webnovel

Chapter 1 : Sosok Penyindir Terluka Itu

"…"

Memberontak, aku terbangun dari mimpi buruk yang kembali menghantuiku itu. Segera membuka mata, aku menemukan tubuh nyataku terbaring di atas sebuah kasur biru, menatap langit baja dengan sekrup-sekrup besar yang menahannya. Ruangan ini sangat asing hingga membuatku menyita waktu sejenak untuk menyadari di mana aku sebenarnya, di dalam sebuah kabin kapal pesiar.

"Mimpi itu lagi."

Meraih jam tangan yang tergeletak pada meja di sisi kasur mengungkapkan jarum dalam posisi pukul 10:12. Berhasil mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku memaksa tubuh berkeringatku untuk bangun dari jebakan pulau kapuk ini, sebelum mengambil sebuah toples putih yang berdiri tepat di sebelah jam tanganku.

Aku mengeluarkan beberapa pil berukuran kecil dan segera meletakkannya pada lidah kering ini. Menunggu sesaat seraya meminum air dan meregangkan tubuh, tremor yang awalnya menjalar di penjuru tanganku akhirnya mereda.

"…Sebentar lagi kita akan tiba, Jackie."

Menyelesaikan mandi air dingin, aku mengenakan busana yang menyerupai seorang pelamar pekerja kantoran, kemeja putih polos serta celana panjang hitam. Merapikan seluruh barang bawaan di dalam ransel abu-abu, aku kemudian memeriksa sebuah koper hitam yang terbaring menghalangi pintu kamarku. Melihatnya tidak bergerak membuatku menghembuskan napas lega, mengetahui tidak ada perampok yang ingin memasuki kamarku, meski dengan kunci dan rantai yang telah terpasang pada pintu kayu itu.

*HONK!*

Mendengar suara terompet tebal, aku perlahan mengangkat koper hitam itu untuk menghindari kerusakan terhadap mainanku yang sedang tertidur pulas. Memastikan kelengkapan perlengkapan, aku berjalan keluar dari kamar seraya membawa kedua barang itu, sebelum berjalan menelusuri koridor baja ini.

Tiba pada geladak kayu, aku menemui para penumpang lain yang sedang bersiap-siap menuruni kapal pesiar ini. Di antaranya adalah pasangan suami-istri dengan kedua anak mereka, seorang pemuda berkemeja bunga dengan kacamata hitam dan topi jerami, sekelompok pekerja yang tengah menyiapkan kargo kapal, serta ribuan penumpang lain dengan busana beragam mereka sendiri.

Hari ini cukup panas. Oleh karenanya, aku dapat melihat berbagai payung warna-warni yang bertebaran di atas geladak, melindungi para penumpang dari ganasnya matahari musim kemarau. Di balik keramaian ini, aku juga dapat melihat daratan yang semakin mendekat… Sebuah dermaga pelabuhan dengan bangunan megahnya, serta penanda oranye yang bersandar pada lereng bukit di baliknya—Pelabuhan Kusumajaya.

Menunggu sesaat setelah kapal berlabuh, aku beserta ribuan penumpang lainnya mulai memasuki terminal pelabuhan menggunakan salah satu dari 6 garbarata yang mengikat kapal. Lantai marbel putih yang bersih, berbagai pilar baja yang menjulang tinggi, mezanin pembuka atrium tengah dengan penanda selamat datang yang menggantung dari langit-langit, semua ini rupanya berhasil memikat perhatianku… Sungguh tempat yang menjanjikan.

Di bawah cuaca terik ini, aku melangkah keluar dari beranda pelabuhan menuju bangunan parkir kendaraan. Mengelilingi bangunan ini, aku mencari nomor parkir yang tertera pada foto dalam ponselku, untuk menemukan sedan hitam dengan sosok pria yang tengah bersandar padanya. Ayolah… Engkau tidak perlu seformal itu dengan batik merah serta bunga mawarmu.

"Tuan Dika. Selamat datang di Kusumajaya."

Ia memperkenalkan dirinya sebagai Roland, sopir pribadi dari sosok bernama "Tuan Kotaro". Menggunakan sedan itu, rupanya ia mengutus Roland untuk menyelamatkanku dari serangan matahari ini. Membuka pintu belakang, aku perlahan meletakkan seluruh barang bawaanku, sebelum menduduki kursi bagian kiri dengan suguhan berupa sebotol teh dingin.

"Terima kasih, Roland."

"Kehormatan ada pada tangan saya, Tuan Dika."

Meninggalkan area pelabuhan melalui jalan raya yang memotong perbukitan hijau, perjalanan membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mengganti lanskap pesisir dengan berbagai bangunan pencakar langit. Aku juga mempersilakan Roland untuk memutar sebuah album rock lokal, di mana ia mulai mengetuk setir mengikuti irama lagu itu.

"Apakah semua lancar di Vienna, Tuan Dika?"

"Migrasi dan keadaan Nikita cukup baik… Jika semua berjalan sesuai rencana, maka kita dapat membangun pijakan kuat pada awal november tahun ini."

"Sepertinya kedatangan Nyonya Nikita juga akan menjadi hadiah ulang tahun bagi Tuan."

"Tidak salah."

Aku menemukan diriku memasuki Distrik Cakra Raya, sebuah daerah yang memiliki reputasi karena keberadaan berbagai perumahan elit dan pusat-pusat perbelanjaannya—khususnya di sepanjang Jalan Kalimas. Tentu saja, hari minggu membuat para pengunjung mengerubungi lokasi ini layaknya badai laron.

"Roland, apakah aku bisa turun di sini?"

"Hm? Anda ingin menelusuri Kalimas, Tuan Dika?"

Rupanya Roland telah menangkap keinginanku menampakkan diri di bawah sengatan panas serta lautan manusia ini. Bagaimana tidak? Jika aku akan mempelajari kota, maka akan baik jika aku membaur dan mengamati suasana lokal dari dekat.

"Meski begitu, saya tidak dapat mengusir kekhawatiran atas apa yang akan mereka katakan kepada Tuan nantinya… Mengetahui anda akan datang terlambat."

"Aku akan mengurusnya… Apakah tujuanku masih jauh?"

"Sekitar tiga kilometer ke arah timur."

"Baiklah… Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk mengantarku, Roland."

"Kapan pun, Mr. Dika."

Berhasil menurunkan kedua kargo dan tubuhku, aku mengamati mobil Roland melaju dengan pelan meninggalkanku seorang diri di antara keramaian ini. Memutar tubuh, aku menelusuri jalan bata ini untuk memulai ekspedisi dan misi pengintaianku.

Sepanjang perjalanan, aku menemui berbagai gerai pertokoan, mulai dari supermarket, butik, toko perhiasan, toko sembako, swalayan, hingga mall yang menjulang di antara segalanya. Berlayar melalui lautan manusia, aku mengambil haluan kiri untuk menghindari semua keramaian ini—menemukaan diriku memasuki sebuah jalan berukuran kecil.

Lebarnya tidak mencapai satu meter, belum dikurangi oleh berbagai pot tanaman, tumpukan kardus dan kotak plastik, hingga selokan kecil namun bersih pada sisinya. Mengabaikannya, posisi menjorok menyebabkan dinding pertokoan tanpa jendela untuk menutupi ruas jalan kecil ini, menyembunyikannya dari dunia luar.

Oleh karena itu, maka tidak heran jika "gua" ini akan merasa kesepian terabaikan oleh para pelancong di luar sana… Namun kesunyian ini juga menyembunyikan sesuatu yang cukup untuk membangkitkan bulu kudukku. Sesuatu yang tidak beres akan segera terjadi di sini.

"KYAAA!!!"

"…Panjang umur."

Aku menemukan sosok wanita yang muncul dari sebuah belokan kecil lainnya, dengan dua sosok pria yang tengah memojokkannya pada dinding bangunan ini. Rupanya teman-teman kita hari ini adalah sosok paruh baya dengan tubuh berupa gumpalan kotoran, serta seorang pemuda yang menyerupai ranting pohon. Mengikuti naluri, aku segera bersembunyi di balik sebuah struktur pagar tertutup.

Meletakkan dan mengamankan kedua kargo, aku mengambil botol teh-ku sebelum berjalan dengan pelan menuju mereka yang rupanya tidak menyadari keberadaanku, meski dengan jarak kurang dari 10 meter. Aku dapat mendengar lontaran kata-kata dari wajah cabul mereka, terbalut oleh janji manis untuk merampoknya saja.

"Sayang banget… Kamu sudah seksi lagi~"

"L-Lepaskan!!"

*THUCK!*

"GAH!!! S-SIAPA YANG NGELEMPAR BOTOL!?!"

Merasakan botol mengenai tengkuknya, ranting pohon segera mengalihkan perhatiannya padaku dan mengungkapkan wajah wanita muda yang kini memasangkan tatapan penuh kengerian. Sementara itu, gumpalan kotoran rupanya masih memproses apa yang baru saja menimpa rekannya.

"Berengsek… Anak kecil kurang ajar!!"

"Hiick—!!"

Menyanderanya, ranting pohon mengeluarkan suatu benda besi bermata tajam yang segera diarahkan pada leher wanita malang itu. Tidak buruk, keinginan meragukan sosok pangeran ketika ia akan menyelamatkan puterinya… Namun tentunya, keajaiban belaka dan penuh khayalan itu tidak akan datang begitu saja di balik kekejaman realita.

Sayangnya, dunia bukanlah dongeng.

"Beraninya kamu ikut campur~ Mau cari masalah, HUH!?"

Akhirnya mendaratkan perhatian padaku, gumpalan kotoran mengambil langkah angkuh untuk mendekatiku, mengguncang seluruh lipatan lemaknya. Sosok sepertinya telah jauh terjatuh ke dalam sumur dusta, membuatnya kehilangan akal dan kesadaran atas diri busuknya.

Melihatnya membuatku mengingat perbedaan antara manusia dan binatang buas. Ia juga merentangkan keempat anggota gerak besar nan berjamur itu, rupanya ingin berperan sebagai seekor "predator" yang ingin mengancam dan menakuti mangsanya, aku. Alih-alih menjadi takut, ia berhasil membuatku merasakan mual tercampur dengan kesal.

"…"

Menghembuskan napas kecewa, aku mendongak menatap angkasa biru dari segelintir celah bangunan yang menutupi jalan. Kurasa bahkan kota "segar" seperti ini tidak akan lepas dari keberadaan sampah masyarakat seperti mereka, parasit yang akan selalu hadir menggerogoti kedamaian manusia atas dasar keserakahan dan keegoisan mereka.

"Pertanyaannya, kapan sampah seperti kalian akan belajar?"

"…Apa katamu?—GUHK!!"

Mengelak dari tangan yang ingin menggapai kemeja, aku dengan cepat menggunakan momentum untuk mendaratkan pukulan pada sisi kanan wajah berminyaknya. Tidak memberikannya waktu, aku memutar tubuhku untuk memberikan wajah buldog itu sebuah tendangan roundhouse, membuatnya jatuh tersungkur. Aku memastikan untuk mematahkan beberapa tulang wajahnya sebagai peringatan.

*THUD*

"G-Guh…"

"…Eh?"

"Haah… Kini sepatuku menjadi kotor. Berikutnya?"

"K-Ko!! Tch! Hraaghhh!!!"

Menyaksikan alat pengancamnya hilang kesadaran, sosok kerempeng dengan keresahan dan kebingungannya segera menjatuhkan wanita itu dari rangkulannya, membuatnya terjatuh dan menggores jalan. Tidak menunda lama, ia berlari menujuku dengan pisau bergetar yang mengarah pada dada kiriku. Apakah ia mengira diriku adalah vampir?

*Fwish*

Kembali mengelak, aku menghindari tebasan amatirnya dan segera menangkap tangan yang sedang menggenggam pisau mengkilap itu, sebelum menghantam sikut kurusnya. Hal ini membuatnya menjatuhkan pisau dan memudahkanku untuk menumbangkannya hingga menampar jalan bebatuan keras ini.

*Clank!*

"A-Aarghh!!!"

"Aku menang. Katakan, kepada siapa kalian bekerja?"

"Apa… Maksudmu—Ghaahhh!!"

"Jangan bermain denganku, kerempeng. Kamu ingin mati? Aku tidak akan ragu untuk menekan pisau ibumu jauh ke dalam jantungmu."

"S-Sendiri!! Kita ngelakuin ini sendirian!"

"Yakin?"

"*Cough* *Cough* I-Iya!!"

"Baiklah."

Melepas kuncian lengan, aku mengelap kedua tanganku pada pakaiannya, sebelum mengeluarkan dan menyemprotkan antiseptik pada jemari tanganku. Dari ujung penglihatan, aku menemukan wanita itu masih terduduk pada jalan kasar ini, menatapku dengan pandangan syok. Berbagai goresan merah dapat terlihat pada satu sisi tubuhnya.

"Pergi. Lupakan apa yang kamu lihat di sini."

"!!—M-Makasih!!!"

"Sekarang dengarkan aku. Aku menyarankanmu dan teman babi-mu untuk tidak mengulanginya lagi. Paham?"

"…I-Iya…"

Meninggalkan ranting pohon yang sedang berusaha menelan udara, aku kembali melangkah menuju ransel dan koperku, sebelum membuka aplikasi peta pada ponselku. Di sini, aku mengetik nama lokasi titik akhir dari tujuanku.

Memutar kepala untuk membersihkan kecurigaan, aku menemukan kedua pecundang itu diangkut paksa oleh sekelompok berjubah hitam. Motif tajam serta melingkar silver pada jubah itu menantang siapapun dengan rasa ingin tahu yang cukup bodoh untuk tidak mengikut campur urusan mereka.

"Lama tidak bertemu dengan kalian."

Bagaimanapun, kembali menelusuri rangkaian jalan tikus ini, aku menyadari bahwa diriku telah mendekati lokasi yang tertusuk oleh penunjuk arah ponselku… Suatu tempat bernama Akademi Nasional Kusumajaya.