu satu malam, karena itu pengendara harus ekstra hati-hati apabila berkendara malam hari.

Baru saja dia berpikir tentang cahaya lampu jalan yang terhalang pepohonan, tiba-tiba saja dirinya nyaris terjerembab jatuh. Akibat gundukan hitam di depannya, sama sekali Darmono tidak menduga bahwa itu bukan bayangan pohon.

Di saat yang sama terdengar lenguh kecil, tetapi seperti auman yang dahsyat di tengah kesenyapan hutan.

"Suara apa itu?" Darmono membatin sendiri, sambil meluruskan lagi posisi motornya yang nyaris terbalik tadi.

Dari kejauhan dia melihat titik-titik cahaya, dia tahu itu cahaya lampu rumah para warga, sedangkan sekarang dia berada di jalur utama, yang sepanjang mata memandang hanya ada pertokoan dan pepohonan pelindung jalan.

Darmono baru saja hendak melajukan motornya lagi, ketika terdengar bunyi kerosak-keresek dari arah belakang. Secepatnya lelaki muda itu menoleh, dan meneliti kegelapan jalan yang tampak remang-remang.

Sejenak jantungnya berhenti berdenyut, kala melihat sepasang mata berkilau dalam gelap. Besarnya melebihi buah jengkol, berputar seperti mengawasi gerakan Darmono.

"Gila apaan itu, gak mungkin hantu. Mungkin sejenis binatang, sialan Gie gak bisa lihat badannya pula," gumam Darmono di dalam hati.

Beberapa saat kedua pasang mata itu bertatapan, dengan mata Darmono. Dijalari perasaan penasaran, dengan gerakan akrobatik si pemuda memutar kendaraannya sehingga menghadap ke arah sepasang mata itu, lalu dinyalakannya lampu jauh agar dapat menjangkau posisi si pemilik sepasang mata.

Terdengar suara melenguh, disusul gerakan melompat dan langkah ringan meninggalkan tempat itu. Darmono mempertajam matanya, lampu motor diarahkan ke sosok yang tengah berlari. Sangat jelas matanya melihat sosok tinggi berbulu hitam, sejenak dia terpaku otaknya berpikir keras mencerna sosok apakah itu?

Bila mau dikatakan itu binatang, tetapi mengapa berdiri dengan dua kaki selayaknya manusia?

Jika itu manusia mengapa berbulu lebat seperti kera?

"Apa itu sejenis gorila?" dia bergumam sendiri, "ah tidak mungkin, dari mana pula datangnya gorila?"

Walaupun kota ini masih kalah maju dibandingkan kota lainnya, tetapi letak kota Mekarsari sudah sangat jauh dari hutan. Jadi mustahil sekali ada gorila liar yang lepas di kawasan perkotaan.

Setelah menghela napas beberapa kali, dan sosok hitam itu menghilang dalam kegelapan, Darmono melanjutkan perjalanan pulang. Teringat olehnya, saat pertama kali menjejakkan kaki lagi di kota ini, setelah sekian puluh purnama merantau demi tugas negara.

"Bapak senang kau pulang, Nak. Mungkin dengan kehadiranmu, Sugi jadi memiliki teman berdiskusi."

Terngiang ucapan sang ayah waktu itu, kala dia mengabarkan kalau sebentar lagi dia akan pindah tugas ke Kota Mekarsari.

"Memangnya Sugi kenapa, Yah?" tanyanya.

"Adikmu sedang tergila-gila dengan seorang wanita," jawab sang ayah.

Darmono tertawa mendengarnya, "Yah biarkan saja, Ayah. Toh Sugi sudah dewasa, usianya sudah dua puluh satu tahun, sepantasnya memang kalau dia memiliki seorang kekasih," jawab Darmono.

"Masalahnya, Sugi ini berhubungan dengan perempuan yang tidak jelas, bebet, bibit, serta bobotnya."

"Maksud, Ayah?"

Darmono paham kalau orang tuanya masih sangat mementingkan perkara bebet, bibit dan bobot, dalam memilih calon pendamping. Hanya saja dia perlu tahu juga bagaiman standar bebet, bibit, dan bobot perempuan yang dipacari adiknya.

"Namanya Dewanti, usianya kurang lebih sama dengan Sugi. Ibunya menderita penyakit mental akut, dan ayahnya tidak jelas entah ada di mana, tetapi kekayaannya seakan terus berlimpah. Tidak jelas dari mana asal kekayaannya itu, entah apakah dia menjual diri, atau melakukan pesugihan."

Darmono hanya bisa menarik napas panjang, dan menggaruk kepala yang tidak gatal. Jelas sekali pemikiran ayahnya tidak logis, sekarang sudah tahun 2020, di mana lagi ada orang yang melakukan praktik pesugihan?

Kalau jual diri mungkin lebih sedikit masuk akal, "Baiklah Ayah, nanti biar aku saja yang bicara dengan Sugi, sekalian aku cari tahu apakah benar perempuan itu menjalani bisnis protitusi."

"Ya lebih baik begit, kami tidak tahu apakah karena kekayaan Dewanti yang menyebabkan adikmu bagaikan orang gila. Kalau memang begitu jelas ini tidak betul, pantang bagi seorang lelaki hidup senang diatas harta istri. Apa lagi kekayaan tersebut tidak jelas berasal dari mana," papar sang ayah.

*****

Darmono—seorang polisi muda, usianya masih sekitar tiga puluh tahun tetapi karirnya sebagai polisi begitu cepat naik, di usia segitu dia telah menduduki posisi Kanit Reserse. Kedekatannya dengan seorang petinggi polisi di ibu kota, memberinya kesempatan untuk bertugas di kota asalnya yaitu Kota Mekarsari.

Akan tetapi di mana pun bertugas, kasus pelik dan unik selalu menjadi makanan sehari-hari Darmono. Kali ini di Mekarsari, dia mendapati adanya sebuah kasus lama dan masih terus terjadi, yang belum terpecahkan sampai saat ini.

Kasus tersebut adalah laporan kehilangan, dari para orang kaya dan pengusaha. Kerugian yang dialami korban rata-rata cukup besar, karena barang yang hilang berupa perhiasan dan uang simpanan dalam pecahan besar, bahkan beberapa diantaranya dalam bentuk mata uang asing.

Uniknya lagi ketika dilakukan penyelidikan, tidak ditemukan adanya kerusakan pada pintu utama, pintu ruang penyimpanan sampai pintu brankas. Karena itu penyidik menduga adanya keterlibatan orang dalam, tetapi dari semua saksi yang dicurigai tidak seorang pun yang bisa diseret sebagai tersangka. Karena setiap saksi memiliki alibi yang kuat, dan tidak adanya bukti untuk menjerat merekaenjadi tersangka.

"Ini kasus benar-benar unik, Kep," ucap seorang penyidik.

"Tidak masalah, kita tangani pelan-pelan. Serapi apapun kejahatan, pasti ada celah yang bisa mencelakakan pelakunya."

Petugas itu mengangguk setuju, dan kini genap sebulan Darmono menduduki posisinya. Belum ada kelanjutan atas kasus tersebut, dan belum ada juga laporan baru.

Lima ratus menjelang ke rumah orang tuanya, Darmono kembali melihat keganjilan. Sebuah bayangan melintas di depannya, Darmono merasa sosok itu persis dengan yang terlihat sebelumnya. Berdiri dan berjalan seperti manusia, tetapi sedikit bungkuk dan berbulu.

"He, siapa itu?!" teriak Darmono berseru.

Dalam jarak kurang lebih lima belas langkah, sosok tersebut menatap Darmono dengan sepasang matanya yang merah dan besar. Darmono segera memarkirkan motor, lalu melangkah mendekati sosok tersebut dengan penuh keberanian meski dada berdebar kencang.

"Manusia kah kau?" tanya Darmono dengan bibir bergetar.

"Nyieeehhhh!" mahkluk itu mengeluarkan suara aneh, disusul dengan sebuah lompatan menjauh dari Darmono.

Tidak mau kehilangan buruan, Darmono ikut berlari mengejar mahluk itu. Terjadi kejar-kejaran Antara dua mahkluk yang tidak saling mengenal, di sebuah tikungan sosok tersebut tiba-tiba berubah. Kini ia tidak lagi berlari dengan kedua kaki, melainkan juga dengan kedua tangan yang seolah berubah menjadi dua kaki depan.

Darmono semakin dibuat penasaran, akan perubahan yang terjadi pada mahkluk itu. Dengan kedua tangan yang kini seolah berubah menjadi dua kaki depan, makhluk itu berlari semakin kencang. Sesekali ia melompat, dan sekali lompat saja membuat jaraknya dengan Darmono semakin jauh. Berikutnya dalam waktu singkat, mahkluk itu lenyap dari jangkauan mata Darmono.

"Sialan, hilang lagi!" umoat Darmono kesal.

Dia berdirielepas penat sambil mata awas memperhatikan sekitar, yakin buruannya benar-benar telah lenyap Darmono putuskan untuk kembali ke tempat motornya berada.

Sesampai di rumah, Darmono melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka seperti baru kedatangan tamu. Darmono segera masuk sambil tidak lupa mengucapkan salam, dilihatnya Sugi—adiknya seperti baru saja kembali.

"Baru pulang, Gi?" tanyanya.

"Iya Bang," jawab Sugi kalem.

"Dari mana?"

"Biasalah Bang, hangout dengan teman kuliah."

Darmono mengangguk.

"Abang dari mana?"

"Dari kantor," jawab Darmono santai.

Kening Sugi sedikit berkerut, dia heran di tengah malam begini mengapa abangnya bersimbah keringat?

Pemuda berusia dua puluhan tahun itu melongok keluar, terlihat olehnya motor yang menjadi tunggangan si abang.

"Abang naik motor kan?" tanyanya untuk memastikan.

"Iya, kenapa sih?" Darmono heran dengan sikap adiknya.

"Kok keringatan?"

Darmono tergelak, "Oh iya, tadi Abang mengejar sese ... orang yang mencurigakan." Darmono sendiri ragu, apakah yang dikejarnya tadi orang atau bukan.